Bola.com, Jakarta - Kegagalan Timnas Indonesia melangkah ke semifinal Piala AFF 2018 disebut pelatih sepak bola senior asal Jawa Timur, Hanafi sebagai bentuk kegagalan kompetisi profesional di Indonesia.
Timnas Indonesia terpental dari persaingan setelah hanya mengoleksi sebiji kemenangan dari tiga laga penyisihan Grup B. Tim asuhan Bima Sakti hanya meraih hasil positif saat menjajal Timor Leste (3-1). Di dua laga lainnya Tim Merah-Putih tersungkur, yakni saat menjajal Thailand (2-4) dan Singapura (0-1).
Baca Juga
5 Pemain yang Apesnya Mirip Paul Pogba: Nama Besar Ternyata Bukan Jaminan
Deretan SWAGs Pemain Diaspora Timnas Indonesia: Atlet hingga Supermodel Papan Atas Dunia, Ada yang baru Go Publik Bikin Cegil Patah Hati
Belum Bisa Move On! Kevin Diks Mengenang Momen Perdana Menyanyikan Indonesia Raya di SUGBK
Advertisement
Hasil akhir duel melawan Filipina di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, pada Minggu (25/11/2018) tak berpengaruh apa-apa. Perburuan tiket ke semifinal hanya diperebutkan oleh Thailand, Singapura, dan Filipina.
"Timnas itu cerminan dari kompetisi. Pemain yang masuk ke timnas adalah produk dari kompetisi. Pelatih juga dulunya hasil dari kompetisi. Kalau Indonesia gagal di Piala AFF, berarti kompetisi kita sangat buruk. Tak bisa menghasilkan pelatih dan pemain terbaik untuk negara," kata Hanafi.
Pelatih asal Malang itu menyebut kompetisi Indonesia amburadul. Pemain di klub kadang sudah tahu kapan timnya kalah, dan kapan menang.
"Pertandingan di kompetisi kita seperti arisan. Mereka tahu kapan dapat poin, kapan hilang poin. Jika sudah tahu seperti itu, pemain pun malas menunjukkan kualitas terbaiknya di lapangan. Kenapa harus capek-capek, kalau tahu hasil akhirnya?" tutur Hanafi.
Karena malas belajar dan berlatih secara maksimal, lanjut Hanafi, mental itu pun dibawa ke timnas. "Nah, ketika menghadapi problem sulit di permainan, mereka tak tahu apa yang harus diperbuat. Akhirnya, saya melihat penampilan Timnas Indonesia di Piala AFF lalu seperti skema angin ribut. Pemain terkaget-kaget dengan reaksi dan perlawanan musuh," jelasnya.
Mantan pelatih Perseru dan Persegres GU ini menarik contoh kekalahan Indonesia atas Singapura dan Thailand. "Masak sekelas pemain timnas bingung harus berbuat apa ketika ditekan lawan. Cara bertahan kacau, skema menyerang juga tak jelas. Karena di kompetisi mereka selalu merasa bermain nyaman," ucap Hanafi.
Hanafi juga menyebut kompetisi Indonesia hanya mengejar bisnis dan komersialisasi. "Kompetisi kita hanya eforia. Yang dikejar bagaimana kompetisi dilihat banyak orang. Sementara misi melahirkan pemain yang benar-benar tangguh secara mental dan skill diabaikan," jelasnya.
Jika seperti ini, nasib Timnas Indonesia akan tergantung tergantung negara lain. "Piala AFF itu nama bangsa dipertaruhkan. Semua negara ingin jadi yang terbaik. Kalau seperti Piala AFF saat ini, Indonesia berharap belas kasihan negara lain, itu sangat ironis. Jika ingin prestasi berusaha dengan kekuatan sendiri. Jangan dari belas kasihan orang lain," ujar Hanafi.