Sukses


4 Momen Olimpiade yang Paling Menyentuh

Bola.com, Jakarta Olimpiade tak hanya berisi cerita heroik atlet-atlet hebat yang memiliki talenta istimewa. Pesta olahraga multievent terbesar di dunia ini juga menjadi saksi bisu perjuangan-perjuangan yang tak terbayangkan, meski kadangkala hasilnya jauh dari sempurna. 

Beberapa atlet berbekal keyakinan tinggi tetap berkompetisi meskipun menyadari kemampuan mereka tak sehebat para rival yang telah mengantongi rekor dunia atau kenyang pengalaman. Mereka juga tidak takut bertanding dengan orang-orang yang tidak pernah mereka hadapi sebelumnya. 

Semua itu dilakukan demi kebanggaan untuk bangsa dan negara. Berusaha memberikan yang terbaik meskipun bermodal berbagai keterbatasan.

Bola akan memaparkan empat kisah menyentuh yang pernah mewarnai olimpiade, salah satunya atlet renang Guinea Equatorial yang tampil pada Olimpiade Sydney walaupun baru mulai berenang selama 3 bulan. Ada juga kisah seorang pelari AS yang terus melanjutkan perlombaan walaupun hampir pingsan mengalami heat stroke, dan atlet menembak Malaysia yang terus berkompetisi walaupun sedang hamil.

Berikut ini 4 momen menyentuh dalam sejarah olimpiade: 

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 5 halaman

1

Eric Moussambani (Ikut Olimpiade dengan Bekal Latihan Renang 3 Bulan)

Eric Moussambani baru tiga bulan belajar berenang terkualifikasi ke Olimpiade Sydney 2000. Hasilnya sudah bisa ditebak. Dia menciptakan rekor terlambat pada nomor 100 meter, yang kemudian membuatnya dikenal dengan julukan "Eric si Belut".

Waktu yang dibukukannya adalah 1 menit 52,72 detik. Itu hampir semenit lebih lambat daripada rekor tercepat yakni 48,30 detik, yang dipegang Pieter Van Hooegenband dari Belanda. Namun, bisa mencapai Olimpiade saja adalah sebuah keberhasilan bagi Eric.

Eric memutuskan mengikuti seleksi tim renang nasional pertama di Guinea Equatorial dengan berlatih renang selama 3 bulan. Perjudiannya berhasil gemilang. Dia lolos seleksi yang diadakan di satu-satunya hotel yang memiliki kolam renang di ibukota negara tersebut, Malabo.

"Persiapanku sangat minim, dan saya hanya berlatih di sungai dan kolam renang. Negaraku tidak memiliki kolam renang untuk kompetisi, dan saya hanya berlatih di akhir pekan, dua kali seminggu. Saya bahkan tidak mengetahui apa itu gaya dada, bebas, atau kupu-kupu," kata Eric. 

"Saya tak pernah mendengar soal Sydney atau Australia. Saat itu juga baru pertama kali saya ke luar negeri. Perjalanan memakan waktu tiga hari dan kami harus sering berhenti," imbuh dia.   

"Namun, saya sangat bangga bisa mewakili negara saya pada olimpiade di sebuah negara yang sangat jauh dari Afrika.”

3 dari 5 halaman

2

Yusra Mardini (Perenang Yang Merupakan Pengungsi Perang)

Yusra Mardini, pengungsi konflik dari Suriah yang sekarang tinggal di Jerman, adalah 1 dari 10 atlet yang akan menjadi delegasi atlet pertama yang berasal dari latar belakang yang sama, yakni pengungsi perang. Yusra dan 9 atlet lainnya akan bertanding di bawah bendera Refugee Olympic Team.

Sebelumnya, Yusra adalah atlet renang muda berbakat dari Suriah. Perang Suriah membuatnya tidak memiliki tempat tinggal lagi, sekaligus membuat kolam renang tempat dia biasa berlatih di ibukota Suriah, Damaskus, habis terbakar karena pengeboman yang terus menerus.

Ayah Yusra, yang juga pelatih dari atlet berusia 18 tahun, kemudian memberikannya dua pilihan; bertahan di negeri yang sudah tidak memiliki harapan lagi karena perang atau kabur ke negara lain yang memungkinkan Yusra mendapatkan mimpinya. "Mungkin saya akan mati," ujarnya. "Namun, di Suriah saya tidak lagi bisa melakukan apa-apa."

Mardini dan saudara perempuannya, Sarah, memulai perjalanan untuk menjauhi Suriah pada 12 Agustus 2015, atau 4,5 tahun semenjak perang sipil dimulai. Pada hari itu, mereka pergi dengan ayah dan para pengungsi. Mereka kemudian berhasil mencapai Beirut, Lebanon, setelah 25 hari perjalanan.

"Tentu saja saya ketakutan jika sesuatu terjadi kepada saya dan adik saya," ucap Mardini kepada BBC

"Saya juga cemas seandainya hanya saya yang berhasil sampai tujuan dan sesuatu yang buruk terjadi pada adikku dan ibuku," tambahnya.

Saat ini, sebagai bagian dari Refugee Olympic Team, dia berlatih dibawah asuhan Sven Spannerkrebs, yang berencana mengirimkannya ke Olimpiade Tokyo 2020 sebagai bagian dari tim Jerman. Namun, Sven memutuskan mulai melatihnya secara intensif setelah Komite Olimpiade Internasional atau IOC mengumumkan akan ada tim khusus pengungsi.

"Tampil di Olimpiade adalah mimpi saya sejak lama, terlebih lagi karena saya bisa memberikan harapan bagi sesama pengungsi perang," tegasnya.

 

4 dari 5 halaman

3

Gabriela Andersen-Schiess (Tetap Berlari walau Mengalami Heat Stroke)  

Heat stroke adalah kondisi mengancam jiwa ketika suhu tubuh mencapai lebih dari 40°C atau lebih. Heat stroke dapat disebabkan kenaikan suhu lingkungan, atau aktivitas yang dapat meningkatkan suhu tubuh.

Olimpiade Los Angeles 1984 adalah pertama kalinya lomba maraton perempuan digelar atau 98 tahun setelah maraton pria diperlombakan di Olimpiade

Gabriela Andersen-Schiess yang pada saat itu membela Swiss, sangat bertekat untuk melintasi garis finis, walaupun sempat terkapar di trek Los Angeles Coliseum karena mengalami heat stroke. Sebenarnya dia bisa melambaikan tangan, namun itu berarti dia menyerah dari perlombaan dan didiskualifikasi.

Dia akhirnya bisa menyelesaikan balapan dan finis pada posisi 37 dari 44 pelari. Setelah melintas garis finis dia langsung dilarikan ke rumah sakit.

5 dari 5 halaman

4

Nur Suryani Mohamad Taibi (Tetap bertanding walau sedang hamil)

Nur Suryani yang bertanding di Olimpiade London 2012 di cabang menembak, bertekad memenangi medali emas walaupun sedang hamil. Pada 2010, dia memenangkan medali emas di Commonwealth Games dan medali perunggu di Asian Games pada tahun yang sama, namun tidak mampu lolos kualifikasi Olimpiade London 2012.

"Banyak orang yang mengatakan saya egois dan membahayakan janin saya,” sebut Nur yang waktu itu berusia 29 tahun. "Namun suami saya menyatakan kepada saya untuk mengambil kesempatan itu, karena siapa tahu kesempatan itu tidak akan kembali. Saya seorang ibu, tapi saya juga orang yang keras kepala." tambahnya.

Sumber: Berbagai Sumber

Sepak Bola Indonesia

Video Populer

Foto Populer