Bola.com, Jakarta - Senyum terbentuk di wajah penulis ketika seorang kolega memuat screen capture dari ilustrasi kolom saya yang diterbitkan 12 Juni 2021 dengan judul “Saya Menjagokan Italia di Euro 2020” sebagai Instagram Story miliknya.
Kolom itu bukan sebuah prediksi tapi ulasan bedah kekuatan Italia menjelang turnamen, tapi voila… Italia akhirnya keluar sebagai juara pada Senin (12/07/2021) dini hari WIB lalu.
Baca Juga
Advertisement
Andai tulisan saya tersebut dianggap sebagai sebuah prediksi pun sebenarnya saya sebelumnya menjagokan Portugal di Euro 2016 dan Prancis di Piala Dunia 2018 dan karena “dua tebakan jitu” itulah semua awak redaksi tak mau lagi saya terlibat dalam taruhan tebak juara di gelaran Piala Eropa yang baru lalu. Apakah saya seorang cenayang atau analis bola yang hebat?
Bukan keduanya, saya hanya pengemar sepak bola yang berharap sempat melihat Timnas Indonesia berlaga di Piala Dunia senior sebelum saya tutup usia. Kecintaan saya pada sepak bola membuat saya bisa melihat bahwa Italia akan mampu berbicara banyak di Euro 2020, sebuah pesta sepak bola empat tahunan yang merayakan anniversary ke-60 di tengah suasana pandemi COVID-19.
Secara makro saya melihat sosok pelatih Roberto Mancini akan membawa perubahan tahun ini setelah melihat pendekatan yang berbeda dalam membangun Gli Azzurri selepas mereka gagal lolos Piala Dunia 2018.
Dalam kolom sebelumnya hal ini sudah saya bahas dari sisi sosiokultural, teknis, maupun sejarah. Singkat kata, butuh manajer yang istimewa di sebuah turnamen istimewa di periode muram yang tidak biasa ini juga. Mancio saya nilai memenuhi semua aspek tersebut.
Saksikan Video Pilihan Kami:
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Rangkaian 34 Laga Tanpa Kalah
Kemenangan Giorgio Chiellini dkk. di final melawan Inggris adalah laga ke-34 tanpa noda kekalahan sejak Italia gagal melaju ke putaran final Piala Dunia 2018 di Rusia. Jika Anda jeli, pembaca, Anda akan melihat sebenarnya Mancini memulai dengan tidak terlalu baik dalam rangkaian rekor gemilangnya ini.
Pada awal kiprahnya pada Mei 2018, timnas racikan Mancini seakan tak punya karakter karena tidak dominan dalam pertandingan tapi juga tidak fokus bertahan. Lelaki asal Ancona itu seakan tidak yakin bahwa skuad pilihannya akan mampu memperagakan sepak bola modern dengan meninggalkan kredo catenaccio alias pertahanan gerendel yang sudah mendarah daging sekurangnya selama lima dasawarsa.
Well, ketika mereka menyabet Piala Dunia 2006, Marcello Lippi dinilai sudah membawa perubahan, akan tetapi nafas utama Azzurri saat itu tetap ada pertahanan kokoh di bawah pilar jantung pertahanan Fabio Cannavaro, dengan dilengkapi serangan balik cepat yang efektif.
Nah pada satu tahun terakhir, statistik membuktikan bawah dominasi penguasaan bola adalah cara utama Mancio dalam melindungi dua bek tengah renta andalannya, Giorgio Chiellini (36 tahun) dan Leonardo Bonucci (34).
Hanya ketika menghadapi Spanyol di semifinal Euro 2020 sajalah Azzurri terlihat sengaja memberikan Tim Matador ball possesions lebih banyak karena Mancini kehilangan bek kiri ofensif, Leonardo Spinazzola, saat menghadapi Belgia di perempatfinal.
Advertisement
Bumerang Gol yang Terlalu Dini
Tanpa Spinazzola di kiri dan kecerobohan yang sering diperagakan Giovanni Di Lorenzo di posisi bek kanan, wajarlah bila Italia kembali memutuskan untuk kembali ke gaya sepak bola yang telah mereka pahami lebih baik secara kultural ketika menghadapi Spanyol. Jujur saja, saat melangkah ke final saya pun menduga praktik yang sama akan diperagakan italia untuk menghadang Inggris.
Andai The Three Lions tidak unggul cepat lewat gol Luke Shaw pada menit kedua di laga pemuncak, besar kemungkinan Italia akan kembali bermain bertahan. Namun, takdir menggariskan lain karena justru Inggris terbenam akibat keunggulan yang sangat-sangat terlalu dini dan membuat mentalitas bermain defensif justru perlahan menjalari Inggris di sepanjang laga. Sisanya, kita semua tahu bagaimana akhirnya bukan?
Kunci kemenangan Italia di final juga adalah peran besar tangan kanan Mancio bernama Alberico Evani. Dalam masa jayanya, Evani adalah pencetak gol tunggal kemenangan AC Milan ke gawang Nacional Medellin pada Piala Toyota 1989. Golnya ke gawang kiper eksentrik Rene Higuita masih lekat di ingatan saya hingga sekarang.
Evani kini di layar kaca bisa pembaca kenali sebagai lelaki berpostur pendek dengan kumis tebal dan berkacamata dengan gaya rambut mirip Adi Bing Slamet sebelum kian botak. Evani adalah sosok yang menentukan urutan penendang penalti dalam semua adu tendangan penalti Italia pada Euro 2020.
Figur berusia 58 tahun itu sudah menghitung semua variabel dalam drama adu tendangan penalti, termasuk perubahan aturan penggantian pemain di era pandemi ini yang memperbolehkan adanya lima pemain pengganti memasuki lapangan.
Ia memastikan bahwa urutan eksekutor dalam adu penalti mempunyai sepasang kaki dan sebongkah hati yang cukup hangat untuk melaksanakan tugasnya di titik putih meski tidak selalu berstatus sebagai starter saat laga dimulai.
Kisah di balik layar ini hanya akan terendus bila Anda jeli dan menikmati sepak bola dengan segala susah-senang yang dipicunya. Sampai jumpa di Piala Dunia Qatar tahun depan pembaca, dan tunggu sajalah apa saya akan beruntung untuk keempat kalinya atau tidak. Arrivederci!
*Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.com serta Bola.net, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.