Bola.com, Jakarta - "Kemajuan suatu bangsa bisa dilihat dari kemajuan olah raganya,” demikian ujar Alexander Kardji, seseorang yang saya kenal jauh dulu saat saya masih jauh lebih muda dari saat ini. Nama itu mungkin tidak akan bisa Anda dapatkan dari hasil googling atau bahkan di Arsip Nasional Republik Indonesia karena Pak Kardji (demikian saya biasa memanggilnya saat itu) adalah guru olah raga saat saya masih SMP dulu. Siang itu kami sedang siap berlatih atletik menjelang penyisihan tingkat kotamadya. Saya sangat ingat kami kesulitan mencari fasilitas latihan yang memadai karena fasilitas yang ada, dan sedikit itu, sudah telanjur dipakai orang.
Bertahun kemudian saya semakin memahami makna kalimat penuh kekesalan yang dilontarkan oleh guru saya itu. Fasilitas olah raga memang terlalu minim di negara ini. Kompleks Senayan yang peruntukan sebenarnya menjadi kompleks fasilitas olah raga kini malah mayoritas diisi fasilitas hotel dan mal. Berkebalikan dengan apa yang Pak Kardji katakan dulu, pemerintah ataupun para pemegang keputusan di negeri ini lebih merasa bahwa bangunan tinggi dan kemewahan adalah petunjuk kemajuan suatu bangsa.
Advertisement
"Hampir tiap bangunan gue lihat ada lapangan sepak bolanya," ujar Bapuk, mantan dirigen Jakmania saat kami berkunjung ke Singapura untuk sebuah kebutuhan pekerjaan. Di satu sisi Bapuk tidak salah, karena memang ia melihat banyak lapangan hijau di negeri kota tersebut, sepanjang jalan dari bandara sampai kota atau sudut manapun kami berada. Di sisi lain, ia salah karena yang sebenarnya ia lihat bukan melulu lapangan sepak bola. Di sana ada sekadar lintasan atletik, lapangan hoki, rugbi, panahan sampai polo.
Saya merasa tidak berkeinginan untuk menjelaskan padanya bahwa yang ia lihat bukan cuma sepak bola saja, tapi memang di negara ini hanya sepak bola-lah permainan yang sungguh-sungguh populer. Hanya sepak bola-lah permainan yang tanpa prestasi, tanpa hasil yang mapan bahkan tanpa kemampuan kelas dunia dari pemainnya, selalu mampu terus dibicarakan oleh masyarakat.
Bandingkan dengan bulu tangkis yang terus memperkenalkan nama kita ke dunia. Ia hanya akan disebut namanya saat ada turnamen yang melibatkan pemain kita, entah itu Thomas, Uber, Sudirman Cup atau bahkan All England. Sepak bola bahkan tak butuh kompetisi untuk membuat dirinya berhenti dibicarakan baik oleh para pencintanya ataupun mereka yang sebenarnya tidak peduli-peduli amat pada prestasi Indonesia di sepak bola level Asia Tenggara sekalipun.
Sepak bola di Indonesia bahkan selalu disebut sebagai permainan para lelaki, padahal jelas para wanita di belahan dunia lain memiliki kompetisi yang tak kalah rapinya dengan sepak bola yang bangsa Indonesia pahami. Kita seperti tak sadar bahwa sepak bola pada akhirnya hanyalah sebuah permainan olah raga biasa. Memang benar ia populer dan mampu dikomersialisasi dengan sempurna oleh para pebisnis di barat sana, tapi kembali lagi, ia hanyalah satu dari sekian banyak permainan olah raga.
Kita selalu menyebut bahwa sepak bola adalah sebuah kepercayaan, padahal hal yang kurang lebih sama pun terjadi pada american football atau bisbol di Amerika Serikat. Juga pada kriket di Asia Selatan, rugbi di banyak negara Pasifik dan juga Britania. Saya pernah melihat perkelahian antarsuporter klub bola tangan Buchuresti dengan Budapest Rognorak di jalanan kota Budapest selepas semifinal kejuaraan Eropa di ibu kota Hongaria itu. Hal yang di sepak bola juga biasa kita lihat dan selalu kita sebut 'akibat fanatisme berlebih'.
Olah raga di republik ini praktis hanyalah sarana menyehatkan tubuh demi slogan ‘men sana in corpore sano’, itupun banyak yang kemudian berhenti menyebutnya sekadar sebagai slogan sembari makan gorengan atau jeroan sapi di warung tongseng. Sarana tidak ada bahkan siaran pertandingan olah raga di televisi hanya menyajikan sepak bola sebagai tontonannya, tanpa perlu merasa untuk mengedukasi pemahaman masyarakat tentang permainan yang lain.
Jadi sebaiknya janganlah kita terlalu berharap banyak pada olah raga Indonesia, karena memang hanya sepak bola saja yang mampu membuat atletnya bekerja mandiri hanya untuk permainan itu sendiri. Itupun selalu dalam kondisi tanpa jaminan, bahkan kini terpaksa menganggur sempurna karena memang mereka hanya bekerja untuk sepak bola.
Prestasi? Bagaimana mungkin mengharapkan prestasi jika prasarana tempat bermain saja tidak disediakan. Berapa banyak sih lapangan voli yang sesuai? Badminton, senam, atletik atau yang lebih khusus lagi seperti panahan atau paralayang.
Indonesia punya segalanya memang dalam hal olah raga, mulai dari tekad, rasa percaya diri, dukungan masyarakat sampai bakat alam yang tersebar. Kita praktis hanya tidak punya sarana latihan dan pemahaman bahwa olah raga adalah tolok ukur kemajuan peradaban, seperti yang telah ditunjukkan Cina dengan menaklukkan dunia lewat kesuksesan menjadi juara Olimpiade.
Andibachtiar Yusuf
Filmmaker & Constant Traveller
@andibachtiar