Sukses


    Bye Bye Piala AFF 2018, Timnas Indonesia Memang Tidak Pantas ke Semifinal Apalagi Juara

    Bola.com, Jakarta - Kegagalan Timnas Indonesia melangkah ke semifinal Piala AFF 2018 menyisakan kekecewaan yang mendalam bagi publik sepak bola Tanah Air. Dua tahun silam Tim Merah-Putih berstatus sebagai runner-up, tahun ini malah justru terpuruk di penyisihan.

    Timnas Indonesia sudah pasti menggaransi tiket ke semifinal. Modal tiga poin dari tiga laga tidak cukup untuk mengejar raihan poin pesaing di Grup B, Thailand dan Filipina.

    Filipina bermain imbang 1-1 kontra Thailand. Keduanya kini sudah mengantungi tujuh poin, hasil dua kali menang plus satu hasil draw.

    Jika Timnas Indonesia menang pada laga terakhir melawan Filipina pada Minggu (25/11/2018), paling mentok tim asuhan Bima Sakti mengoleksi enam poin di pengujung penyisihan.

    Tiket semifinal dari Grup B tinggal jadi rebutan antara Thailand, Filipina, dan Singapura. Negara yang terakhir disebut menang menyakinkan dengan skor 6-1 saat menghadapi tim terlemah, Timor Leste pada Rabu (21/11/2018).

    Stigma kalau Timnas Indonesia tak berjodoh dengan trofi juara Piala AFF kian melekat. Sejak turnamen ini digelar pada tahun 1996, pencapaian maksimal Tim Garuda hanya menjadi runner-up.

    Timnas Indonesia jadi negara paling banyak jadi runner-up. Yakni lima kali pada edisi 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016. Bandingkan dengan Thailand yang sudah meraih lima gelar turnamen sepak bola paling bergengsi di kawasan Asia Tenggara yang satu ini.

    Bicara glory Timnas Indonesia bahkan kalah mentereng dibanding Singapura yang sudah empat kali jadi kampiun. Yang menyesakkan Vietnam dan Malaysia sudah pernah sekali merasakan madu jawara pada edisi 2008 dan 2010.

    Padahal di era 1950 hingga 1980-an Indonesia dan Thailand kerap disebut sebagai Raja Asia Tenggara. Negara kita bahkan pernah dijuluki Macan Asia karena kerap membuat sensasi di pentas sepak bola internasional tempo dulu.

    Namun, sejarah hanya mencatat tim yang menorehkan prestasi tertinggi. Sayangnya, nama Indonesia tak pernah terukir dengan tinta emas sebagai tim terbaik.

    Pencapaian tertinggi Timnas Indonesia adalah dengan menjadi juara SEA Games 1987 dan 1991. Selepas itu, keberuntungan seperti menjauh.

    Sajian liputan eksklusif Timnas Indonesia di Piala AFF  2018 bisa pembaca nikmati dengan mengklik tautan ini

    Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

    2 dari 3 halaman

    PSSI Tak Mau Dicap Gagal

    Sekjen PSSI Ratu Tisha Destria merasa gusar dengan anggapan banyak pihak yang menganggap timnas Indonesia mendapatkan hasil buruk di Piala AFF 2018, karena hanya mendapatkan satu kemenangan dan dua kekalahan.

    Ironisnya, saat diambang kegagalan melaju ke semifinal Piala AFF 2018, PSSI terlihat masih tinggi hati. 

    Sekjen PSSI Ratu Tisha Destria terlihat gusar dengan anggapan banyak pihak yang menganggap Timnas Indonesia mendapatkan hasil buruk di Piala AFF 2018, karena hanya mendapatkan satu kemenangan dan dua kekalahan.

    “Membicarakan masalah Timnas Indonesia jeblok, sama saja menutup harapan. Masih ada pertandingan Thailand Vs Filipina besok [Rabu malam], dan kami berharap Thailand menang. Tolong jangan menyebar satu hal yang bernada pesimistis,” ujar Ratu Tisha, Sekjen PSSI kepada wartawan.

    Tisha seperti tak terima PSSI kepengurusan Edy Rahmayadi dianggap tak berprestasi.

    “Ada tujuh tingkatan timnas, jangan lupakan itu. Timnas Sepak Bola Putri baru saja lolos ke putaran kedua penyisihan Olimpiade, Timnas Futsal Putri saat ini juga 8 besar Asia, Timnas Futsal Putra juga peringkat tiga Piala AFF, Timnas U-19 untuk pertama kalinya dalam kurun waktu 40 tahun masuk ke perempat final Piala Asia.”

    “Timnas U-16 juga juara Piala 2018 AFF, dan pertama kali lolos ke perempat final Piala AFC. Sehingga kalau mau bilang timnas jeblok hati-hati, karena enam timnas kita memiliki prestasi baik di 2018.”

    Bukan bermaksud mengabaikan perjuangan anak-anak muda Timnas Indonesia U-16 yang jadi menjadi juara Piala AFF 2018, tapi dalam level persaingan sepak bola internasional gengsi yang diukur dari sebuah negara adalah keberhasilan timnas seniornya menjadi yang terbaik di sebuah turnamen bergengsi. Timnas junior hanya bagian dari pembinaan yang berujung pada pencapaian tadi.

    Belanda, Inggris, Spanyol, atau Jerman tak pernah membanggakan keberhasilan mereka jadi jawara di turnamen junior. Mereka sadar betul ukuran gengsi sebuah negara diukur beberapa banyak mereka memenangi Piala Dunia atau Piala Eropa.

    Bintang dunia sekelas Lionel Messi sadar ia belum bisa disebandingkan dengan Diego Maradona, karena belum pernah memenangi gelar Piala Dunia. Prestasi Argentina juara Olimpiade 2008 bukan pencapaian tertinggi kariernya sebagai pesepak bola hebat.

     

    3 dari 3 halaman

    Sudah Teraba Sejak Awal

    Pelatih legendaris asal Belanda, Foppe de Haan, dalam sebuah perbincangan santai dengan Bola.com pada pertengahan 2007 silam pernah berujar:

    "Jangan pernah hakimi pemain muda atas sebuah kegagalan dan juga memuji mereka setinggi langit atas sebuah gelar juara. Biarkan mereka berproses dalam proses pembinaan. Nanti saat mereka ada di level senior, buah dari pembinaan yang baik akan kita petik dengan sendirinya."

    Dalam kesempatan berbeda, Sudirman, mantan pilar Timnas Indonesia era 1990-an mengungkapkan komentar kurang lebih sama.

    "Turnamen usia dini itu pembinaan. Jangan juga bicara target juara di sana. Pemain baru hebat ketika mereka juara di level senior. Keberhasilan diukur di sana," ucap mantan stoper tangguh yang jadi salah satu anggota skuat Timnas Indonesia saat memenangi SEA Games 1991.

    Pernyataan Ratu Tisha kian mempertegas sikap plin-plan PSSI, karena dalam sejumlah kesempatan Edy Rahmayadi selalu mengungkapkan kalau gol utama prestasi federasi ada prestasi Timnas Indonesia level senior. Pembentukan timnas-timnas diarahkan untuk mengerek prestasi Tim Merah-Putih level junior bermuara ke senior. Kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 seakan jadi tamparan.

    Kegagalan Timnas Indonesia melangkah jauh di Piala AFF 2018 sejatinya sudah bisa diraba sebelum turnamen dihelat. Keputusan berani PSSI mendapuk Bima Sakti menjadi pelatih kepala Tim Garuda karena kegagalan mereka bernegosiasi dengan Luis Milla awal petaka.

    Bima yang minim pengalaman (tak pernah punya pengalaman jadi pelatih kepala selepas pensiun tahun 2016) langsung dihadapkan tekanan tinggi. Mantan pesepak bola yang mentas bersama Timnas Primavera di medio 1990-an itu secara terus terang tak berani menjanjikan gelar juara.

    "Pelatih kelas dunia mana pun tidak ada yang bisa bisa menjamin tim pasti juara. Jose Mourinho atau Pep Guardiola. Mereka tidak bisa memberi jaminan. Yang bisa saya lakukan adalah berusaha keras, menciptakan tim yang solid, sehingga kami bisa punya kans di Piala AFF," ujar Bima Sakti.

    Keinginan PSSI agar Bima bisa mengadopsi metode latihan Luis Milla karena pernah jadi asistennya pada periode 2017-2018 rasanya terlampau naif. Ia mungkin bisa mengadopsi sistem latihan ala Milla, namun tugas pelatih tidak berhenti sampai di situ.

    Ia harus cerdik membaca permainan. Hal itu harus diasah lewat pengalaman. Pelatih Timnas Inggris, Gareth Southgate, butuh waktu mematangkan diri beberapa tahun di level junior sebelum naik kelas ke Tim Negeri Singa Senior.

    Mantan pilar Timnas Indonesia era 1970-an, Risdianto, berharap publik sepak bola nasional tak menghakimi Bima Sakti atas kegagalan ini. "Bima Sakti pelatih muda dan langsung mendapat tekanan. Kesalahan ada di pihak yang menunjuk, dalam artian PSSI. Membebani pelatih baru untuk turnamen sebesar ini tentu tidak tepat. PSSI yang harus disalahkan," tegas Risdianto.

    Kritikan bernada serupa juga dilontarkan pelatih senior, Freddy Mulli.

    "Ini pelajaran bagi tim teknik PSSI, bahwa pengalaman itu sangat berpengaruh, terutama dalam menganalisis jalannya pertandingan dan membuat keputusan setelah skema main yang dirancang tidak jalan. Kemampuan dalam teorinya mungkin bagus, tapi untuk memimpin pertandingan membutuhkan pengalaman," ujar Freddy.

    "Menurut saya, PSSI, dan semua pihak harus introspeksi dan melakukan evaluasi untuk mengetahui apa saja kelemahan Timnas di Piala AFF 2018. Setelah itu, diperbaiki yang kurang. Itu jauh lebih penting daripada cari-cari siapa yang salah," terangnya.

    Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. PSSI punya waktu dua tahun mengevaluasi diri, sehingga Timnas Indonesia akhirnya nanti bisa jadi yang terbaik di Piala AFF 2020. Semoga cerita pahit di edisi turnamen ini bisa jadi pengalaman berharga.

     

    Sepak Bola Indonesia

    Video Populer

    Foto Populer