Bola.com, - Sebuah keputusan penting diambil sepasang suami istri asal Australia demi karier anak mereka pada tahun 1999. Peternakan kecil yang mereka miliki sebagai mata pencaharian keluarga diputuskan dijual. Uang yang didapat digunakan untuk membiaya boyongan ke Inggris.
Sang anak, yang sudah memulai balapan sejak usia empat tahun, butuh jenjang lebih tinggi untuk meneruskan karier. Di negara asalnya, sang anak sudah tidak punya pesaing berarti. Bayangkan, pada usia 12 tahun, sang anak turun berlomba di lima kelas berbeda dalam satu race weekend di sepanjang musim dengan tujuh seri lomba. Dari 35 balapan dalam setahun, 32 berhasil dimenangi dan sang anak meraih semua kelima gelar juara di musim tersebut.
Advertisement
Jangan tanya soal jumlah gelar yang berhasil diraih sang anak selama berlomba di tanah kelahirannya. Lebih dari 100 gelar berhasil diraih sang anak sejak resmi berlomba pada usia 6-14 tahun.
Meski kepindahan ke Inggris berjalan lancar, demi menghemat pengeluaran, mereka sekeluarga terpaksa tinggal di karavan dan tidak punya tempat tinggal tetap. Selain menghemat, salah satu alasan mereka memilih tinggal di karavan adalah karena pada tahun 2000, sang anak harus mengikuti dua seri kejuaraan di dua negara, Inggris dan Spanyol.
Setahun kemudian, tetap masih berlomba di kejuaraan tingkat nasional Inggris dan Spanyol untuk kelas 125cc, sang anak akhirnya dilirik tim satelit di kelas 125cc World Motorcycle Championship (atau yang kini dikenal sebagai MotoGP). Walaupun belum tampil penuh, hanya turun di dua seri, yang uniknya malah turun di seri di negara asalnya Australia, sang anak langsung meraih empat poin hasil finis ke-12 pada lomba yang berlangsung di Sirkuit Phillip Island.
Mendapat kesempatan tampil sebagai rider reguler pada tahun berikutnya dan naik kelas ke 250cc, karier sang anak belum sepenuhnya mulus. Sempat turun lagi ke kelas 125cc untuk dua musim pada 2003 dan 2004, terobosan besar terjadi pada 2005. Belum genap berusia 20 tahun, posisi kedua di klasemen kelas 250cc berhasil diraih dan membawa sang anak ke kelas bergengsi, MotoGP pada musim berikut.
Kisah di atas bukan kisah Jack Miller yang mengejutkan dunia dengan menjadi pemenang TT Assen, Minggu 26 Juni. Miller memang membuat kejutan dengan tampil menawan pada lomba yang berlangsung dalam kondisi hujan dan dipenuhi drama, tapi juga mengakhiri penantian panjang selama 10 tahun munculnya kembali pemenang seri MotoGP dari tim satelit. Ia juga akhirnya disamakan dengan legenda-legenda MotoGP lainnya yang berasal dari Australia.
Kisah di atas adalah perjalanan karier Casey Stoner. Kisah selanjutnya adalah sejarah hebat Stoner. Pada musim kedua di kelas MotoGP, Stoner sudah menjadi juara dunia. Tak hanya bersejarah bagi dirinya, tapi juga bagi pabrikan yang dibela, Ducati. Hingga saat ini, sejak Ducati resmi bergabung kembali di ajang MotoGP pada 2003, gelar yang dipersembahkan Stoner adalah satu-satunya bagi pabrikan asal Italia itu.
Walaupun baru pada musim 2011 Stoner berhasil merebut kembali gelar juara dunia MotoGP bersama Honda, perjalanan kariernya di lintasan balap motor membuktikan pria kelahiran Southport, Australia itu adalah salah satu rider cepat dan punya bakat besar di MotoGP.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1
Miller Ikuti Jejak Stoner
Paling tidak, pengorbanan besar yang dilakukan kedua orangtuanya berhasil dibayar dengan kesuksesan di dunia balap motor. Apa yang dilakukan kedua orangtua Stoner, mirip dengan kisah orangtua Miller. Kepindahan Miller ke Eropa pada 2010, pada usia 15 tahun, hampir sama dengan Stoner, menghabiskan tabungan yang dimiliki Sonya dan Peter, nama kedua orangtua Jack. Bahkan, dalam satu kesempatan saat uang tabungan yang mereka miliki sudah habis, keduanya sampai menggadaikan rumah mereka dan menjual kapal yang mereka miliki.
Sama seperti Stoner, tampil menawan di ajang nasional kelas 125cc di Spanyol, Jerman, dan Belanda, Miller akhirnya dilirik berlomba di Grand Prix kelas 125cc meski hanya untuk enam seri. Ini setelah Miller tampil menjadi juara pada ajang 125cc Jerman.
Jack bukan anak manja. Setiap berlomba, ia berusaha tampil habis-habisan dan kerap terjatuh. Patah tulang sudah menjadi kebiasaan bagi Jack. Hingga usia 14 tahun saja, total ia sudah mengalami 27 kali patah tulang. Belum lagi yang dialami saat berlomba di Eropa. Situasi seperti ini yang kerap membuat kedua orangtuanya khawatir. Peter, yang juga penggemar balap motor, pernah melihat peristiwa tragis yang menimpa Marco Simoncelli di Sirkuit Sepang pada 2011.
Namun, bagi Jack, ketakutan kedua orangtuanya bukan halangan untuk terus berkiprah di dunia balap motor. Baginya, mati saat melakukan hal yang dicintai lebih baik ketimbang meninggal kala menjalani apa yang tidak disukai.
Kekerasan hati itulah yang membuat Jack menjadi pribadi yang tak kenal menyerah. Pada musim ketiga tampil di Moto3, ia menjadi pesaing terkuat Alex Marquez yang akhirnya menjadi juara dunia. Jack hanya kalah dua poin, namun ia mencetak enam kemenangan di sepanjang musim 2014 itu, sementara Marquez hanya tiga.
Hasil di Moto3 ini membuat Jack mendapat kesempatan langsung tampil di kelas bergengsi, MotoGP, tanpa melalui Moto2, bersama tim LCR Honda. Entah kebetulan atau tidak, tim inilah yang dulu membawa Stoner hingga berlaga di MotoGP.
Selesai sampai di sini? Tentu saja belum. Karena keputusan Jack untuk langsung naik ke MotoGP mengundang banyak kritik dari berbagai pihak. Menurut banyak orang, keputusan Jack menerima pinangan Honda dianggap terlalu cepat dan penuh risiko. Tentu karena semua pihak berkaca dari jenjang karier yang umumnya dilalui rider di MotoGP. Sebagai perbandingan, (Alex) Marquez saja hingga saat ini masih berkutat di Moto2 meski sama dengan Jack, sudah mendapat kesempatan untuk tes di MotoGP.
Namun, setelah meraih kemenangan di Assen, paling tidak satu hal sudah ia buktikan. Miller adalah salah satu rider yang mampu tampil bagus saat berlomba di kondisi trek basah. Perlu ditambahkan, seri di Assen adalah lomba dalam kondisi hujan pertama pada musim 2016 dan belum ada yang paham karakter ban basah Michelin, yang baru menjadi pemasok ban MotoGP lagi pada musim 2016 ini.
“Datang dari Moto3 langsung ke MotoGP adalah langkah besar tapi ini menjadi jelas bahwa kami kini paham bagaimana membawa motor dan saya bukan idiot,” tegasnya setelah meraih kemenangan. Ya. Kemenangan di Assen memang menjadi jawaban yang paling jelas atas semua kritik yang ia terima saat memutuskan langsung ke MotoGP.
Satu kemenangan, yang bisa jadi diwarnai keberuntungan, memang belum membuktikan semuanya. Apalagi membayar pengorbanan besar yang dilakukan kedua orangtua Jack demi karier sang anak. Namun, kemenangan ini bisa menjadi batu loncatan baginya, paling tidak untuk dilirik tim pabrikan yang lebih menjamin sukses bagi rider di MotoGP.
Bayangkan saja, seperti yang sudah disebutkan, kemenangan bagi rider tim satelit di MotoGP belakangan ini sudah sangat minim. Apa yang dilakukan Jack tidak hanya harus menunggu 10 tahun, tapi juga harus menunggu lomba berlangsung dalam kondisi hujan dan di Sirkuit Assen yang memang terkenal banyak melahirkan kejutan.
“Ia adalah pribadi yang hebat dan saya pikir ia punya bakat yang besar. Ia mengorbankan banyak hal untuk masuk ke Motogp. Saya tidak tahu apakah itu pilihan yang tepat dari sudut pandang saya, tapi dengan kemenangan yang ia raih mungkin ia benar dan saya salah,” sebut Valentino Rossi, yang mengaku berhubungan baik dengan Jack.
Bakat baru selalu butuh terobosan, dan itulah yang dilakukan Jack Miller di TT Assen.
Andi Yanianto
Penikmat Motorsport. Mantan jurnalis motorsport di sebuah media olahraga nasional dan mantan editor di media online olahraga tertua di Indonesia.
Advertisement