Bola.com, Jakarta - Bentrok Italia dan Inggris di final Euro 2020 kali ini bisa dibilang ideal. Meski bukan unggulan teratas, tetapi selepas rontoknya Prancis, Jerman, Portugal, Spanyol bahkan Belgium yang jauh lebih dijagokan, dua tim yang mentas di final ini masih masuk kategori favorit.
Pertarungan ini ibarat dihelat dalam colloseum antara Gladiator dengan Singa. Representasi yang pas karena para Gladiator di zaman lampau juga harus adu nyawa dengan para singa yang buas.
Advertisement
Meskipun pertarungan gladiator dengan singa ini tidak bisa dibuktikan dalam dokumen sejarah, namun ini menjadi narasi favorit Hollywood yang membuatnya layak ditonton. dari sekian banyak Film Hollywood bertema serupa, Gladiator besutan Ridley Scott adalah yang paling relevan dengan final Euro 2020.
Dalam cerita tersebut, Maximus sang Jenderal Besar Roma, harus tercabik marwahnya karena didemosi secara paksa dari konspirasi Commodus. Singkat cerita, Maximus kemudian kembali ke Roma sebagai Gladiator tangguh tak terkalahkan, menghadapi segala rintangan di Colloseum, satu di antaranya adalah melawan singa-singa peliharaan Commodus.
Italia bak Maximus yang bangkit dari keterhempasan. setelah luluh lantak di tahun 2018 dengan skuad tua yang tidak lolos piala Dunia, Roberto Mancini kemudian datang merevolusi Azzuri Skuadra.
Tidak lolosnya Italia pada piala dunia 2018 adalah aib besar, mengingat ini adalah kali pertama mereka gagal mentas. Saking buruknya, hampir tidak ada pelatih yang mau membesut pasukan hina ini.
Perlu waktu 6 bulan untuk mencari suksesor Gian Piero Ventura hingga akhirnya Mancini terpilih. Periode pencarian yang cukup memakan waktu ini memunculkan dua versi. Yang pertama, FIGC memang benar-benar serius mencari figur allenatore yang pas untuk menghadapi kompetisi berikutnya, dan yang kedua karena memang tidak ada yang mau. Akhirnya setelah Mancini terpilih, mantan pelatih Inter Milan dan Manchester city ini pun buka suara.
"Saat saya tiba, tak ada yang mau menjadi pelatih timnas. Mereka lalu meminta saya, dan saya menyetujuinya," cerita Mancini kepada Roma TV, dikutip Football Italia.
Tapi Mancini bukan kaleng-kaleng. Setelah sukses jadi Pemain, dia kemudian banting setir menjadi pelatih. Setelah cukup sukses membesut Fiorentina dan Lazio, Mancini menerima tantangan melatih La Beneamata Intermilan. Sebuah tugas mahaberat, tetapi Mancini malah sukses mendapat trofi pertamanya bersama Inter di tahun 2006, mengakhiri puasa Scudetto dari tahun 1989.
Setelah cukup sukses di Italia, mancini hengkang ke Inggris melatih manchester city, disini dia menghadirkan gelar EPL bagi Manchester City pada tahun 2012, menuntaskan alpa piala sejak tahun 1968.
Video
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Sorotan Inggris
Bagaimana dengan Inggris? Skuad Tiga Singa ini memang belum pernah juara Euro, tetapi Inggris hampir selalu menjadi unggulan karena memang tradisi sepak bola mereka. Namun, sejak dibawa Sir Alfred Ramsey menjuarai Piala Dunia 1966, Inggris selalu melempem hampir di setiap turnamen.
Bahkan di era 1990 akhir hingga 2000-an awal yang disesaki pemain mentereng yang dijuluki sebagai generasi emas, Inggris selalu hampa juara. Pelatihnya pun tak kalah kelas, dari era figur domestik populer seperti Bobby Robson dan Glen Hoodle hingga pelatih kosmopolitan Sven Goran Eriksen dan Roy Hodgson. Semuanya nirgelar.
Pada awal keputusan FA meneken kontrak dengan Gareth Southgate cukup membuat dahi berkerut. Dia bukan tipe yang mencorong, dan hampir tidak kelihatan prestasinya semasa menjadi pelatih. Tetapi sepertinya, Inggris seperti berjodoh dengan Southgate dan bahkan jauh lebih berprestasi dari pelatih-pelatih sebelumnya yang jauh lebih kenyang pengalaman.
Southgate bahkan bisa menyamai prestasi Sir Alf Ramsey dan Bobby Robson, yang mampu setidak-tidaknya membawa tim negeri monarki ini masuk ke semifinal Piala Dunia. Sepanjang turnamen, Southgate jelas adalah salah satu pelatih yang paling diremehkan.
Mancini dan Southgate punya kemiripan, mereka tidak mau didikte publik.
Italia di era Mancini adalah skuad yang pemainnya tidak didominasi oleh satu atau dua klub besar, jauh lebih adil dan merata. Pemain dari Klub besar maupun kecil punya kans tampil, tergantung performa.
Southgate pun setali tiga uang, skuadnya lebih merata bahkan pilar-pilarnya yang pivotal, berasal dari klub semenjana. Dalam pikiran Southgate dan juga Mancini, berlian di manapun berada akan tetap menjadi berlian. Mereka hanya perlu diberikan kesempatan.
Advertisement
Sekarang Bagaimana ketika Gladiator Adu Cakar dengan Singa?
Mancini adalah pelatih fleksibel. Italia di era Mancini disebut-sebut sudah meninggalkan patron pertahanan gerendel alias catenaccio. Italia dibuat lebih atraktif, lebih menyerang dan menguasai jalannya permainan.
Tetapi jelang laga kontra spanyol, Mancini memberikan indikasi lain.
“Kami tidak bisa menjadi Spanyol begitu saja, Kami adalah Italia dan kami memiliki gaya kami sendiri," katanya.
Padahal, selama ini statistik penguasaan bola italia lumayan moncer, 55 persenan, yang seakan melibas patron. Benar saja, ketika melawan spanyol Italia seakan dikurung, membuat permainan Italia tidak berkembang. Namun itu adalah strategi, yang penting adalah hasil akhir.
Tipe bermain spanyol adalah salah satu yang paling tidak disukai oleh Mancini, justru tipe permainan yang mengandalkan fisik dan kecepatan adalah sasaran empuk bagi timnya Mancini. Pembuktian sahih terjadi kala bentrok dengan Belgia.
Inggris memiliki tipe yang serupa, hanya saja tim besutan southgate lebih merata dan lengkap. tidak hanya ego pemain yang diperas habis oleh Southgate, pemilihan pemain pun terbilang tepat.
Selain Sterling dan Kane yang memang berstatus bintang, pemilihan Bukayo Saka, Kalvin Phillips dan declan Rice terbilang sentral. Bukayo Saka sangat versatile, memiliki kemampuan bertahan dan menyerang sama bagusnya, bahkan bisa menempati hampir segala posisi di kiri dan kanan, dari lini belakang hingga depan. Jauh lebih lengkap dari Jadon Sancho yang overpriced.
Tak salah memang Southgate memilihnya. Dengan kelengkapan tersebut dan juga kaki kiri yang dominan, Saka bisa dipekerjakan Southgate menyerang secara diagonal dan vertikal. Double pivot Phillips dan Rice juga tak kalah berkelas. Phillips yang ditempa Marcelo Bielsa di Leeds United, telah menjadi pemain lengkap di lini tengah, tandem dengan Rice yang juga tak kalah lengkap.
Dua pilar dari klub semenjana, Leeds dan West Ham, menjadi puzzle penting untuk tim Tiga Singa. Di tengah, Rice, Phillips dan Saka sepertinya akan bertarung darah dengan dua mezzala milik Italia, Veratti dan Barella dan Regista alias sang sutradara, Jorginho.
Sementara, Sterling dan Kane sepertinya akan lebih sering mengisi ruang di final third. Barella dan Veratti akan terus bergerak vertikal dan horizontal, sementara Jorginho menjadi narator permainan.
Pertarungan Lini Tengah Berkualitas
Pertarungan lini tengah akan sangat berkualitas, ini adalah pertarungan fisik kontra kreativitas. Italia, dalam episode sebelumnya dengan Belgia berhasil menunjukkan kreativitas lini tengahnya yang mengungguli fisik skuad Belgia yang kuat dan menjulang.
Tetapi sekali lagi, Inggris bukan Belgia. Kualitas mereka di atas satu strip. Tetapi, yang menjadi pembeda adalah pengalaman. Nicolo Barella, Marco Veratti dan Jorginho telah banyak mencicipi laga laga besar. Pengalaman ini akan sangat menentukan di lapangan.
Jika lini tengah Inggris mandeg, Sterling bisa masuk menjadi pembeda. Dani Olmo yang memiliki karakter serupa Sterling, dalam pertandingan Italia Vs spanyol, terbukti membuat duo bek veteran Italia, Leonardo Bonucci dan Giorgio Chielini, pontang panting.
Kedinamisan Sterling akan sangat bisa dimaksimalkan Southgate untuk mencakar lini pertahanan Italia yang terkenal kukuh bak karang.
Bagaimana hasil akhir? akan sangat sulit diduga, secara statistik Inggris memang mengunguuli Italia di perhelatan Euro, tetapi Italia memiliki pembeda. Italian Job menunjukkan tajinya di laga-laga krusial. Italian Job ini sangat komprehensif, tidak hanya skema taktis di lapangan yang memang sudah menjadi ciri khas allenatore alumni Coverciano.
Tetapi juga ada furbizia ala Italia, skema licin menangkap permainan. Ingat bagaimana Chielini mencubit pipi Alba kala adu tos-tosan? Bagi banyak pengamat, ini sudah menjatuhkan mental pemain spanyol sejak awal.
Sebelumnya juga sebelum laga dengan Austria, Mancini juga sudah menyuarakan kekhawatiran terhadap pemilihan wasit asal Inggris yang bisa jadi akan timpang. Pada laga tersebut kita melihat, wasit Anthony Taylor cukup berhati-hati dan malah lebih banyak menjatuhkan foul kepada para pemain Austria, 22 berbanding 10 fouls untuk Italia.
Dalam beberapa hari ini kita juga melihat bagaimana pemain Italia dan juga pelatih yang menyuarakan kekhawatiran ketidaknetralan permainan di laga final Wembley. Apakah ini merupakan bagian dari Italian Job? kita lihat saja.
Prediksi: 2-1 untuk kemenangan Italia
Penulis Fithra Faisal Hastiadi
Anggota Yellow Force UI, Doktor di bidang Ekonomi Internasional
Advertisement