"Mukjizat datang dalam sekejap. Bersiap dan buatlah keinginan."
Bola.com, Jakarta - Kata-kata sederhana namun bermakna mendalam itu pernah diucapkan seorang penulis buku spiritual sekaligus motivator ulung asal Amerika Serikat, Wayne Walter. Pemain hingga suporter Chelsea mungkin akan tersenyum ketika memaknai kutipan di atas sembari membayangkan Thomas Tuchel.
Semua bermula saat Chelsea memasuki fase inkonsistensi periode Desember 2020 hingga Januari 2021. Ketika itu, The Blues hanya meraih empat kemenangan dalam 11 laga di semua ajang, sisanya dua kali imbang dan lima kali kalah.
Baca Juga
Advertisement
Padahal Chelsea berhasil memantaskan diri sebagai kandidat kuat peraih juara Liga Inggris 2020/2021 pada awal-awal kompetisi dimulai. Dari 11 pertandingan pembuka, Thiago Silva dkk. meraih enam kemenangan, termasuk tiga kemenangan beruntun, empat kali imbang, dan hanya sekali kalah.
Raihan itu bisa dianggap positif mengingat para pesaingnya, sebut saja Manchester City, United, bahkan Liverpool juga cenderung menunjukkan inkonsistensi. Memang musim 2020/2021 menjadi anomali tersendiri, dan Chelsea bukan satu-satunya tim yang 'apes'.
Hanya saja, hasil yang didapat Lampard, utamanya memasuki pekan kedua Desember, dianggap mewakili performa Super Frank secara keseluruhan. Rentetan hasil negatif itu berdampak buruk pada posisi Chelsea di tabel klasemen. Keputusan krusial yang tega dan tanpa ampun diambil pemilik The Blues, Roman Abramovich, dengan mendepak sang legenda dari kursi pelatih.
Abramovich memang dikenal sebagai Raja Tega dan sesuka hati mewujudkan kehendaknya di Chelsea. Keputusan pemecatan Lampard ketika itu lantas memicu gelombang kritikan dari pengamat hingga suporter garis keras Chelsea. Meski demikian, Abramovich tetap menganggap hal ini dilakukan untuk kepentingan terbaik klubnya.
"Tidak pernah ada waktu yang tepat untuk berpisah dengan legenda klub seperti Frank, akan tetapi setelah pertimbangan yang panjang, diputuskan bahwa kami perlu membuat perubahan agar kinerja klub maksimal musim ini," kata Abramovich ketika itu.
Pemecatan Lampard memang terbilang tragis. Pada laga terakhir bersama Chelsea, Lampard sejatinya mampu memberikan kemenangan 3-1 atas Luton Town FC pada laga Piala FA (24/1/2021). Tak sampai 24 jam, tepatnya pada Senin kelabu, Lampard kehilangan jabatannya 30 menit setelah melakukan sarapan bersama dengan pemain.
Manuver canggih kemudian dilakukan hingga pada 27 Januari 2021 atau tak genap 3x24 jam setelah memecat Lampard, Chelsea resmi mengumumkan kerja sama dengan pria asal Jerman bernama Thomas Tuchel. Semua kisah yang penuh mukjizat hingga daya magis dialami Chelsea sejak saat itu.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Pilot Helikopter, Defender, hingga Bartender
Thomas Tuchel lahir di Krumbach, Jerman Barat, pada 29 Agustus 1973. Tuchel lahir dari rahim ibu bernama Gabriele yang menikahi seorang pelatih sepak bola bernama Rudolf Tuchel.
Usianya saat ini terbilang muda sebagai manajer. Terlebih jika mengetahui rekam jejak Tuchel sebelum sepenuhnya basah di dunia kepelatihan, yakni ketika masih aktif sebagai pemain. Nasib kurang beruntung didapatnya, di mana ia 'dipaksa' pensiun dini pada usia 24 tahun akibat cedera fatal.
Ya, perjalanan unik dilewati Tuchel di rumput hijau. Sebagai anak dari pelatih sepak bola, kemungkinan besar sosok yang mengenalkan Tuchel pada sepak bola hingga menginspirasinya menjadi pelatih adalah sang ayah. Namun, jauh sebelum itu Tuchel sama seperti anak kecil pada umumnya yakni memiliki cita-cita yang besar, namun tak biasa.
Kecintaan Thomas Tuchel pada sepak bola akhirnya membuatnya mendaftarkan diri pada akademi klub junior lokal bernama TSV Krumbach pada 1979. Kebetulan ketika itu TSV Krumbach dilatih oleh ayahnya sehingga Tuchel memaksimalkan diri untuk mengembangkan karier.
Namun, sebagai anak berusia sembilan tahun yang masih labil, Tuchel sudah menyiapkan opsi cadangan andai gagal dalam sepak bola. Pilihannya adalah ingin menjadi seorang pilot dari helikopter SAR. Alasan itulah yang membuat Tuchel tetap bersekolah di tengah kesibukan berlatih sepak bola.
Pada 1988, Tuchel kemudian bergabung dengan akademi FC Augsburg. Selama empat tahun menimba ilmu, Tuchel kemudian bergabung dengan Stuttgarter Kickers. Setelah dua tahun, Tuchel mengalami peningkatan karier hingga berlabuh di SSV Ulm.
Tuchel yang bermain sebagai bek tengah ketika itu tampil apik dan suskes mencatatkan 69 pertandingan. Namun, semua impian menjadi pesepak bola terhenti pada Mei 1999. Tuchel memutuskan pensiun pada usia 24 tahun karena mengalami cedera lutut parah.
Hidup Tuchel kemudian berbalik 180 derajat. Pensiun dari sepak bola, Tuchel harus menyambung hidup dan bekerja serabutan sebagai bartender di Radiobar Stuttgard. Semua itu dilakukan untuk bisa membayar kuliah demi menyelesaikan studi Ilmu Ekonomi yang sama sekali tak diminatinya.
"Saya marah dengan takdir. Itu adalah hari ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja di bar," kenang Tuchel dalam sebuah wawancara dengan The Guardian pada 2010.
Dua bulan kemudian, Tuchel mendapatkan tawaran dari mantan pelatihnya di SSV Ulm, Ralf Rangnick. Tawaran inilah yang menuntun Tuchel menuju pintu takdir bernama pelatih sepak bola.
Advertisement
Dari Magang Menuju Pemenang
Ralf Rangnick tentu sudah mengenal Thomas Tuchel untuk rentang waktu yang lama. Ketika masih aktif menjadi pemain, Tuchel merupakan andalan Rangnick di lini belakang SSV Ulm.
Potensi Tuchel sebagai pelatih sebenarnya sudah diendus Rangnick sejak lama. Tuchel dinilai sebagai seorang yang cerdas dan memiliki pemahaman mumpuni dalam membaca strategi dan permainan lawan.
"Dia mengizinkan saya mengikutinya sebagai pelatih magang. Kemudian saya menjadi manajer U-14. Begitulah semuanya dimulai," kenang Tuchel.
Menjadi seorang pelatih tentu saja bukan pekerjaan mudah. Tuchel sudah menyadari hal itu sejak awal sehingga dirinya tak ingin setengah-setengah dalam menerima peran baru di dunia sepak bola.
"Menjadi pelatih adalah sesuatu yang perlu Anda pelajari dan pahami. Bukan sesuatu yang Anda lakukan karena tak punya pilihan lagi," tegas Tuchel.
Karier Tuchel kemudian semakin berkembang ketika menerima jabatan bergengsi sebagai pelatih VfB Stuttgart U-19. Tuchel berhasil mempersembahkan gelar Bundesliga U-19 2005 kepada klub berjulukan Die Schwaben itu.
Gelar itu dipersembahkan Tuchel ketika belum memiliki lisensi UEFA Pro. Sebab, lisensi itu baru didapatnya dua tahun setelahnya atau pada 2007. Rapor Tuchel semakin baik kemudian kembali mempersembahkan gelar Bundesliga U-19 2009 bersama Mainz 05.
Gelar ini yang semakin membuat kariernya melesat sehingga dipromosikan sebagai pelatih tim senior. Sayangnya ketika bersama Mainz 05 senior, prestasi Tuchel tak terlalu mengilap karena hanya mampu mempersembahkan 39,56 persen kemenangan dari total 182 laga di semua ajang.
Namun, catatan itu sudah cukup meyakinkan manajemen Borussia Dortmund untuk memboyongnya ke Signal Iduna Park pada 2015. Tuchel ketika itu ditunjuk menggantikan Jurgen Klopp yang hijrah ke Liverpool.
Karier Tuchel di Dortmund tak berlangsung lama yakni hanya dua musim. Meskipun demikian, Tuchel berhasil memberikan kenang-kenangan berupa gelar DFB-Pokal 2016-2018.
Tuchel sempat menganggur hampir setahun setelah meninggalkan Dortmund. Kemudian takdir membawanya ke Paris Saint-Germain dan menjadi lompatan dalam karier kepelatihannya.
Bersama Les Parisien, Tuchel berhasil mempersembahkan dua gelar Ligue 1, dua gelar Trophee des Champions, dan satu gelar masing-masing di Coupe de France serta Coupe de la Ligue. Tuchel juga berhasil menancapkan standar pencapaian baru PSG di kompetisi elite Eropa ketika memembantu Neymar dkk menjadi runner-up di Liga Champions 2019-2020.
Sayangnya, masa-masa indah Tuchel di PSG terhenti tepat pada malam Natal pada 2020. Tuchel menerima kenyataan harus dipecat karena komentar pedasnya terkait aktivitas transfer PSG.
"Sejujurnya, selama enam bulan pertama, saya berkata pada diri ini 'Apakah saya masih seorang manajer atau saya seorang politikus olahraga seperti Menteri Olahraga?' Dimanakah peran saya sebagai manajer di klub seperti itu sekarang? Saya berkata pada diri 'Saya hanya ingin melatih'," kata Tuchel dalam wawancara dengan televisi Jerman, Sport 1.
Komentar yang dianggap menyindir manajemen PSG itu membuat Tuchel ditendang. Namun, selalu ada hikmah dan mukjizat di balik sebuah kesusahan. Sebulan lebih dua hari setelah dipecat, tawaran menarik datang dari klub penguasa London bernama Chelsea.
Pembawa Mukjizat
Rapor mengilap selama di PSG sudah cukup meyakinkan Roman Abramovich untuk merekrut Thomas Tuchel sebagai manajer Chelsea. Meskipun Tuchel sejatinya bukan sosok utama yang dibidik Chelsea ketika itu.
Penolakan yang dilakukan pelatih RB Leipzig, Julian Nagelsmann, membuat Chelsea bergerak cepat. Tangan kanan Roman Abrahomovic yakni Marina Granovskaia yang menjabat sebagai Direktur Olahraga Chelsea langsung melakukan manuver dengan mengontrak Tuchel.
Tawaran dengan durasi 18 bulan plus upah Rp170,1 miliar per tahun tak kuasa ditolak Tuchel. Kesepakatan akhirnya tercapai tanpa butuh negosiasi yang alot.
Pada sisa musim 2020/2021, manajemen Chelsea tentu tak berani memberikan target tinggi. Minimal Tuchel mampu menyelamatkan posisi Chelsea di tabel klasemen. Situasi Tuchel yang tak punya kesempatan untuk merombak skuad Chelsea dianggap sebagai pemakluman.
Meski begitu, Tuchel tentu tak ingin bersantai dengan pemakluman tersebut. Tuchel menilai, Chelsea memiliki potensi untuk bersaing dengan kualitas skuad yang dimiliki saat ini. Dengan semangat berapi-api, Tuchel memasang target minimal memboyong satu trofi pada setengah musim perdananya di Stamford Bridge.
"Saya sangat realistis. Saya berada di klub yang DNA-nya adalah untuk menang dan mengejar trofi. Saya di sini untuk menantang setiap trofi yang kami mainkan di semua kompetisi. Artinya, ya, secara realistis tahun ini adalah Liga Champions dan Piala FA," ujar Tuchel pada pidato pertamanya sebagai manajer Chelsea.
Kemudian yang terjadi sungguh di luar dugaan. Dengan skuad warisan Frank Lampard, Tuchel mampu mengembalikan status Chelsea sebagai klub yang disegani di Inggris.
Bak pembawa mukjizat, Tuchel berhasil menyulap Chelsea sebagai klub yang sukar dikalahkan. Hal itu tertuang dalam catatan apik yang dimiliki Chelsea sampai 12 Maret 2021 yakni belum terkalahkan dalam 11 pertandingan terakhir di semua ajang.
Pencapaian yang membuat semua pihak geleng-geleng. Tuchel bahkan dinobatkan sebagai manajer pertama di Premier League yang bisa meraih clean sheets pada lima laga kandang pertama secara beruntun.
Kuncinya terletak pada lini pertahanan. Tuchel berusaha menghidupkan kembali tradisi Chelsea dalam menggunakan skema 3-4-3, formula yang pernah mengantarkan gelar juara saat diasuh Antonio Conte.
Tuchel memiliki paketan Andreas Christensen-Antonio Rudiger-Cesar Azpilicueta yang membuat lini belakang Chelsea tangguh. Kemudian ketangguhan itu didukung gelandang sayap yang tanpa henti kerja keras menjadi penyambung antarlini seperti Ben Chilwell, Marcos Alonso, dan Callum Hudson-Odoi.
Kepercayaan diri para pemain Chelsea kembali meningkat seiring catatan prestisius yang diraih. Begitu juga dengan senyum yang kembali menghiasi wajah para suporter, manajemen, hingga Roman Abramovich.
"Anda bisa lihat kualitas para pemain dan klub. Sangat menyenangkan berada di pinggir lapangan dan bekerja dengan tim ini. Semua orang di klub melakukan segalanya untuk bersaing di level ini," ujar Tuchel.
Jadi, biarkanlah Thomas Tuchel sejauh ini menimati masa-masa bulan madunya di Chelsea. Masa di mana kehadiran Tuchel dianggap sebagai mukjizat untuk suporter Chelsea yang menaruh kepercayaan padanya.
"Tidak akan ada mukjizat bagi mereka tak pernah mempercayainya," -Pepatah Prancis-
Advertisement