Bola.com, Jakarta - Tak terasa, sudah dua minggu berada di Jerman, tuan rumah Euro 2024 yang penuh dengan kejutan. Apalagi buat saya yang baru kali pertama berada di negara yang dalam pelajaran sejarah pernah identik dengan tokoh dunia, Adolf Hitler.
Beragam kejutan yang saya rasakan, termasuk satu di antaranya adalah sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia. Sejak awal di Jerman, saya langsung bersua dengan 'saudara' se-Indonesia. Banyak cerita dari beberapa saudara sedarah Merah Putih tersebut, mulai dari mahasiswa, kolektor jersey sampai pengusaha restoran serta cafe.
Baca Juga
5 Hot News BRI Liga 1 2024 / 2025 Sore Ini : Ramai Kekonyolan Ada 12 Pemain PSM di Lapangan sampai Sindiran Persita untuk Persib Bandung
Besok, 2 Laga Piala AFF 2024 yang Bikin Tegang Fans Timnas Indonesia, Ada Apa Nih ?
Daftar Pemain Timnas Indonesia di Piala AFF 2024 yang Berasal dari Pegadaian Liga 2: Menjadi Benteng Terakhir Pertahanan
Advertisement
Semua pengalaman itu menjadikan waktu terasa berputar sangat cepat. Apakah selisih lima jam dengan waktu di Indonesia bagian Barat berpengaruh? Entahlah, yang pasti mendadak, di depan mata sudah dua hari menjelang final Euro 2024. Artinya, sebentar lagi saya meninggalkan banyak kenangan selama di Jerman, mulai dari Frankfurt, Dortmund, Dusseldorf sampai kota kecil, Wuppertal.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kisah Tempe
Satu di antara cerita yang menarik adalah bisnis tempe mentah. Meski sudah terbiasa dengan tempe, tapi tetap saja bersua makanan tradisional asal Indonesia tersebut di luar negeri, apalagi di Jerman, tetaplah menghadirkan rasa takjub tersendiri.
Sahabat Bola.com masih ingat dengan konten saya tentang tempe mentah berlabel 'PRISAN'?. Yup, saya mendadak teringat kembali dengan produk dalam plastik bertuliskan 'tempe original' tersebut.
Semua itu berlatar ketika saya memutuskan untuk sekadar rehat dan beristirahat di resto bernama Rim Khong. Priscilla, sang pemilik restoran Thailand, mengatakan dirinya juga menjual tempe mentah di dalam etalase lemari pendingin kaca yang ada di bagian depan restoran miliknya itu.
Saat itu, ada 14 bungkus tempe yang terlihat. Priscilla bercerita, tempe tersebut diproduksinya sendiri. Sekali melakukan produksi, ia bisa menghasilkan 100 hingga 110 bungkus tempe yang memiliki ketahanan hingga enam minggu, dengan ragi yang diproduksinya sendiri.
Dari proses membuat tempe sendiri, Priscilla mengaku mendapatkan banyak pengetahuan baru terkait makanan khas dari Indonesia itu. Jadi ia mampu mengembangkan produk tempe itu dengan lebih baik lagi.
Advertisement
Titik Renungan
Selepas bersua tempe produksi Priscilla, saya hanya termenung di penginapan. Saat itu, pikiran saya mendadak terbang ke beberapa rencana selama berada di Jerman, termasuk di antaranya adalah menikmati warung atau restoran yang selalu menyajikan tempe khas Indonesia, dengan harga miring.
Yup, kata 'Warteg' langsung saja menyambar daya ingat saya. Tanpa ampun, kerinduan yang sebenarnya tentang warteg langsung terasa. Maklum, kala di Jakarta, saya memang akrab dengan Warteg, karena memang hanya sepelemparan batu dari kantor tempat saya bekerja!
Tetapi kini di Jerman, warteg seolah hanya angan belaka. Tak semua daerah, terutama dari kota-kota yang saya kunjungi, tersedia warung sensasional tersebut. Saya ingat, ada warteg yang sudah jadi incaran saya, yakni yang ada di kawasan Prenzlauer Berg, dengan alamat pastinya ; Danziger Str. 61, 10435 Berlin.
Saya dapat informasi itu setelah berselancar di Instagram, dan warteg tersebut punya akun sendiri, yakni Daily Warteg Berlin. Selain di kawasan tersebut, sebenarnya masih ada beberapa tempat juatan serupa di seputaran Berlin, seperti 'Koempoel' dan 'Nusantara'.
Efek Jarak
Informasi dari beberapa teman di Berlin, tiga nama tersebut sudah punya tempat khusus, terutama bagi para warga Indonesia yang sudah bermukin cukup lama di sana, sekitar 3-5 tahun. Di lokasi itu, kadangkala menjadi tempat bersenda-gurau kalangan WNI yang sedang merantau dengan beragam status, mulai dari mahasiswa, pengajar, pengusaha, pekerja swasta sampai pelancong.
Kini, dengan seabreg program peliputan di Euro 2024, harapan saya tipis. Maklum, titik terakhir saya di Jerman adalah Dortmund, yang setidaknya butuh 4 jam menggunakan transportasi kereta.
Tapi ya sudahlah, itulah resiko berada di antara penugasan di negeri orang. Rencana boleh ada, tapi situasi yang kadang tidak memungkinkan. Meski berhasrat ke Berlin, tapi cukuplah Rhim Kang dan tempenya yang sudah membayar kerinduan tentang masakan Indonesia selama ada di Jerman.
Advertisement