Bola.com, - Usianya sudah menginjak 73 tahun, tapi gerakannya masih gesit. Saat berbincang-bincang, dia gemar menyelipkan humor-humor segar. Senyum pun kerap menghiasi wajahnya.
Itulah sekilas tentang sosok Retno Kustiyah. Dalam ejaan lama, namanya kerap ditulis Retno Koestijah. Sosoknya mungkin asing di telinga anak-anak muda. Namun bagi generasi yang lebih tua, Retno Kustiyah sangat populer. Dia adalah salah satu legenda bulutangkis putri Indonesia yang mengoleksi berderet prestasi.
Advertisement
Prestasi Retno bersinar di periode 1960-an hingga 1970-an. Publik mengenalnya sebagai pemain ganda putri yang tangguh dan sulit dikalahkan. Pasangannya saat itu adalah almarhumah Minarni Sudaryanto, sosok yang juga bergelimang prestasi. Berbagai gelar bergengsi dipersembahkan ganda putri kebanggaan Indonesia tersebut. Ada titel All England, Asian Games, Malaysia Terbuka, AS Terbuka, dan Kanada Terbuka.
Kedigdayaan Retno Kustiyah tak hanya di sektor ganda putri. Prestasinya di ganda campuran juga layak diapresiasi. Dia berhasil menjuarai Malaysia Terbuka dan Kejuaraan Asia saat berpasangan dengan Tan Joe Hok dan Christian Hadinata. Selain itu, Retno Kustiyah pernah memperkuat tim bulutangkis Indonesia dalam perebutan Piala Uber 1969 dan 1972.
Tak ada sukses yang datang tanpa kerja keras. Begitu juga yang dialami Retno. Perempuan berdarah Jawa yang lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, itu harus berjuang keras dalam keterbatasan sebelum mencicipi berbagai titel bergengsi.
“Dulu tak ada TC (training camp). Latihan ya sendiri, tidak ada pelatnas seperti sekarang ini. Pemain harus bisa mandiri,” tutur Retno mengenang masa lalunya.
Dahulu Retno biasa berlatih di Manggarai, Jakarta, bersama rekan-rekannya, termasuk Minarni. Tak ada fasilitas antar jemput mobil atau sepeda motor. Mereka kadang naik bus, becak atau sepeda onthel. “Sambil mengayuh sepeda, kami juga membawa cerek yang berisi teh. Kalau haus ya minum dari teh dalam cerek itu,” kata dia, saat berbincang dengan Bola.com di Gedung Bulutangkis Asia Afrika, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Pengalaman lain yang juga tak terlupakan adalah saat menjelang keberangkatan ke ajang All England pada 1968. Ada empat pebulutangkis Indonesia yang dikirim yaitu Retno, Minarni, Rudy Hartono dan Mulyadi. Seperti biasanya, tak ada fasilitas memadai untuk menunjang persiapan mereka. Lagi-lagi mereka harus berdamai dengan keterbatasan.
Selama sekitar dua bulan mereka berlatih di GOR Hall C Senayan, Jakarta. Biasanya agenda latihan bakal berantakan saat diinterupsi hujan. Atap gedung banyak yang bocor sehingga air hujan bisa masuk dengan leluasa. “Kalau sudah begitu Hall C ya banjir. Karena tidak ada Damkar, ya kami terpaksa membuang air menggunakan ember. Mungkin itu yang membuat otot-otot tangan kami jadi kuat,” ujar Retno sambil tertawa lepas.
Perjuangannya tak sia-sia. Pasangan Retno dan Minarni berhasil mempersembahkan gelar juara dari turnamen bergengsi itu. Kebanggaan dirasakan publik Indonesia. Bahkan saat mendengar kabar gembira tersebut, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sedang rapat langsung mengheningkan cipta bersama.
“Sangat bersyukur bisa juara. Memang fasilitas saat itu serba terbatas. Tapi keinginan kami untuk jadi juara sangat kuat. Sing penting ojo gelem kalah. Mungkin itulah resepnya bisa membawa pulang gelar.”
Bonus Asian Games
Retno juga berbagi tentang kenangan manis di ajang Asian Games 1962. Fasilitas latihan juga sangat terbatas. Namun, menurut Retno mereka mendapat dukungan besar dari Menteri Olahraga masa itu, R. Maladi. Saat medali emas bisa dibawa pulang, Retno dan Minarni langsung diguyur berbagai macam bonus.
Jangan bayangkan bonusnya berupa uang segar dalam jumlah besar seperti yang diterima atlet-atlet zaman sekarang. Hadiah uang masih jadi barang langka. Lalu apa bonus yang diperoleh Retno dan Minarni? “Saya dapat televisi kecil dan gratis tiket kereta api selama setahun. Listrik juga digratiskan selama setahun. Sudah lumayan banget itu. Tapi tanpa bonus pun tetap senang. Dulu itu motivasinya hanya ingin juara. Rasanya senang banget kalau bisa membuat bangga Indonesia,” ujar Retno.
Meski bersinar di sektor ganda putri, Retno pernah bermain tunggal. Minarni juga pernah bermain tunggal. Saat pertama kali dipasangkan dengan Minarni, Retno mengaku langsung merasa klop. Menurutnya hal itu terjadi karena mereka kompak di dalam dan luar lapangan. Bahkan di kemudian hari Minarni menikah dengan adik Retno. “Mungkin kami kompak karena senasib. Sama-sama anak dari keluarga tak mampu. Biasa naik sepeda bersama ke mana-mana.”
Kemonceran Retno saat bermain berlanjut ketika dia memutuskan gantung raket dan menjadi pelatih. Salah satu atlet binaannya adalah pebulutangkis tunggal putri legendaris Indonesia, Susi Susanti. Kini, Retno memang tak lagi terlalu aktif melatih. Namun, dia tak bisa meninggalkan bulutangkis begitu saja. Olahraga tepok bulu sudah menjadi nadi hidupnya. “Sekarang kadang ke lapangan di klub Jayaraya. Tapi lebih banyak duduk-duduk. Hobi memang tak bisa ditinggalkan begitu saja,” kata dia.
Baca Juga:
Pelatih Ganda Campuran Sesalkan Kegagalan Pasangan Unggulan
Indonesia Amankan Tiga Tiket Semifinal Vietnam Terbuka GP 2015