Sukses


CERITA BOLA: Tak Pernah Usang ... Carlo Ancelotti, Saat Inggris Mencuri dari Italia

Hujan di awal November yang penuh arti

Membawa romansa yang tak pernah mati

Maaf Cerita Bola telat empat hari

Semoga tetap setia untuk mengisi hati

Waktu: Jumat, 30 Oktober 2020, pukul 20.05 WIB. Hujan menyapa lereng Gunung Slamet, tak sekadar lewat, karena seolah langit menumpahkan seluruh isi yang tertunda dalam sehari. Yup, sehari sebelumnya langit di sekitar gunung yang membelah Banyumas, Brebes, tegal, pemalang dan Purbalingga tersebut cerah gemirah.

Walhasil, di tengah menikmati berkah dari Tuhan, hal terbaik adalah mengutak-atik apa yang terjadi dalam sepekan. Dan ups...entah kenapa tiba-tiba ingin rasanya membuka gawai untuk menonton kembali keperihan Juventus saat tunduk di markas sendiri.

Yup, beruntung sang lawan adalah Barcelona, raksasa Liga Spanyol yang juga sedang terluka sepanjang awal musim ini. Entah apa jadinya jikalau Juventus harus terpuruk saat menjamu Dynamo Kiev atau Ferencravos. Sebuah tanda tanya besar-pun sudha berada di atas rambut terujung kepala : Bagaimana nasib Juventus?

Tanda tanya besar selalu terarah ke sosok pelatih. Secara keseluruhan, manajemen-lah yang harus menerima 'ing pandum'. Maklum, berstatus tim matang, sudah seharusnya para elit klub tersebut memikirkan masak-masak siapa yang bisa meneruskan tongkat estafet seorang pelatih generasi sebelumnya.

Secara makro, tradisi mengarah ke sosok pelatih lokal. Yup, pada era sepak bola modern, setidaknya di atas tahun 1994, Juventus tetap memertahankan 'pride' dengan memilah nomine pelatih serta memilih sang allenatore.

"Lalu, kenapa harus orang Italia alias manusia lokal. Apakah cita rasa Italiano lebih mujarab dibanding orang Latin atau Skandinavia atau Britania Raya?". Itulah hal simpel setiap kali jajaran petinggi Juventus menentukan pelatih yang sifatnya lokal.

Satu jawaban yang menarik adalah : tak pernah usang...

 

Video Ancelotti

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 5 halaman

Coverciano yang Spesial

Medio menuju akhir Januari 2010. Laporan khusus dari Dan Roan nyaris tak teringat siapapun. Padahal, satu dekade silam tersebut menjadi satu di antara 'laras panjang' eksistensi sepak bola Inggris, sejak mereka mengubah Liga Utama Inggris menjadi brand anyar: Premier League.

Tulisan Dan Roan, yang terbit dalam bahasa Inggris dan versi 'Italiano', membawa cita rasa berbeda. Di sana, tak ada keangkuhan khas 'poundsterling', namun sebuah pengakuan. Di sana, juga tak ada rasa jemawa sebuah sepak bola yang sudah punya industri. Roan sadar, ksuksesan di segmen finansial tak lengkap tanpa prestasi tim nasional.

Cerita berawal ketika otoritas sepak bola Inggris, sekaligus pemangku kepentingan di operasional Timnas Inggris, yakni FA, belajar dari Italia. Yup, saat itu, satu yang menjadi atensi FA adalah nasib timnas ketika akan melakukan pertandingan internasional.

Kala itu, setiap Timnas Inggris akan menghadapi lawan pada laga uji coba atau kualifikasi turnamen, mereka harus berpindah markas. Tak ada lokasi khusus yang bisa digunakan. Hal itu berbeda dengan apa yang terjadi di Italia.

Timnas Italia memiliki pusat sepak bola nasional di kawasan bernama Coverciano. Area ini sangat spesial dan sakral, terutama bagi semua orang yang pernah berurusan dengan timnas Italia di semua level, dari junior sampai senior.

Coverciano menjadi lokasi yang tergolong tepat sebagai area pemusatan latihan. Daerah yang damai, tempat tersembunyi dan punya beragam fasilitas, menjadikan Coverciano sebagai venue yang cocok untuk kontemplasi, belajar dan memberikan banyak asupan ilmu kepada talenta muda.

Sudah lebih dari setengah abad, Coverciano menjadi bagian dari rumah yang sebenarnya sepak bola Italia. Di sana, ada diskusi antarpelatih dari berbagai level timnas, sampai memroduksi beberapa pentolan yang pada akhirnya menjadi sosok legenda.

Area ini menjadi simbol kekuatan dan kejayaan Italia di level dunia. Satu yang paling diingat adalah ketika Gli Azzurri juara di Jerman 2006. Coverciano langsung menjadi atensi publik, karena dari sanalah semua amunisi tercipta, lalu meledak di Piala Dunia 2006.

 

3 dari 5 halaman

Il Futuro del Calcio: Piu Dinamicita

Situasi dan peran itu pula yang membuat FA tertarik berkunjung dan berusaha untuk mendesain tata laku Coverciano. Muaranya, kalau sekarang, ada di St George's Park. Inggris mendapat pelajaran berharga dari hal sepele.

Setidaknya, Coverciano memberi kerangka atas keputusan untuk meniadakan lagi sifat nomaden timnas Inggris. Maklum, sebelumnya timnas Inggris identik dengan lokasi di beberapa tempat, seperti meminjam lokasi latihan Arsenal, London Colney ataupun menyewa kamar hotel di dekat Watford, sebelum bertanding di Stadion Wembley.

Dalam cerita Roan, sosok seperi Vanni Sartini dan Paolo Piani, menjadi pengirim pesan yang signifikan. Yup, dua orang tersebut adalah petinggi Coverciano, yang telah menjelaskan secara detil apa saja yang ada di area rahasia tersebut.

Kubu FA mengakui model Coverciano menjadi cikal bakal apa yang sudah tersedia sekarang. Ragam fasilitas modern menjadi bagian dari keseharian Harry Kane dkk ketika berkostum Timnas Inggris. Tak hanya, beberapa model memorabilia juga menjadi tontonan yang tak mudah terlupakan, terutama bagi para fan muda The Three Lions.

Satu catatan kecil tapi penting, yang juga menjadi kado dari perjalanan FA ke Coverciano, adalah keberadaan naskah ilmiah dari nama-nama pelatih. Yup, Coverciano memiliki perpustakaan yang berisi karya ilmiah dan populer dari allenatore papan atas.

Ada dua karya ilmiah yang menarik perhatian. Satu datang dari Fabio Capello, yang memberi penjelasan tentang 'The Zonal Marking System'. Koleksi tersebut tergolong berharga mahal, karena menjadi riset Capello ketika menyelesaikan pendidikan pada 1984.

Satu karya yang menjadi daya dorong sepak bola Inggris, meski tak secara langsung dan butuh proses, adalah 'Il Futuro del Calcio: Piu Dinamicita' alias 'The Future of Football: More Dynamism'. Karya ini menjadi inspirasi dari sebagian besar pelatih yang bersekolah di Coverciano.

Karya sistematis tersebut datang dari sosok yang selalu mendapat perhatian, Carlo Ancelotti. Yup, naskah ilmiah tersebut menjadi bagian dari langkah akhir Carletto ketika menyelesaikan kursus master di Coverciano pada 1997. Seperti diketahui, periode tersebut menjadi sebuah tantangan bagi Carletto setelah namanya terkerek naik efek dari penampilan Parma di kancah domestik.

 

4 dari 5 halaman

Sepak Bola Dinamis

Sebuah karya yang berisi pokok pikiran futuristik ala Carlo Ancelotti. Ia secara 'runut'dan konsisten mengungkapkan beberapa pola pengembangan dari zona jadul skema yang sudah terbiasa ada di Liga Italia.

Ia sempat mempraktikkan hal itu ketika datang dari Parma ke Juventus. Saat itu, banyak pihak yang skeptis Carletto akan bisa mengubah apa yang sudah menjadi patron Juventus sepanjang kekuasaan Marcello Lippi.

Realisasi sepak bola dinamis ala Carlo Ancelotti sempat mengalami hal buruk di Juventus. Dua musim di sana, ia gagal mengimplementasikan imajinasi tentang apa yang ada di lapangan. Alhasil, petinggi Juventus 'murka' setelah Carletto dianggap gagal memaksimalkan para bintang papan atas yang ada.

Namun, di balik itu, justru FA-lah yang merealisasikan secara bertahap konsep dasar sepak bola dinamis ala Carlo Ancelotti. Memang, kran kuat saat itu berada di jalur Sir Alex Ferguson, yang lalu mendapat pesaing dari keberadaan Arsene Wenger.

Jika menilik deskripsi dari sistem dinamis cap Carletto, semua itu tak sekadar berhubungan dengan permainan di lapangan. Layaknya metode Louis Van Gaal yang pernah populer bersama Ajax Amsterdam, dinamis model Carletto mengakar sampai ke sistem talenta.

Oleh karena itu, Carletto selalu memberikan detil-detil yang mungkin saja terlupakan bagi setiap pelatih. Bagi Carletto, faktor pengalaman ketika menjadi pemain menjadi modal, tapi yang terpenting adalah modal kreasi yang berujung ke variasi skema.

Hal itu terbukti ketika Carletto melanglang-buana ke beberapa klub besar setelah Juventus. AC Milan, Chelsea, Paris Saint-Germain, Real Madrid sampai Bayern Munchen menjadi pengejawantahan ambisi teori Carletto tentang sepak bola dinamis.

Bagi tim-tim besar itu, trofi juara menjadi sebuah kewajiban yang menjadi tugas utama seorang pelatih. Tapi, Carletto meramu itu dengan beragam fleksibilitas yang membuatnya tertanam di pikiran orang. Bagaimana tidak, Carletto tak pernah meminta secara spesifik untuk membawa serta gerbong tim pelatih pilihannya ke klub baru.

Artinya, ia selalu membawa konsep sepak bola dinamis itu ke setiap tempat, tanpa memandang bulu siapa yang bakal bekerja sama dengannya. Don Carletto ingin membangun sebuah organisasi yang sehat, dengan bertumpu pada kepercayaan.

Sebuah pengungkapkan yang ideal?. Tidak juga. Bagaimanapun sisi gelap Carletto dengan pilihan taktiknya tetap menjadi bahan pembicaraan serta melekat di memori. Setidaknya, ketika si pria ini harus gagal dan pergi dari sebuah klub, dan itu terjadi ketika ia bersama Napoli.

Namun kini, Everton menjadi pelabuhan berikutnya yang bakal mendapat sentuhan arsitek pembangunan komprehensif. Everton tak perlu banyak bintang, karena memang tak akan berpengaruh apa-apa, dan hanya membutuhkan satu imajinasi Carletto.

Unsur sepak bola dinamis tetap menjadi acuan Carletto sejak datang ke Goodison Park. Menang dan kalah adalah sebuah hasil, tapi proses pendewasaan karakter para pemain Everton tergolong sangat tampak.

Terlepas dari apa yang bakal didapat Everton musim ini, Ancelotti sudah mengingatkan ke publik Inggris kalau dialah yang sempat memberi 'masukan' arah permainan sepak bola. Modernisasi boleh saja terjadi, begitu juga dengan industrilalisasi. Tapi, pada akhirnya kenikmatan melihat sepak bola adalah aliran si kulit bundar itu di antara 22 orang dan satu wasit.

Carletto belum tentu sukses juga di Inggris. Tapi, panutan atas hasil riset tentang sepak bola dinamis, sudah berubah status ; manuskrip. Yup, sama seperti di Coverciano, jejak peninggalan Carletto akan lama, tak sekadar milik fans Chelsea atau Everton, tapi stakeholder dan shareholder sepak bola Inggris.

 

5 dari 5 halaman

Quiet Leadership

Imajinasi itu datang pada awal Oktober 2020. Ketika itu, ada sosok yang dua kali meraih status jawara antarklub Eropa dan mengangkat tiga trofi Liga Champions ketika berstatus pelatih. Ia duduk santai di sebuah restoran Italia di kawasan Mayfair.

Ia memulai 'pergerakan' dengan memesan Guidalberto seharga 82 pounds. Setengah pongah, dia berkata "Saya tak perlu mencoba itu, saya tahu minuman ini,".

Minuman di botol itu 'hilang' bersamaan dengan kedatangan menu berlabel lobster. Yup, lobster dengan 'tagliolini' dan 'grapp', menjadi santapan seharga 250 pounds, yang membuat si empunya pesanan mudah merogoh kocek.

Selama makan, terjalin perbincangan seru. Tak hanya itu, selalu saja ada penawaran untuk memesan apa yang disuka. "Jika kalian berada di rumah Ancelotti, kalian benar-benar akan makan enak,".

Komentar terakhir itu datang dari Adriano Galliani. Yup, yang dimaksud Galliani tiada lain Carlo Ancelotti. Maklum, duo ini bersama Silvio Berlusconi menjalin kebersamaan sekitar 8 tahun.

Galliani menjadi satu di antara saksi mata yang memberikan komentar khususnya di buku Carlo Ancelotti berjudul 'Quiet Leadership'. Karya tersebut muncul ketika Carletto bergabung di Chelsea pada 2009.

Bagi Galliani, isi dalam 'Quiet Leadership' menjadi runtutan berikutnya dari mahzab 'sepak bola dinamis' yang tersimpan di Coverciano. Hal itu pula yang menjadi jawaban dari segala macam rumors dan pembahasan di warung kopi, terkait kesuksesan Carletto meraih juara Liga Inggris pada tahun pertama di Stamford Bridge.

Rumusan sederhana dari pengembangan sepak bola dinamis menjadi beban berat bagi para musuh Chelsea. Kala itu, tak banyak tim yang sanggup menaklukkan Chelsea, bahkan sebaliknya ; jadi bulan-bulanan. Bagaimana tidak, Chelsea menyelesaikan status juara dengan koleksi 103 gol!

Lagi-lagi, sebelum berada di Coverciano, sepak bola Inggris sudah mendapat pelajaran berharga dari sang kreator. Sekali lagi, memang tak selamanya selalu berjalan sesuai rencana, namun setidaknya bisa memberikan khasanah khusus ketika Carletto berhasil menjadi pelatih pertama asal Italia yang bisa juara di tanah Premier League.

Sekadar cerita yang bisa diingat, sebelum menerima tawaran Chelsea setelah sukses bersama AC Milan, Carletto melakukan perjalanan tak mudah. Ia membutuhkan 10 kali pertemuan alias rapat, hanya untuk memastikan isi di kepalanya bisa diterima manajemen The Blues.

Kini, jejak Carletto di tanah Inggris kembali bukan sekadar bayangan. Lepas sukses atau tidak, sepak terjang Everton pada awal Liga Inggris 2020/2021 layak mendapat atensi. Hal yang sama terjadi ketika Chelsea ngotot mendatangkan Carletto dan menuai kesuksesan.

Bahkan, seorang Sir Alex Ferguson mengakui pernah mendekati dan meminta Carletto untuk menjadi penerusnya di Manchester United. "Rayuanku ditolak. Dia hanya menjawab ; mungkin lain kali," tulis Sir Alex. di The Guardioan.

Sumber: FA, BBC, The Guardian, Cafegreatness

 

Video Populer

Foto Populer