Bola.com, Jakarta - "Jadi siapa lawanmu jika sedang berlari?" tanya Reva Deddy Utama, yang kini menjabat sebagai salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI. Sore itu kami sedang bersiap bermain sepak bola di lapangan di kawasan Batu, Malang. Di pagi hari yang sama saya sempat berlari sekitar 10 kilometer.
Bang Deddy, begitu saya biasa memanggilnya, adalah mantan pesepak bola profesional. Jadi, saya yakin ia paham betul salah satu alasan berkembangnya olahraga adalah sifat kompetisinya yang kental.
Advertisement
Percakapan ini terjadi sekitar lima tahun lalu, saat olahraga sedang memulai masa keemasannya di republik ini. Mereka yang berlari mulai bertambah dan lomba-lomba semakin galak diadakan. Jika sekitar 15 tahun lalu Anda berlari di lingkungan Senayan pada malam hari, maka jam 20.00 adalah saat-saat akhir keramaian terjadi dan akan cepat para pelari menghilang. Sementara jika hari ini bahkan di jam 22.00 saja lintasan masih ramai oleh pelari, lima tahun lalu jumlah tersebut bahkan bisa berlipat dua.
Sederhana untuk menemukan alasan mengapa orang dengan mudahnya melakukan olahraga nonpermainan ini. Pada awalnya tentu adalah efek kemudahannya yang memang sangat luar biasa. Tak butuh skill khusus untuk bisa berlari, cukup sepasang kaki yang masih sanggup melangkah, olahraga ini sudah bisa dilakukan.
Kemudian segalanya menjadi rumit saat para penikmat hobi ini ingin meningkatkan performanya dan juga mulai membutuhkan berbagai alat bantu agar daya tahan bertambah. Maka diburulah berbagai asesoris pendukung, mulai sekadar kaus kutang sampai legging ketat yang konon bisa membantu pergerakan massa otot. Semakin bertambah lagi ketika mulai sadar bahwa pada lari di jarak yang lebih jauh dibutuhkan tak hanya mental dan fisik yang prima, tapi juga asupan makanan yang terus terpenuhi bagi tubuh.
Lalu diburulah dari sekadar pisang ala convenience store ternama sampai gel, yang konon, mampu menambah tenaga lalu kandungan garam yang dikemas sedemikian rupa oleh produsen untuk kebutuhan garam pada tubuh yang berkurang luar biasa saat kita terus bergerak cepat di jarak 42 km atau lebih.
Bisa jadi kita memang membutuhkan benda-benda ini, bisa jadi pula tidak. Yang pasti lari bukan lagi sesuatu yang murah, tapi juga sama seperti banyak hobi lain yang membuat kita jadi sangat menyukainya bisa menyulap kita menjadi lebih konsumtif.
Pada kelas sosial tertentu lari bisa jadi mulai mengejar popularitas Sepak bola, bahkan dalam kecepatan yang jauh lebih tinggi, lari mampu menempatkan olahraga berprestasi lain semacam voli atau bulutangkis melorot ke bawahnya. Semua orang mulai berlari, berbagai kegiatan, dan lomba lari diadakan oleh berbagai pihak. Apakah demi mengakomodasi kehausan kita akan prestasi? Ini masalah lain lagi.
Penting untuk memahami apakah dunia atletik kita menjadi terbantu oleh popularitas olahraga nonpermainan, namun memang bisa mencandu ini. Memang keadaannya praktis tidak separah sepakbola yang sangat digandrungi dan digilai oleh banyak orang di negeri ini, namun sama sekali tidak jadi apa-apa secara prestasi.
Popularitas sepak bola jauh melampaui segala olahraga lain di negara ini, sifatnya yang permainan, juga praktis kasat mata, sifat kompetisinya, dan tentu saja sungguh massif atmosfernya menjadikan sepak bola adalah pilihan utama Bangsa Indonesia untuk disaksikan.
Sampai level itu memang keadaan sepak bola di negeri ini. Disaksikan, dibicarakan, dikomentari, dan dieksploitasi sedemikian rupa oleh berbagai pihak. Prestasi? Nanti dulu, kita memang selalu bercerita dengan gagahnya bahwa di masa lalu Indonesia pernah berprestasi tinggi.
Faktanya prestasi apa kalau cuma menang turnamen anjangsana di negara yang saat ini pun bisa kita taklukkan macam Bangladesh atau Afghanistan.
Sebagai orang yang terus berlari sejak usia 13 tahun dan pernah masuk semifinal Pekan Olahraga Pelajar DKI Jakarta, saya pun berharap pada popularitas berlari yang sangat tinggi saat ini, bahkan konon nilai penjualan produk-produknya telah mampu mengalahkan sepak bola, tak berhenti pada popularitas buta belaka.
Tidak hanya menjadi sesuatu yang dibicarakan dengan gaya profesional oleh para penyuka layaknya sepak bola yang melulu dibahas dan dibincangkan seolah kita memahami cara bermainnya dengan benar.
Kita pernah melakukan kesalahan pada sepak bola dengan tidak pernah memahami bagaimana mengerjakan dan memperlakukannya dengan benar. Ketika olahraga lain hadir dan coba mengambil alih popularitas si permainan terindah, harapan terbesar saya adalah ia tak hanya berhenti pada menjadi gaya hidup belaka. Jika komunitas-komunitas yang muncul tak mampu menjadi akselerator prestasi internasional, setidaknya pihak swasta mampu melakukannya, seperti yang kini terjadi pada bulutangkis.
Kita butuh orang yang setidaknya sama gilanya seperti om Bob Hasan yang bahkan saat sedang "menginap" di Nusa Kambangan pun masih tetap bergerak dan bertindak demi dunia atletik nasional.
Banyak penggemar lari di negeri ini yang memiliki kemampuan finansial cukup baik, setidaknya ditunjukkan dengan rangkaian seri marathon atau ultra marathon internasional yang diikuti. Andai saja mereka bersatu dan mulai melakukan pembibitan dan pembinaan, saya rasa atletik atau berlari tak hanya akan berhenti menjadi kegiatan pagi hari di Car Free Day.
Atletik adalah ibu dari segala olahraga, ia menjadi induk dan asal muasal segala permainan yang kita pahami. Lionel Messi tak akan mampu bermain sepak bola jika ia tidak mampu berlari. Ahmad Bustomi, kapten tim nasional sepak bola saat ini memang tak pernah mencoba kemampuannya di lari 5 km sebelumnya, namun saat ia melakukannya, ia mampu menembus catatan waktu 23 menit, yang praktis sangat baik bagi para pemula lari.
@andibachtiar
Filmmaker & Constant Traveller