Bola.com, Jakarta - Liliyana Natsir dikenal sebagai pebulutangkis bertalenta istimewa, gesit dan cerdik di lapangan, dan punya kepercayaan diri tinggi. Bukti sahih kehebatan pemain yang akrab disapa Butet tersebut adalah dua medali dari ajang Olimpiade.
Medali pertama diraih Liliyana di Olimpiade Beijing 2008 saat masih berpasangan dengan Nova Widianto. Setelah menunggu delapan tahun, impian terbesarnya untuk merengkuh medali emas Olimpiade terwujud juga bersama Tontowi Ahmad di Rio de Janeiro 2016. Pasangan Tontowi/Liliyana merebut emas nomor ganda campuran setelah mengalahkan ganda Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying, di babak final.
Advertisement
Baca Juga
Keberhasilan Liliyana tersebut membuat orang tuanya, Beno Natsir dan Olly Maramis, sangat bahagia. Menurut sang ayah, kesuksesan tersebut merupakan buah kerja keras dan pengorbanan sang anak sejak kecil. Bahkan, Liliyana rela meninggalkan bangku sekolah demi fokus ke bulutangkis. Butet juga tak kenal lelah berlatih demi berprestasi di bulutangkis.
"Setelah lulus SD, Butet milih mengejar prestasi di bulutangkis. Dia mengatakan kalau sekolah jadi tidak fokus, padahal dia ingin fokus," kata Beno, saat menyambut kepulangan Liliyana, Selasa (23/8/2016).
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, Beno mengizinkan sang putri fokus ke bulutangkis. "Saya pikir seumpama dia gagal, masih ada usaha keluarga yang bisa diteruskannya. Setelah itu Liliyana giat berlatih, pagi, siang, dan malam latihan terus," imbuh dia.
Butet tak sekadar berlatih keras. Beno menyiapkan metode khusus supaya permainan Liliyana semakin terasah, tak hanya gesit tapi juga bisa bermain cerdik. Setiap kali Butet mengikuti turnamen, sang ayah dan ibu selalu mengantar. Sang ayah kemudian mencatat kesalahan-kesalahan Butet saat bermain.
Setelah sampai di rumah, Beno dan Liliyana membahas dengan lebih detail kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan saat turnamen. Mereka kemudian berlatih dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan Butet itu.
"Pokoknya setiap kali dia bikin kesalahan, saya benerin. Kesalahan tidak boleh dibiarkan. Biar dia mikir, IQ-nya juga jalan. Kemudian saat bermain lagi, saya duduk tak jauh dari lapangan. Kalau dia bikin kesalahan yang sama, saya tinggal kasih kode," beber Beno.
Metode tersebut terbukti berhasil membentuk Liliyana menjadi pemain yang tangguh dan cekatan di lapangan. Pemain berusia 29 tahun tersebut memiliki respons cepat saat bermain, serta andal tampil sebagai pemain depan. Jika tak cerdik dan cekatan, medali emas olimpiade tak mungkin masuk dalam genggamannya.