Bola.com, Jakarta - Piala AFF 2012 bukan edisi yang bisa dikenang oleh Timnas Indonesia. Bagaimana tidak, dualisme PSSI membuat Skuad Merah Putih gagal lolos dari fase grup.
Timnas Indonesia diklaim tidak dihuni oleh pemain-pemain terbaik saat menjalani rangkaian Piala AFF edisi 2012. Tim Garuda yang berangkat ke Malaysia dipimpin oleh pelatih Nilmaizar, diisi oleh mayoritas dari klub-klub Indonesia Premier League (IPL).
Advertisement
Dampaknya compang-campingnya skuat Timnas Indonesia langsung terlihat di pertandingan pertama yang digelar di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur.
Tim Garuda hanya mampu bermain imbang 2-2 saat berhadapan dengan Laos, tim yang di edisi-edisi sebelumnya selalu takluk dengan skor besar saat berhadapan dengan Indonesia.
Hasil itu membuat banyak publik penggemar sepak bola Indonesia pesimistis di pertandingan kedua, di mana Timnas Indonesia menghadapi Singapura, tim yang sudah dua kali menjadi juara Piala AFF, yaitu pada 2004 dan 2007.
Namun, di pertandingan inilah Timnas Indonesia mampu memperlihatkan sebuah titik balik yang bagus walau hanya menang tipis 1-0.
Apes, Timnas Indonesia takluk 0-2 dari Malaysia pada pertandingan penentuan. Irfan Bachdim dkk. pun tersingkir dari Piala AFF 2012.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Dualisme Kepengurusan PSSI
Seperti disebutkan di awal, Timnas Indonesia yang berlaga di Piala AFF 2012 tidak dihuni pemain-pemain terbaik yang mayoritas berkompetisi di ISL. Nilmaizar hanya bisa memanggil pemain-pemain yang mayoritas bermain di klub-klub Indonesia Premier League (IPL).
Pemain-pemain asal klub Indonesia Super League (ISL) melakukan aksi boikot karena diancam diputus kontrak oleh klubnya. Hanya Bambang Pamungkas (Persija Jakarta) dan Oktovianus Maniani (Persiram Raja Ampat) yang datang memenuhi panggilan membela negara.
Saat itu klub-klub ISL tengah melakukan pemberontakan ke PSSI, yang merubah sistem kompetisi profesional dengan mengabaikan statuta. Disokong sejumlah anggota Komite Eksekutif PSSI, mereka kemudian membuat organisasi tandingan, Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Jelang Piala AFF 2012, KPSI sempat membentuk timnas sendiri dengan asuhan Alfred Riedl, yang belakangan eksistensinya tidak diakui AFF.
Alhasil Nil Maizar hanya memberdayakan pemain alakadarnya. Ia bahkan sampai harus memasukkan nama Elie Aiboy, pemain gaek yang sejatinya tidak lagi cukup pantas membela Tim Merah-Putih.
Untuk menambal skuat Timnas Indonesia, PSSI mendatangkan pemain naturalisasi, Raphael Maitimo, Tonnie Cussel, dan Jhon van Beukering, yang sayangnya performanya ternyata di bawah ekspetasi.
Advertisement
Munculnya Timnas Tandingan
Munculnya Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) yang diketuai oleh La Nyalla Mattalitti menjadi awal dari terbentuknya dualisme kompetisi sepak bola kasta tertinggi di Tanah Air, Indonesia Premier League yang dijalankan oleh PSSI sebagai kompetisi resmi, dan Indonesia Super League yang digarap oleh KPSI dan dianggap sebagai breakaway league.
KPSI pun membentuk Timnas Indonesia tandingan yang disebut sebagai The Real Garuda. Komposisi pemain terbaik memang ada di sana. Sebut saja Cristiano Gonzales yang tampil cemerlang di Piala AFF 2010.
Kemudian ada Firman Utina, Achmad Bustomi, dan sejumlah pemain lain yang juga cemerlang saat tampil di Piala AFF 2010. The Real Garuda pun kembali ditangani Alfred Riedl yang pernah menangani Timnas Indonesia di Piala AFF 2010.
Namun, pada akhirnya memang Timnas Indonesia yang dibentuk PSSI yang bisa berangkat ke Piala AFF 2012. Pemain-pemain terbaik dari IPL dipanggil memperkuat Timnas Indonesia meski mereka belum memiliki pengalaman membela Tim Garuda. Akhirnya Bambang Pamungkas pun memutuskan untuk bergabung dengan alasan dirinya terpanggil karena melihat Timnas Indonesia ditinggalkan pemain-pemain terbaiknya.
"Ini menjadi pertarungan hidup terberat saya. Terjadi dualisme kompetisi dan federasi, hingga yang paling menyedihkan adalah dualisme tim nasional. Dan, ketika Timnas Indonesia terpuruk dan ditinggalkan para pemain terbaiknya, sudah menjadi tanggung jawab saya untuk berada di sana." kisah pemain yang akrab disapa Bepe di sela-sela acara Battle of Live pada April 2016.
"Bagaimana mereka (pengurus sepak bola Indonesia) berani mengatakan demi bangsa dan negara, tapi pemain Timnas Indonesia dilarang bermain untuk negaranya?"
Kegagalan Menembus Semifinal untuk Kali Kedua, Maitimo Cetak Gol Debut
Gagal lolos fase grup merupakan kali kedua bagi Timnas Indonesia. Sebelumnya terjadi pada Piala AFF 2007, yang juga tak kalah mengejutkan mengingat asa besar menyusul penampilan heroik pada edisi 2004.
Kendati demikian, dari ajang ini nama Raphael Maitimo menjadi idola baru Timnas Indonesia. Bisa dibilang, pemain yang kini bermain di Persita itu paling sukses dibandingkan dengan pemain naturalisasi lainnya seperti Tonnie Cussel, dan Jhon van Beukering.
Advertisement