"Saya datang untuk melatih para pemain basket, dan status kalian menjadi pelajar, tak peduli sehebat apa kalian. Saya datang untuk memberi pelajaran tentang bagaimana menjadi tim, dan kalian akan menjadi hebat."
Dallas, 1 November 2019. Lokasi di American Airlines Center. Waktu tersisa 6 detik ketika tuan rumah, Dallas Mavericks unggul tiga angka atas Los Angeles (LA) Lakers. Laga pada awal musim tersebut menjadi satu di antara drama yang tak mungkin terlupa para penggemar tim asal kota megapolitan.
Ketegangan sudah terlihat sejak LeBron James menguasai bola, dan berdiri di area parameter. Para penonton yang berada di belakang sang bintang sudah bersorak, memberi tekanan hebat. Bisa saja, seandainya King James tergolong pemain rookie atau sophomore, grogi akan melanda.
Baca Juga
Advertisement
Namun, nyaris 10 bulan lalu, LeBron adalah megabintang yang terusir dari Cleveland Cavaliers, dan memilih untuk menetap di Lakers. Hal itu terbukti. Sorotan kamera ke arah wajah, memberi gambaran kalau King James akan menyelesaikan misi sendiri. Artinya, butuh tembakan three point agar memaksa laga kontra Dallas menjadi overtime alias perpanjangan waktu.
Prediksi komentator televisi sudah mengarah LeBron bakal melakukan tembakan sembari melompat dari garis three point. Maklum, saat itu angka di papan waktu sudah menunjuk 4,5 detik.
Namun, semua prediksi tersebut gagal total. Tanpa dinyana, LeBron justru melakukan drive ke arah ring, menyerang sisi high-post Dallas yang sudah kosong. Artinya, jika eks Miami Heat itu nge-dunk, seperti kebiasaannya, Lakers akan kalah 102-103.
Berpikir sepersekian detik, LeBron tak ingin gegabah dan egois. Lagi-lagi, sang komentator memrediksi kalau LeBron ajan step-back, lalu melakukan jumpshot di garis tiga angka. Sayang, itu juga tak terealisasi.
Tanpa dinyana, drive Lebron sampai ke bawah ring. Seolah melihat kelengahan para pemain Dallas, LeBron melakukan passing ke arah sudut luar, tepat di ujung sisi kanan area three point lawan. Di sana, sudah bergerak dan lalu menunggu Danny Green.
Yup, Green adalah shooter andal yang datang ke Lakers dari Toronto Raptors. Datang dengan pengalaman segudang, Green bergerak seolah tahu apa yang akan dilakukan LeBron.
Tepat di pos-nya, Green menerima passing sempurna LeBron. Hanya 0,1 detik si bola ada di tangan, Green melepasnya ke arah basket Dallas. Tak sampai 1 detik, bola masuk, dan membuat skor imbang 103-103. Waktu tersisa 0,1 detik tak berarti apapun bagi Dallas.
Akhirnya, laga berakhir melalui OT, dan Lakers membawa pulang kemenangan berbekal selisih 4,5 bola alias 9 angka. Jalan tersebut menjadi satu di antara rangkaian menegangkan Lakers dalam perjalanan mengulangi kejayaan satu dekade silam.
Video Lakers
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Senyum Kecut
"Ketika kalian menginjak lantai lapangan pertandingan, lalu melihat papan waktu, saat itulah kalian harus langsung injak pedal gas, berlari mengejar bola, menekan lawan dan yang terpenting adalah mengontrol tempo permainan."
America West Arena, 8 April 1998. Muggsy Bogues hanya bisa tertunduk lesu. Begitu juga Erick Dampier, Tony Delk sampai Jim Jackson. Pelatih P. J. Carlesimo hanya sanggup tersenyum kecut.
Yup, bukan tanpa alasan jika mereka menunjukkan ekspresi tersebut di markas Phoenix Suns tersebut. Di papan skor ada angka 97-105, dan sudah bisa ditebak kalau nomor kecil menjadi milik Golden State Warriors.
P. J. Carlesimo serta anak asuhnya memang layak bersedih dan malu. Bagaimana tidak, Warriors keluar dari Arizona dengan membawa koleksi kekalahan ke-63. Ya, tim 'Jembatan Emas' itu pada akhir kompetisi NBA musim 1997/1998 hanya sanggup mengemas 19 kemenangan, dan lima di antaranya terjadi pada sisa periode yang tak menentukan lagi.
Catatan tersebut menjadi pelajaran berharga bagi P. J. Carlesimo. Sama seperti ungkapan panjang pada awal segmen ini, faktor spirit ternyata tak melulu bisa menjadi kunci. Butuh kebersamaan dan konsistensi menguasai, mengatur tempo sampai menekan bola, sepanjang pertandingan.
Punya sederet bintang ternyata tidak menjadi jaminan. P. J. Carlesimo merasakan itu ketika dia memiliki beberapa nama tenar dan sedang bersinar pada medio 1995-1999. Sebut saja, Warriors memiliki Muggsy Bogues, power forward Jason Caffey, big man Erick Dampier, si penembak jitu Tony Delk dan Jim Jackson, Felton Spencer, sampai Latrell Sprewell.
Catatan itu menjadi satu di antara sejarah kelam Golden State Warriors. Memang, mereka bukan yang terburuk kala itu, karena masih ada LA Clippers dan Denver Nuggets, yang juga tak berdaya. Beruntung, perubahan manajemen serta pergantian franchise, membuat tiga klub tersebut kini menjadi raksasa di NBA.
Satu yang menjadi pelajaran adalah komentar P. J. Carlesimo ketika mendapat kesempatan wawacara dengan NBC, setelah timnya dibantai Boston Celtics, 88-120, ada medio akhir Februari 1998. Ia menganggap, tamparan terberat adalah ketika mendapat ekspektasi tinggi dan sudah bermodal bagus, tapi terjun bebas.
Komentar tersebut menjadi representasi terhadap Warriors yang mendapat kesempatan masuk 10 besar dalam pemilihan draft dua tahun beruntun. Todd Fuller dan Adonal Foyle, ternyata tak sanggup menahan beban, dan berumur pendek di pentas NBA meski masuk dalam ronde pertama pilihan pertama.
Advertisement
Tak Senang Silakan Hengkang
"Bermain basket adalah sebuah privilege. Jika kalian ingin bermain basket di tim ini, sederhana sekali, yakni ikuti aturan yang ada, dan nikmati setiap detik ketika di lapangan. Jika setuju, maka kalian memang orang yang kubutuhkan."
13 Mei 2019. Ruang media Los Angeles (LA) Lakers. GM Lakers, Rob Pelinka seperti ragu untuk membuka sesi dialog. Maklum, di sampingnya duduk seseorang yang terlihat kikuk dan 'aneh'. Maklum, tak banyak yang tahu siapa dia sebenarnya.
Apalagi, sesaat sebelumnya, sang pria di sebelah Pelinka mendapat 'serangan' dari legenda Lakers, Magic Johnson. Akhirnya, dengan aksen penegasan, Pelinka memerkenalkan sosok pria di sampingnya ; Frank Vogel, pelatih anyar Lakers.
Pelinka sudah menduga reaksi kalangan pers yang datang. Seluruh sorot mata seolah tak percaya, pesimistis dan seolah mengirim nyinyiran. Pikiran para jurnalis dan jutaan pendukung Lakers tertuju ke catatan sang pria berkepala botak tersebut.
Bagaimana tidak, Vogel datang ke Lakers dengan membawa modal tergolong 'moderat', tapi bukan positif melainkan negatif. Ia mengoleksi 110 kekalahan dan hanya 54 kemenangan. Statusnya kala itu juga mengenaskan ; pengangguran.
Yup, beberapa bulan sebelum dikenalkan Pelinka sebagai pelatih Lakers, nasib Vogel terkatung-katung setelah dipecat manajemen Orlando Magic. Sadar tak terlalu memuaskan, barisan publik dan media tak memberi ekpektasi tinggi.
Namun, situasi yang terjadi di kalangan penggemar Lakers, pengamat serta jurnalis, berbeda 180 derajad dengan keyakinan Vogel. Bukan karena nekat, Vogel mengaku punya banyak resep agar bisa membawa Lakers terbang tinggi lagi, yakni memasukkan kubu Staples Center ke babak playoff setelah absen empat musim, plus melangkah ke jenjang juara 2019/2020.
Sebuah rencana yang tergolong muluk bagi pelatih yang baru lahir 'kemarin sore'. Yup, Vogel lebih lama berstatus asisten pelatih ketimbang pelatih kepala. Tercatat, dia baru menukangi Indiana Pacers dan Orlando Magic, dengan nasib yang sama ; ditendang!
Tak ingin menyerah, Vogel seolah ingin menggabungkan banyak peristiwa yang menjadi flashlight dari tulisan ini, yang berada pada dua chapter awal tadi. Yup, Vogel menginginkan siapapun menikmati polanya: jika tak senang, silakan hengkang.
Sebuah prinsip yang membuat Lakers harus melego banyak pemain, termasuk sang ikon selama ini ; Lonzo Ball, Brandon Ingram dan Josh Hart. Namun ia tetap keukeuh.
Next, dia punya filosofi yang sama dengan P. J. Carlesimo, namun kali ini sudah teraplikasi via rencana matang. Ya, punya pemain bintang bukan berarti langsung bisa berubah menjadi tim matang. Ia sadar, butuh banyak penyesuaian.
Itulah alasan yang membuatnya 'rela' menerima keinginan LeBron James untuk mendatangkan Anthony Davis, dan mengubah gaya permainan. Sebuah rasa takluk, tapi bukan berarti King James bisa bebas bermain seenaknya sendiri.
Filosofi 'simple rules' menjadi aturan baku. Oleh karena itulah, permainan tak selalu berujung di LeBron James. Pola ini tak muncul mendadak. Vogel mendapatkan itu ketika ia harus 'terkurung' di sebuah ruangan berisi video cuplikan pertandingan beragam tim, ketika bekerja di Lexington, usai ditolak mentah-mentah manajemen Universitas Kentucky, di bawah arahan Rick Pitino.
Di sana, Vogel melakukan apapun, tak sekadar mengamati video permainan calon lawan. Kebiasaan itulah yang membuat Vogel punya tradisi khusus mengumpulkan data sedetil mungkin terkait lawan. Hal itu pula yang terealisasi ketika Miami Heat dibuat tak berdaya pada gim 6 final NBA 2020.
"Dia hanya ingin belajar basket. Dia seorang pekerja keras, tapi tak pernah punya ambisi tinggi untuk menonjol, hanya terus belajar," sebut Rick Pitino, menggambarkan awal perkenalan dengan Frank Vogel.
Kalau dicermati, kebiasaan awal Vogel tersebut sejalan dengan apa yang menjadi sifat beberapa pesohor lain. Sebut saja nama-nama pelatih seperti Erik Spoelstra, Mike Budenholzer sampai Dave Fizdale Yup, mereka adalah tipikal generasi pelatih di NBA yang punya backgrond analitik sangat kuat.
Kapasitas 'teroritis' Vogel tersebut bukan tanpa resistensi. Satu yang tak mungkin terlupakan adalah ketika dia mendapat serangan amarah besar dari legenda NBA, sekaligus bos Indiana Pacers, Larry Bird. Kala itu, Vogel yakin Pacers akan menjadi lebih garang jika mengusung tema ofensif.
Sayang, Bird ingin sebaliknya, yakni bermain zona ruang dengan memanfaatkan para pemain 'mungil' milik Pacers. Strategi ala Bird demi melayani sang ikon Pacers saat itu, Paul George. Tak ingin melukai idealismenya, Vogel memilih dipecat.
"Ketika Larry memanggilku lalu memecatku, saya mengatakan kepadanya kalau dia telah membuat kesalahan besar," sebut Vogel. Hasilnya, Pacers dibantai 0-4 kala bersua Cleveland Cavaliers di babak pertama play-off.
Kebiasaan tersebut sempat menjadi perdebatan di lingkup internal Lakers. Apalagi, saat Vogel datang, suasana manajemen sedang tak ramah. Selain itu, Lakers juga tergolong tim yang dihindari para pelatih.
Hal itu terbukti dengan penolakan mentah-mentah yang dilakukan Monty Williams dan Tyronn Lue. Yup, dua nama tersebut adalah pilihan pertama serta kedua manajemen Lakers. Vogel seolah hanya sekadar 'melengkapi' syarat agar bisa melakoni musim 2019/2020, karena sebenarnya di dalam tim sudah ada Jason Kidd.
Pelan namun pasti, Vogel berusaha meyakinkan publik Lakers kalau dia sanggup membawa LeBron James dan Anthony Davis serta sederet bintang lain untuk berjaya.
Ikuti Aturanku Saja
Evolusi ala Frank Vogel terjadi seperti deskripsi pada tulisan pembuka. Ya, Vogel tak ingin membuat Lakers hanya seolah LeBron James semata. Ia membuktikan filosofi sederhana dengan manis: ikuti aturanku saja.
Sebelum tembakan Danny Green, Vogel sudah melihat para pemain Dallas punya strategi mematikan LeBron dengan 'memiting' sang bintang tepat di area garis tembakan tiga angka. Vogel sadar, kekuatan drive LeBron juga ada di sisi kiri, sama seperti satu di antara pemain favoritnya, Manu Ginobili.
Walhasil, pada setiap sesi latihan, pola sederhana ini menjadi santapan, yang sebenarnya jarang dicermati tim lawan. Lawan pasti mengira LeBron akan menyelesaikan shot clock. Namun, musuh terkejut karena King James justru melakukan penetrasi ke bawah ring.
Pada area lain, Vogel sudah menyiapkan para penembak jitu. Kali ini, sketsa board-nya menunjuk Danny Green. Berbekal pengalaman menjadi jawara bersama Toronto Raptors dan San Antonio Spurs, membuat Green tenang bergerak ke sisi pojok.
Sekelebat mendapat sodoran umpan dari LeBron James di sisi high-post, ia mengincar jala dallas. Hasilnya sempurna, Green memaksa skor 103-103. Pada akhirnya, mereka meraih kemenangan ke-4 dari lima pertandingan awal NBA musim 2019/2020.
Advertisement