Bola.com - “Mau tanya apa, mbak? Biar saya catat dan bisa langsung ditanyakan ke pemainnya,” tanya Ni’matun Nasim kepada Bola.com saat hendak mewawancarai pemain tunggal putri Tiongkok, Wang Yihan, seusai memastikan tempat di perempat final Kejuaraan Dunia BWF 2015, Kamis (13/8/2015).
Seusai menerima daftar pertanyaan, Ni’ma, demikian ia biasa disapa, luwes berbincang dengan Wang. Menggunakan bahasa Mandarin tentunya. Sementara Bola.com mengamati mimik muka Wang saat memberikan jawaban.
Advertisement
Sekitar lima menit kemudian, Ni’ma membantu menerjemahkan jawaban Wang ke bahasa Indonesia. Jawaban inilah yang pada akhirnya diolah Bola.com menjadi sebuah artikel. Entah itu berita pendek, rangkuman wawancara, atau feature.
Kehadiran penerjemah bahasa dalam sebuah turnamen internasional tentu sangat membantu pekerjaan para wartawan. Apalagi, mayoritas pemain-pemain Asia Timur, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, tidak bisa berbahasa Inggris.
Pun demikian dengan para wartawan, yang selain berbicara dengan bahasa ibu, hanya bisa berbahasa Inggris. Kendala komunikasi inilah yang dijembatani Pengurus Pusat (PP) Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI), selaku tuan rumah Kejuaraan Dunia BWF 2015.
Ni’ma, 25 tahun, bukan satu-satunya penerjemah bahasa yang bertugas di kejuaraan dunia tahun ini. Selain dia, ada juga Fita Darajat dan Yuannisa Manendra.
Jika Ni’ma mendapat tugas menerjemahkan bahasa Mandarin, maka Fita, 23 tahun, bertugas menerjemahkan bahasa Jepang. Sementara Nisa, 22 tahun, menerjemahkan bahasa Korea.
Dibanding Fita dan Nisa, Ni’ma memang paling banyak dicari para wartawan. Maklum, sampai saat in pebulutangkis-pebulutangkis Tiongkok masih mendominasi. Akibatnya, Ni’ma harus akrab berbicara dengan sejumlah pemain beken, mulai dari Wang Yihan, Chen Long, Zhang Nan, Zhao Yunlei, Tian Qing, sampai Lin Dan!
Meski terkadang suara Ni’ma terdengar seperti gemetaran, komunikasinya dengan pemain-pemain tersebut lancar. Sampai sejauh ini, belum ada pemain Tiongkok yang menolak diwawancarai. Padahal, dua bulan lalu, para wartawan Indonesia sempat dibuat gigit jari lantaran Lin Dan menolak menjalani konferensi pers seusai dikalahkan Tommy Sugiarto di babak pertama Indonesia Terbuka SSP 2015.
“Ya, senang banget punya kesempatan jadi penerjemah di kejuaraan dunia tahun ini. Apalagi, saya jadi bisa bertemu sama pemain-pemain hebat seperti Lin Dan. Jadi pengalaman bagus, deh,” tutur Ni’ma dengan wajah semringah.
“Kalau untuk dukanya, ya, paling pulang malam terus saja selama turnamen berlangsung,” imbuhnya.
Komentar serupa dilontarkan Fita, yang sempat tinggal di Jepang selama satu tahun sebagai peserta program Pertukaran Pelajar 2013-2014. Perempuan bertubuh mungil ini mengatakan keramahan pemain-pemain Jepang mampu mengusir rasa lelahnya.
“Favorit saya Kenichi Hayakawa (pemain ganda putra Jepang). Dia ramah banget sama saya dan senang diwawancara juga. Tapi, sebenarnya semua pemain Jepang memang baik-baik, sih. Mereka juga masih ingat sama saya setelah dua bulan lalu membantu jadi penerjemah di Indonesia Terbuka SSP,” ujar Fita.
Karier Fita sebagai penerjemah dimulai saat dia masih berstatus mahasiswi di Universita Dharma Persada, Jakarta. Selama mengenyam pendidikan Sastra Jepang di kampus tersebut Fita sudah sering menjadi penerjemah tulis paruh waktu.
Kecintaannya terhadap Bahasa Jepang semakin menjadi ketika dia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke Jepang di 2013. Selama satu tahun, Fita banyak belajar mengenai negeri Jepang, mulai dari politik, ekonomi, hingga sosial budayanya.
“Tapi saya enggak mau juga kalau terus jadi penerjemah saja. Inginnya sih, kerja di Jepang. Mudah-mudahan tahun ini tercapai,” katanya.
Berbeda dengan cita-cita Fita, Nisa justru berniat menjadi penerjemah di turnamen bulutangkis lagi. Selain senang mendapat kesempatan bertemu pemain-pemain Korea, seperti Lee Yong-dae dan Yoo Yeon-seong, menurut Nisa, pekerjaan ini merupakan pengalaman baru baginya.
“Dulu lebih sering jadi penerjemah tulis. Tapi kalau untuk penerjemah bicara seperti ini, belum banyak,” ucap alumnus Sastra Korea Universitas Indonesia itu.
“Jadi penerjemah bicara begini seru banget. Karena saya jadi lebih banyak tahu kosakata Bahasa Korea. Memang berat sih, karena kadang saya masih suka lupa artinya kalau pemain Korea mengucapkan kata yang kurang familiar. Tapi kalau ada kesempatan lagi, saya mau banget,” kata Nisa.
Baca juga:
Wawancara Peter Gade: Saya Mau Pemain Prancis Masuk Top 10