Bola.com — Alkisah, hidup seorang anak dan ayahnya di Seyrvags Fjord, Kepulauan Faroe. Sang anak berambut pirang, kurus, dan tinggi. Senyumnya selalu mengembang setiap ia melangkahkan kaki. Senyum yang juga seakan mencoba menemukan rahasia, bagaimana gerangan cara bertahan hidup setiap hari.
Advertisement
Baca Juga
Suatu pagi, anak bernama Kalvur itu menuju salah satu pantai bersama sang ayah, Ketil. Keduanya akan menangkap ikan paus, yang sejak ratusan tahun lalu menjadi tradisi di Kepulauan Faroe. Di saat taksi-taksi mengangkut warga yang juga ingin bekerja, sang ayah justru memilih berjalan kaki.
"Kita takkan bisa menabung jika berpergian dengan cara menyenangkan. Bodoh jika kita harus mengeluarkan uang untuk taksi. Jika menabung dan membeli daging paus dengan uang itu, kita akan mendapat potongan yang sangat besar," ujar Ketil, meyakinkan sang anak berjalan kaki.
Hari demi hari, keduanya melakukan aktivitas tersebut. Namun, ironi menghampiri kehidupan mereka ketika sang ayah membeli daging ikan paus dalam jumlah besar di pelelangan dalam keadaan mabuk. Tanpa sadar, Ketil membeli daging itu dengan meminjam uang salah satu rekannya.
Perekonomian keluarga Kalvur pun berantakan. Sementara daging ikan paus yang dibeli berangsur "hilang", sang ayah justru makin kebingungan bagaimana membayar utang. Beruntung, Kalvur pada akhirnya menemukan cara berbeda untuk mendapatkan tambahan uang.
Di saat sang ayah bekerja dengan perahu kayu, Kalvur bekerja menggunakan perahu mesin. Ia juga mulai meninggalkan tradisi lama berprofesi sebagai nelayan, dengan bekerja paruh waktu di perkantoran. Perlahan, utang tersebut mampu dibayar dari hasil jerih payah Kalvur.
Langkah Kalvur sempat menuai masalah karena sang ayah masih "terikat" dengan gaya hidup konvensional. Meski begitu, Kalvur tetap gigih membela kehidupan, meski sering menerima kritik tajam. Dalam hati dia berkata, ternyata banyak orang tak mengerti bahasa cinta.
Realita
Fedgar a ferd. Lelaki tua dan anaknya. Begitulah judul nukilan novel di atas. Hedin Bru, pria asal Skalavik, Kepulauan Faroe, menuliskan novel tersebut untuk menggambarkan realita kehidupan sehari-hari masyarakat di negara yang penduduknya tidak lebih banyak dari kursi stadion Manchester City.
Masyarakat Faroe memang dikenal memiliki etos kerja luar biasa. Bahkan, dari ketekunan dan kerja keras, negara Skandinavia tersebut sempat mengguncang dunia. Namun, bukan hanya karena estetika alam yang begitu memesona, melainkan lewat olahraga bernama sepak bola.
Bagaimana bisa negara yang minim sumber daya manusia serta fasilitas olahraga bisa "berprestasi" dalam bidang sepak bola? Bahkan, Ibrahima Camara, pesepak bola asal Senegal pernah mengutarakan pahitnya pengalaman bertanding di kompetisi sepak bola profesional Kepulauan Faroe.
"Saya tiba saat musim dingin. Ketika itu sangat dingin. Saya memimpikan bermain di Eropa, seperti Belgia, Prancis, atau mungkin Inggris, tetapi tidak pernah Faroe. Ketika datang, saya hanya berpikir segera pergi," kenang Camara, saat bermain dengan B68 Toftir, klub Faroe Island Premier League.
Camara memang tidak pernah bermimpi bermain di Faroe, namun tidak demikian dengan masyarakat negara tersebut. Lihat saja ketika kerja keras mereka berbuah sejarah manis usai meraih kemenangan pertama laga resmi ketika mengalahkan Austria 1-0, 12 September 1990.
Satu per satu mimpi pun terwujud, hingga 14 November 2014, saat Faroe menghadapi mantan jawara Eropa, Yunani pada Kualifikasi Piala Eropa 2016. Faroe menang 1-0. Hasil itu membuat masyarakat Faroe kembali berpesta. Namun, tidak bagi sang pelatih Yunani, Claudio Ranieri.
"Yunani memecat Ranieri setelah kekalahan memalukan dari Kepulauan Faroe," tulis judul utama The Guardian, 15 November 2014. Keputusan itu cukup beralasan. Maklum, Yunani saat itu berada di peringkat 18 rangking FIFA, sedangkan Kepulauan Faroe menempati peringkat 187. Selisihnya 169 peringkat!
Leicester City
Setelah dipecat, Ranieri melanjutkan karier dengan menandatangani kontrak berdurasi tiga tahun bersama Leicester City, 13 Juni 2015. Beberapa pihak sempat menyebut keputusan Vichai Srivaddhanaprabh, pemilik Leicester, merekrut pelatih berusia 64 tahun itu merupakan perjudian besar.
"Claudio Ranieri? Benarkah?" Begitu komentar legenda sepak bola Inggris, Gary Lineker. Maklum saja jika Lineker mengeryitkan dahi. Meski merupakan manajer andal, karier Ranieri memang dipenuhi ironi. Lihat saja kemunculan julukan "pelatih spesialis runner-up" karena dia belum pernah membawa klub menjuarai liga.
Belum lagi ada The Tinkerman, julukan lain lantaran Ranieri sering merotasi pemain sejak melatih Chelsea pada 2003. Ketika melatih Yunani, misalnya,—yang saat diarsiteki Otto Rehhagel dan Fernando Santos kerap memainkan formasi 4-4-2, 4-3-3, atau terkadang 3-5-2—ia justru memainkan taktik 4-2-4.
Namun, pengalaman juga adalah guru yang baik dalam dunia sepak bola. Berbagai kegagalan serta pahit dipecat usai dihajar Faroe, Ranieri membuka mata. Kini, ia beranggapan keberhasilan tim bukan hanya mengandalkan taktik serta perhitungan tepat, melainkan juga perlu ada kolektivitas.
Dengan kata lain, harus ada pula ketekunan, disiplin, dan kerja keras dalam diri setiap pemain. Ketiga kekuatan itulah yang membuat Ranieri sukses menjungkirbalikkan logika dan prediksi. Belum lagi ketika ia sukses menemukan bakat terpendam dalam diri Riyadz Mahrez dan Jamie Vardy.
Ketika dilatih Nigel Pearson, Mahrez adalah penghuni bangku cadangan. Pun halnya Vardy. Penyerang yang sempat berkarier sebagai pekerja pabrik dan pemain amatir itu kini menjadi pemegang rekor Premier League sebagai pemain yang mampu mencetak 11 gol beruntun dalam 11 laga.
Hingga pekan ke-33 Premier League, kedua pemain itu menyumbang 37 gol dari total 57 gol milik Leicester. Si Rubah—julukan Leicester—pun masih nyaman bercokol di puncak klasemen sementara, dengan keunggulan tujuh angka dari Tottenham Hotspur, dan 13 angka dari Arsenal di peringkat ketiga.
Modern
Raihan impresif Leicester pada musim ini membuat beberapa pihak menganggapnya sebagai rajutan dongeng. Namun, tepatkah pendapat demikian? Apakah kemenangan Vardy dan kawan-kawan atas Manchester City, Chelsea, Liverpool, dan Tottenham dapat diraih tanpa logika sederhana?
Menilik komposisi skuat, wajarlah jika dikatakan Leicester kini diisi para pemain "kelas dua" yang secara kolektif sedang naik kelas. Mengapa “kelas dua”? Lihatlah banderol 350 ribu pounds milik Mahrez atau 1 juta pounds milik Vardy saat Leicester merekrut kedua pemain itu.
Selain Mahrez dan Vardy, sebut saja Robert Huth yang mengenal betul atmosfer perburuan gelar juara Premier League bersama Chelsea. Bicara soal pengalaman mereka juga punya Shinji Okazaki yang saat ini berstatus sebagai top scorer timnas Jepang dengan torehan 47 gol.
Danny Drinkwater, pemain buangan Sir Alex Ferguson saat masih menanngani Manchester United pada periode 2008-2012, pun kini menjadi salah satu pemain yang sedang dipertimbangkan pelatih tim nasional Inggris, Roy Hodgson, untuk tampil di ajang Piala Eropa 2016.
Dengan kata lain, bersama para pemain di atas, Leicester mampu menampilkan ciri khas baru sepak bola yang lebih modern, namun dengan tiga modal utama, yakni ketekunan, disiplin, serta kerja keras. Ini semua bisa berjalan sukses lantaran juga didukung metode latihan baik.
Dengan hanya berfokus terhadap satu kompetisi saja, para pemain Leicester memiliki waktu istirahat lebih lama ketimbang klub-klub saingannya. Belum lagi adanya berbagai fasilitas memadai. Ruang Cryotherapy, misalnya, yang membuat kondisi fisik Mahrez dan kawan-kawan tetap terjaga.
Air Mata
Pada Minggu (10/4/2016), Leicester meraih kemenangan 2-0 atas Sunderland, di Stadium of Light. Berkat hasil tersebut, selain sudah memastikan diri bakal tampil di ajang Liga Champions musim depan, asa para pemain Leicester menjuarai liga pun semakin mendekati kenyataan.
Menilik klasemen sementara, Leicester kini hanya membutuhkan sembilan poin lagi (81 poin) untuk menjuarai Premier League 2015-16. Maklum, poin maksimal Tottenham, yang berada di peringkat kedua dengan poin 65, hanya 80 jika mampu meraih kemenangan dalam lima pertandingan sisa.
Usai pertandingan melawan The Black Cats, Ranieri pun tak bisa menutupi kegembiraannya. Manajer asal Italia itu tampak menitikkan air mata saat ingin melangkah ke ruang ganti. Air mata yang menjadi bahasa kecintaan dia terhadap para pemain Leicester yang bekerja dengan sangat keras.
"Saya selalu mengatakan kepada para pemain saya untuk menemukan api semangat dalam diri mereka sendiri. Kesempatan seperti ini tidak akan pernah datang lagi. Cari api itu dan jangan pernah malu. Mereka pun tidak pernah malu untuk selalu tetap berusaha dan bermimpi," ujar Ranieri.
Pertanyaannya kini, mungkinkah Ranieri bersama para pemain Leicester mewujudkan mimpi? Dalam sepak bola, segalanya bisa terjadi untuk merajut prestasi. Toh, finis di posisi seperti ini saja bisa dibilang merupakan pencapaian luar biasa bagi klub yang musim lalu hampir terdegradasi.
Namun, janganlah lupa cerita manis Vardy dan kawan-kawan terajut dengan sempurna karena berawal dari "air mata" Claudio Ranieri usai dipecat Federasi Sepak Bola Yunani, dua tahun lalu. Jadi, tidak salah pula jika Leicester City harus berterima kasih kepada Kepulauan Faroe...
"Saya yakin semua orang di Kepulauan Faroe senang dan bangga menjadi bagian keluarga sepak bola internasional. 12 September 1990 adalah awal dongeng negeri ini. Sekarang, sepak bola adalah bagian menggembirakan bagi kehidupan sehari-hari kami." — Oli Holm, mantan Presiden Federasi Sepak Bola Kepulauan Faroe
Sumber: Berbagai sumber