Bola.com, Jakarta - Selepas balapan MotoGP Jerman pada akhir pekan lalu, muncul gagasan soal penggunaan radio komunikasi. Salah satu pebalap yang mendukung usulan tersebut adalah Valentino Rossi.
Radio tim digunakan pada ajang balap F1. Teknologi itu bertujuan memudahkan pebalap berkomunikasi dengan tim di pit box.
Advertisement
Baca Juga
"MotoGP memang tak sama dengan F1. Namun, segalanya akan lebih mudah jika kami bisa berkomunikasi dengan tim. Terkadang komunikasi kami dengan tim terhambat kalau hanya menggunakan pit board," kata Rossi seperti dikutip dari Autosport, Rabu (20/7/2016).
Rossi memberi contoh kasus balapan di Assen. Saat itu, The Doctor crash saat sedang memimpin lomba di trek yang basah akibat hujan.
"Kalau tim memberi tahu bahwa saya sudah unggul dua detik, maka saya bisa memperlambat laju motor dan menghindari kesalahan," ujar Rossi.
Pendapat Rossi masuk akal jika melihat balapan flag-to-flag di Sachsenring. Dengan kondisi trek yang berubah dari basah ke kering, komunikasi antara rider dan tim bakal lebih mudah dengan radio ketimbang pit board, terutama soal kapan harus masuk pit untuk mengganti motor serta menentukan ban yang digunakan.
Di Sachsenring, Rossi dan pebalap Ducati, Andrea Dovizioso, mendominasi paruh pertama balapan. Saat trek mulai mengering, mekanik Yamaha dan Ducati terlihat mengangkat pit board setinggi dan sejauh mungkin agar Rossi dan Dovizioso bisa melihat tulisan BOX alias masuk pit.
Namun, entah karena tak melihat pit board atau keras kepala karena merasa ban basah masih oke (padahal tidak), Rossi dan Dovizioso memilih terus melaju demi mempertahankan posisi di depan.
Di sisi lain, pebalap Repsol Honda, Marc Marquez, melakukan perjudian besar yang ternyata merupakan sebuah strategi brilian. Setelah sempat keluar lintasan, Honda langsung memerintahkan Marquez masuk pit. Menjelang lomba, Marquez dan Honda sudah memutuskan tak akan menggunakan ban intermediet. Karena itu, mereka langsung memasang ban slick (kering).
Mengapa Honda dan Marquez dibilang berjudi? Pasalnya, kondisi trek belum sepenuhnya kering. Marquez berisiko terjatuh karena beberapa titik pada trek masih sangat basah. Selain itu, motor yang dia gunakan baru siap beberapa menit menjelang lomba. Sebelumnya, motor RC213V Marquez rusak parah menyusul crash pada sesi pemanasan.
Ternyata perjudian Honda dan Marquez berbuah manis. Dia menjadi pebalap tercepat di atas trek hingga akhirnya jadi juara. Sebaliknya, Rossi dan Dovisioso melakukan kesalahan besar. Telat masuk pit, keduanya disalip Marquez dan tak bisa mengejar lagi.
Ducati dan Yamaha terlihat tak siap menghadapi balapan flag-to-flag. Tanpa komunikasi radio, Dovizioso dan Rossi tak bisa memberi tahu tim ban apa yang mereka inginkan pada motor kedua. Apakah intermediet, kering, atau kombinasi keduanya.
Rossi akhirnya menggunakan ban intermediet, sedangkan Dovizioso memakai kombinasi ban depan intermediet dan ban belakang slick. Bahkan, Dovizioso sempat mengecek ban apa yang terpasang pada motornya saat meninggalkan pitlane.
Dovizioso harus puas finis ketiga. Pebalap asal Italia itu mengaku menyesal karena telat mengganti motor. Meski merasa kesulitan berkomunikasi dengan tim, Dovizioso ternyata menolak ide penggunaan radio.
"Menurut saya, radio akan memudahkan pebalap dalam memutuskan strategi karena kita bisa berkomunikasi dengan tim saat lomba. Namun, MotoGP berbeda dengan F1. Jadi, lebih baik seperti ini saja," kata Dovizioso.
Resistensi juga diperlihatkan Cal Crutchlow. Padahal, pebalap LCR Honda itu tak rugi seperti Dovizioso dan Rossi karena masih bisa finis kedua. Crutchlow juga telat mengganti motor. Hanya, dia memakai ban slick yang terbukti lebih cepat pada fase akhir lomba.
"Menurut saya radio bukan ide yang bagus. Kami sudah mendapatkan informasi yang cukup. Itulah gunanya strategi. Kami harus punya rencana, seperti kapan kira-kira harus masuk pit dan memakai ban apa," ujar Crutchlow.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Faktor ekonomi, keseruan lomba, dan keselamatan.
Radio komunikasi sebelumnya pernah diuji coba, tapi akhirnya ditolak pebalap. Jurnalis Autosport, Mitchell Adam, lantas mengungkapkan tiga alasan mengapa radio komunikasi memang tak dibutuhkan oleh MotoGP.
Pertama adalah faktor ekonomi. Pada era sekarang, radio tim bukan sesuatu yang mahal. Namun, menambah pengeluaran tim tak sejalan dengan prinsip MotoGP yang ingin memangkas biaya demi menarik minat banyak tim atau pabrikan untuk bergabung.
Yang kedua adalah berkurangnya keseruan lomba. Hasil lomba di Assen dan Sachsenring yang sulit ditebak membuat balapan jadi menarik. Dengan radio tim, seluruh rider bisa mengganti motor dalam waktu yang hampir bersamaan sehingga tak ada drama yang tercipta.
F1 saja sudah mulai membatasi penggunaan radio tim. Otoritas lomba jet darat ingin mengembalikan elemen alami balapan, yaitu murni mengadu kemampuan pebalap. Mereka tak ingin pebalap terlihat seperti boneka karena terlalu banyak mendapatkan informasi dari tim. Belum lagi potensi munculnya kontroversi karena peraturan yang tak jelas alias samar (grey area).
Apalagi MotoGP tak sekompleks F1. Hasil akhir balapan lebih sering ditentukan kemampuan pebalap, bukan karena faktor kendaraan.
Alasan terakhir adalah faktor keselamatan. Seorang rider MotoGP harus selalu fokus sepanjang balapan sambil tetap bergerak saat menikung. Berbeda dengan pebalap F1 yang hanya duduk di kokpit. Karena itu, berkomunikasi lewat radio saat melibas tikungan cepat tentu sangat berbahaya.
"Saya tak bisa membayangkan ada seseorang yang berbicara kepada saya lewat radio tim saat sedang melaju dengan kecepatan 100 km/jam. Ini bukan mobil, tapi balap motor MotoGP. Bagi saya, hal itu mustahil," tutur Marc Marquez yang tak sependapat dengan Valentino Rossi.
Advertisement