Bola.com - Kesuksesan Carolina Marin memenangi gelar juara dunia untuk kedua kali secara beruntun (2014, 2015) memang tidak bisa dilepaskan dari komitmen dan kerja kerasnya menjalani latihan. Namun, bisa jadi prestasi menterengnya tersebut didasari oleh satu perjalanan masa kecilnya yang bertolak belakang dengan profesinya saat ini.
Apalagi, jauh sebelum mengenal olah raga tepok bulu, Marin ternyata sempat mempunyai cita-cita lain. Berikut kisah singkat Marin yang dirangkum Bola.com dari sesi wawancara langsung dan kutipan dari berbagai sumber.
Baca Juga
Advertisement
Tari Flamenco
Lahir di keluarga yang sangat menyanjung budaya negeri Spanyol, Carolina Maria Marin Martin kecil sudah diperkenalkan tarian khas negaranya, flamenco, oleh kedua orang tuanya. Sejak usia 8 tahun, Caro, demikian ia biasa disapa, mulai menjalani latihan menarinya dengan intensif.
Bersama sejumlah teman-teman masa kecil, Marin mengaku cukup menikmati hari-harinya tersebut sebagai calon penari flamenco. Dia bahkan sempat berpikir untuk berprofesi sebagai penari flamenco profesional.
"Tapi, itu tidak bertahan lama. Setelah saya mengenal olah raga bulutangkis, rasa cinta saya langsung berubah arah," ujar Marin, saat ditemui Bola.com di Kejuaraan Dunia BWF 2015, pekan lalu.
Pertemuan Marin dengan bulutangkis bisa dibilang berkat campur tangan teman kecil, yang juga berlatih tarian flamenco bersamanya. Saat itu, tutur Marin, dia begitu terkesima dengan permainan bulutangkis, yang menurut dia, aneh.
"Waktu itu saya diajak main oleh teman. Saya sebelumnya tidak tahu permainan bulutangkis. Jujur, saat pertama kali bermain, saya merasa, 'ini olah raga apa sih? kok aneh'. Tapi, di saat bersamaan saya juga merasakan sensasi senang yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Termasuk saat menari flamenco," jelas Marin.
Pemain Nasional Termuda
Terus digelayuti rasa penasaran, Marin pun memutuskan ganti haluan masa depan dengan berlatih bulutangkis secara serius. Didukung bakat yang sejatinya ada dalam dirinya, Marin cuma butuh waktu sekitar lima tahun untuk menembus tim nasional.
"Saya jadi pemain nasional termuda yang pernah dimiliki Spanyol," ujar Marin, bangga.
Perjudian Marin mengubah cita-citanya di usia belia terbukti jitu. Di tahun pertamanya bergabung dengan timnas bulutangkis Spanyol, atlet kelahiran Huelva, 15 Juni 1993 itu langsung mendulang medali.
Pertama, medali perak di Kejuaraan Junior Eropa. Lalu, di tahun sama, medali emas pada Kejuaraan U-17 Eropa.
Sayang, status Marin sebagai warga negara Spanyol kurang memberi keuntungan bagi perkembangan karier bulutangkisnya. Sebagai negara yang lebih mengenal sepak bola, basket, tenis, dan balapan sebagai olah raga utama mereka, dukungan finansial di bulutangkis bak mencari jarum di balik jerami.
Tapi Marin dan pelatihnya, Fernando Rivas, pantang menyerah. Dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, keduanya membuktikan bahwa bulutangkis di Spanyol layak mendapat atensi lebih dengan memenangi medali emas di Kejuaraan Junior Eropa 2011 dan medali perunggu di Kejuaraan Junior Dunia 2011.
Namun, perhatian dan dukungan yang dinanti belum juga muncul. Di saat bersamaan, Marin, yang baru 'lulus' di level junior, gagal bersaing di kasta senior.
Baru dua tahun kemudian, namanya kembali dibicarakan publik lantaran memenangi gelar juara di turnamen Inggris Grand Prix Gold. Di final, Marin, yang masih berusia 20 tahun, mengalahkan pebulutangkis Skotlandia, Kirsty Gimour, 21-19, 21-9.
Legenda Baru Lahir
Sadar masih punya potensi dan kesempatan, Marin, bersama rekan senegaranya, Beatriz Corrales, dan sang pelatih, Rivas, memutuskan untuk melakoni latihan di belahan dunia lain. Indonesia dan Thailand menjadi tempat yang dituju.
Meski cuma sempat mengecap periode latihan sekitar satu setengah bulan di Indonesia dan satu bulan di Thailand, Marin belajar sangat banyak. Imbasnya pun fenomenal.
Turun di Kejuaraan Eropa 2014, yang menjadi pemanasan menuju Kejuaraan Dunia tahun sama, Marin keluar sebagai juara. Di final, dia mengalahkan pemain Denrmak, Anna Thea Madsen, dalam pertarungan rubber game, 21-9, 14-21, dan 21-8.
Puncak kejayaan,dan keajaiban Marin akhirnya tiba saat dia membungkam pebulutangkis tunggal putri nomor satu dunia asal Tiongkok, Li Xuerui. Bertemu di final Kejuaraan Dunia 2014, Marin menang 17-21, 21-17, dan 21-18.
Menjadikannya sebagai pebulutangkis Spanyol pertama sekaligus atlet Eropa ketiga, setelah Lene Koppen dan Camilla Martin, yang meraih prestasi tersebut.
Nama Marin semakin dibicarakan penggemar bulutangkis usai memenangi gelar juara di turnamen bulutangkis paling tua sedunia, All England 2015. Kali ini, giliran pemain India, Saina Nehwal, yang dipecundangi Marin di laga pamungkas dengan skor 16-21, 21-14, dan 21-7.
Nehwal jugalah yang tampil sebagai lawan terakhir Marin di Kejuaraan Dunia 2015 yang berlangsung di Istora Senayan, Jakarta, 10-16 Agustus lalu. Kembali bertemu di laga final, atlet yang gemar mewarnai kukunya dengan kuteks berwarna merah itu sekali lagi membuktikan dominasinya dengan memenangi pertandingan secara straight game, 21-16, 21-19. Legenda bulutangkis baru pun resmi lahir.
"Semua pencapaian itu tidak mungkin terjadi tanpa bantuan pelatih Fernando Rivas. Dia adalah orang pertama yang melihat sesuatu istimewa dalam diri saya. Dia adalah orang yang sangat spesial, karena saat saya datang ke pelatnas Spanyol, saya baru berusia 14 tahun. Jadi, buat saya, dia adalah pelatih sekaligus ayah," ucap Marin, dikutip dari Badminton Europe.
"Dia juga sosok sangat penting karena kami sudah bekerja sama selama tujuh tahun. Dan saya tahu, jika bukan karena dia, saya tidak mungkin ada di posisi ini dan memenangi gelar juara. Dia selalu menginginkan yang terbaik untuk saya, baik sebagai personal maupun di karier bulutangkis," kata Carolina Marin menutup pembicaraan.
Baca juga:
Mengapa Lin Dan Gagal Juara Dunia Keenam Kali? Ini Analisisnya
Feature: Ambisi Membawa Bulutangkis Sejajar dengan Tenis
Gagal Jadi Juara Dunia, Liliyana Natsir Curhat di Instagram