Bola.com, Jakarta - Lupakan sejenak Derbi Manchester. Lupakan pula rivalitas Liverpool dengan Manchester United. Musim depan, The Roses Derby bakal menghiasi headline di Inggris.
Ya, pertemuan antara Manchester United dan Leeds United merupakan satu di antara yang terpanas, mungkin yang paling panas di antara derbi lain di Inggris.
Baca Juga
Sembuh dari Cedera di Timnas Indonesia, Kevin Diks Main 90 Menit dan Cetak 1 Assist dalam Kemenangan FC Copenhagen di Liga Denmark
2 Pemain ke Timnas Indonesia Proyeksi Piala AFF 2024, Arema FC antara Bangga dan Kehilangan
Shin Tae-yong Hanya Pertahankan 8 Pemain Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 ke Piala AFF 2024, Sisanya U-22 dan U-20
Advertisement
Faktor sejarah revolusi industri Inggris dibawa-bawa hingga ke lapangan sepak bola. Sejatinya, Leeds United dan Manchester United merupakan dua tim working class football, di mana Yorkshire terkenal dengan area indusrti wol harus bersaing dengan Manchester sebagai kota penghasil kapas di Inggris.
Pada semifinal Piala FA 1965, terjadi perkelahian brutal yang melibatkan Dennis Law dan Jack Charlton. Dari sanalah awal mula sebutan Dirty Leeds. Sempat mereda pada awal 1970-an, rivalitas kembali membara akibat kelakuan hooligans-nya.
Di luar itu, Manchester United dan Leeds United sebetulnya sering melakukan jual beli pemain. Eric Cantona misalnya, merupakan pemain yang dibeli Sir Alex Ferguson dari Leeds. Kemarahan pendukung berlanjut ketika Rio Ferdinand juga dibajak pada 2002, serta Alan Smith pada 2004.
Musim depan, Leeds United kembali ke Premier League, meramaikan derbi-derbi lain di sepak bola Inggris. Tim ini dibenci seantero Inggris, kecuali tentu oleh pendukungnya sendiri. Roses Derby melawan Manchester United pun siap jadi pemberitaan utama.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Sejarah Peperangan
Dulu, ada peperangan sipil yang melibatkan dua daerah, yakni Lancashire dan Yorkshire. Peperangan antar dua daerah ini yang kemudian menyebabkan Battle of Rose atau Wars of Roses.
Leeds United diasosiasikan sebagai klub dari Yorkshire, sementara Manchester United dari Lancashire. Leeds United identik dengan warna putih, Manchester United familier dengan warna merah.
Battle of Rose ini berlangsung dari 1455 hingga 1487. Tujuannya saat itu adalah satu, memperebutkan tahta kerajaan Inggris, atau lebih tepatnya untuk menentukan siapa yang berhak memimpin Inggris.
Armada dari Lancashire memiliki bendera khas, yakni mawar merah. Sementara Yorkshire berlambang mawar putih. Sampai di sini, kalau pembaca setia Bola.com bertanya-tanya dari mana asal mawar dalam roses derby, inilah jawabannya.
Bangsawan dari Yorkshire, yang kemudian dikenal dengan istilah Dukes of York berhasil melengserkan King Henry VI. Ini menjadi pemicu perang antara Yorkshire dengan Lancashire sebab King Henry VI merupakan raja dari Duke of Lancaster, bangsawan dari Lancashire.
Kekalahan tersebut membuat orang-orang Lancashire bertekad merebut kembali tahta kerajaan. Melalui pertempuran bertahun-tahun yang dikenal dengan nama Blore Heath War, Yorkshire pun takluk.
Perang demi perang terus berlanjut selama puluhan tahun lamanya. Blore Heath War hanya satu rangkaian Wars of Roses. Tak terhitung lagi jumlah korban dari kedua belah pihak demi tahta kerajaan Inggris.
Barulah pada satu momen, Henry VII dari Lancashire menikahi Elizabeth, putri dari Edward IV yang merupakan bangsawan Yorkshire. Kedua keluarga dari York dan Lancaster pun bersatu, termasuk penggabungan mawar putih dan merah yang mewakili bendera masing-masing kubu.
Advertisement
Ribut Lagi Saat Revolusi Industri
Ingatkan kita akan revolusi industri di Inggris dan sebagian besar Eropa? Ini adalah periode peralihan dari zaman pertanian menuju industri. Ditandai dengan maraknya pembangunan pabrik, mulai dari galangan kapal, hingga tekstil.
Di Inggris, revolusi industri terjadi pada 1800-an. Setelah pada abad ke-13 orang-orang dari Lancashire dan Yorkshire berperang memperebutkan tahta kerajaan Inggris, kali ini berganti menjadi perebutan monopoli industri.
Leeds saat itu merupakan kawasan yang ramai dengan industri wol. Sebaliknya, keberadaan insdustri kapas di kota Manchester membuat ada persaingan tak sehat lantaran murahnya harga kapas. Alhasil, industri wol Leeds mengalami penurunan.
Manchester bisa berbangga. Pada 'rivalitas' ini, Manchester mendapatkan predikat King of Cotton atau Raja Katun lantaran pesatnya industri kain katun berbahan dasar kapas, meninggalkan insdustri wol yang dibangga-banggakan orang-orang Leeds.
Saat Keith Waterhouse Harus Bersaing Melawan Oasis
Rivalitas Leeds dan Manchester merambah dunia seni. Yorkshire sejak dulu hingga sekarang terkenal sebagai penyumbang seniman terbaik di Inggris. Sebut saja Keith Waterhouse sang novelis kenamaan dunia.
Dunia mengakui bahwa literatur yang lahir dari Yorkshire merupakan daerah 'artistik' yang gemulai dengan karya agungnya. Tapi lagi-lagi, Yorkshire melawan.
Memasuki era modern, di mana seni juga berkembang sedemikian rupa mulai dari musik hingga teater, Manchester pun menggebrak dunia. Siapa yang tak tahu grup band Oasis atau Stone Roses? Mereka semua 'Made in Manchester'.
Advertisement
Menuju Rumput Lapangan Hijau
Pada era 1960-an dan 1970-an, Leeds United dan Manchester United merupakan dua tim yang duelnya selalu dinanti. Sebab, laga seru dengan intensitas tinggi tergambar nyata selama 90 menit.
Di luar lapangan, kedua suporter juga sering terlibat bentrok. Apalagi pada 1970-an, Inggris sedang marak dengan aksi hooliganism. Dua firm dari masing-masing klub yang terkenal disegani, Leeds United Service Crew dan Red Army.
Leeds mendominasi sebenarnya, di mana pada 1974, ketika Manchester United terjun ke Divisi 2, Leeds cuma kalah empat kali dari 25 perjumpaan melawan Setan Merah. Tapi perbedaan kasta tak menurunkan intensitas rivalitas. Justru makin memanas.
Masih pada periode 1970-an, Leeds United disebut-sebut menggambarkan sepak bola Inggris yang murni, yakni keras, penuh determinasi tinggi, dan mengutamakan fisik. Penampilan mereka seringkali berujung kasar sehingga mereka dijuluki Dirty Leeds.
Satu di antara sekian figur yang wajib dikenang jika bicara mengenai Leeds United adalah Don Revie. Dialah sang pencetus permainan keras dipadu dengan skill individu. Lewat gaya permainannya, Leeds mewakili imej sepak bola Inggris.
Don Revie bermain di Leeds United sejak 1958 hingga 1962. Dia juga yang kemudian menjadi manajer di Leeds dari 1961 hingga 1974. Julukan Dirty Leeds mungkin terdengar buruk, tapi buat suporter Leeds, itu adalah kebanggaan.
Sebaliknya, Manchester United terbilang baru benar-benar menguasai Inggris pada era Sir Alex Ferguson. Lagi-lagi, Si Setan Merah datang 'mengganggu'. Setelah ditangani Sir Alex, Manchester United menjelma menjadi satu di antara tim terbaik di Inggris, bahkan dunia.
Benci dari Kecil
James Milner paham betul bagaimana 'menghina' Manchester United. Sebagai pemain kelahiran Leeds, gelar juara Premier League terasa spesial buatnya.
James Milner terekam kamera menghina Manchester United saat Liverpool mengangkat trofi Premier League usai Liverpool menghancurkan Chelsea 5-3 di Anfield pada Kamis (23/7/2020) dini hari WIB. Seusai laga pekan ke-37 Premier League, Liverpool berpesta gelar juara.
Buat yang belum tahu, James Milner merupakan pemain didikan Leeds United. Ia memulai karier mudanya pada 1996 hingga 2002 di tim berjulukan The Peacock tersebut. Ia kemudian diangkat ke tim utama, namun 2004, ketika Leeds bangkrut, ia dilepas ke Newcastle United.
Kendati demikian, kecintaannya terhadap Leeds begitu kental. Saat para pemain berkumpul di panggung untuk menerima medali, sesi Live Instagram Georginio Wijnaldum menangkap momen Milner mengarahkan ejekannya pada United yang di era Premier League berhasil meraih 13 gelar.
Ia pun kedapatan melontarkan ejekan: "Ini pertama kalinya saya menginginkan pita merah (di piala). Selama ini selalu United. Dasar banci!”
Kebencian Milner terhadap Setan Merah bukan hal yang aneg, karena ia dibesarkan di Leeds United dan sedari kecil sudah dididik untuk membenci mereka.
Sebelumnya gelandang gaek berusia 34 itu sudah memiliki dua koleksi trofi Liga Primer dari waktunya bersama Manchester City.
"Tentunya suporter Leeds dibesarkan untuk benci Manchester United, sebagai rival, jadi warna merah itu dilarang," ujarnya kepada FourFourTwo pada 2018 lalu.
"Ayah saya berkelakar ketika saya bergabung dengan Liverpool, dengan mengatakan bahwa itu adalah kali pertama dia merasa senang untuk melihat saya secara reguler memakai warna merah," timpalnya lagi.
Sumber: Berbagai sumber
Advertisement