Sukses


Mengintip Kondisi Terkini Legenda Tinju Muhammad Ali

Bola.com, Arizona - - Bagi pencinta tinju, Muhammad Ali bukan hanya dikenal sebagai petinju terbaik di bumi, tapi juga atlet super yang memiliki kecerdasan untuk menegaskan otoritasnya. Namun, sejak mengidap Parkinson selama lebih dari tiga dekade, pria berusia 73 tahun tersebut berubah menjadi sosok yang sangat berbeda. Ali bagaikan seseorang yang terpenjara dalam tubuhnya sendiri.

Kondisi terkini sang legenda diungkapkan oleh seseorang yang sangat mengenalnya, yaitu sang manajer, Gene Kilroy.

“Sangat berat melihatnya hari ini. Dia hanya bisa berjalan dan bicaranya cadel. Butuh perjuangan besar untuk bisa berkomunikasi sederhana dengannya. Namun, saat ia melakukannya, setiap patah kata sangat berharga,” beber Kilroy, seperti dilansir Mirror, Kamis (5/11/2015).

“Tapi, sampai sekarang pun dia tak punya rasa takut. Dia berkata, ‘Saya akan bertahan selama Tuhan masih mengizinkan. Ketika saat itu datang, saya tak punya penyesalan. Saya mendapatkan banyak hal.’ Itulah yang dikatakannya,” imbuh sang manajer. 

Muhammad Ali (kanan) dan manajernya, Gene Kilroy. (Mirror)

Ali mendominasi era emas tinju kelas berat. Dia memenangi 56 dari 61 pertarungan yang dilakoninya, dengan mengalahkan Joe Frazier, George Foreman, Sonny Liston, hingga petinju legendaris Inggris Raya, Henry Cooper. Dia didiagnosis mengidap Parkinson pada 1984, hanya tiga tahun setelah pertarungan terakhirnya. Sejak itulah dia harus berjuang mengalahkan penyakit tersebut. Sayangnya, kali ini Ali tak dapat memenangi pertarungannya. 

Tahun lalu, kondisi Ali memburuk. Pada Desember 2014 petinju berjuluk Si Mulut Besar tersebut dilarikan ke rumah sakit karena terserang pneumonia. Tak lama kemudian, dia juga dideteksi mengalami infeksi saluran kencing. Kondisi itu membuat pergerakan Ali menjadi terbatas. Jika dulu dia dikenal sering bertarung di berbagai belahan dunia mulai London, Zaire, Filipina, Jerman, dan Puerto Rico, sekarang semuanya tinggal kenangan.

Apa yang terjadi pada September 2015 bisa menjadi bukti betapa The Greatest, julukan lain Ali, kini tak berdaya. Dia terlalu sakit untuk menjalani empat jam penerbangan dari rumahnya di Arizona ke Philadelphia untuk menyaksikan peresmian patung rival terbesarnya, Joe Frazier.

Kedua petinju bertarung tiga kali sepanjang periode 1971 hingga 1975. Setiap pertarungan selalu panas dan berbalut dendam. Rivalitas keduanya semakin sengit gara-gara komentar pedas Ali, yang menyebut Frazier lebih buruk daripada lebah. Frazier juga dijuluki sebagai ‘gorila di Manila’.

Saat kedua petinju berduel untuk kali terakhir pada Oktober 1975, pertarungannya sangat brutal. Frazier akhirnya menyerah di ronde ke-14 karena sudah tak bisa melihat.

“Kejadian itu sangat buruk. Mereka berdiri dan saling meninju bagaikan gladiator yang bertarung hingga mati. Saya duduk di sudut Ali dan berkata mereka seharusnya dihapuskan dari tinju,” ujar Kilroy.

Pertarungan itu berakibat buruk bagi kedua petinju. Frazier pensiun setahun berselang. Dia bahkan mengakui pernah berharap salah satu pukulannya menjadi penyebab Parkinson yang diidap Ali.

Hapus Dendam

Namun, sekarang, setelah 40 tahun berlalu sejak peristiwa tersebut, Ali ingin menghapus semua dendam di masa lalu. Kilroy mewakili Ali terbang ke Philadelphia untuk menghadiri peresmian patung Frazier. Tak lupa, dia membawa karangan bunga dari Ali untuk Frazier, yang meninggal empat tahun lalu akibat kanker.

“Ali meminta saya menyertakan tulisan di karangan bunga itu. Dia berkata,’Joe Frazier, beristirahatlah dengan damai sampai kita bertemu lagi. Tetapi, nanti kita tidak akan bertarung, kita bakal berpelukan.’ Itu pesan yang indah,” kata Kilroy.

Muhammad Ali saat bertarung dengan Joe Frazier. (Mirror)

“Setelah upacara peresmian, janda Joe, Margaret, dan saya pergi ke makam. Kami meletakkan karangan bunga di sana dan Margaret menangis seperti bayi. Ali tahu, dia sudah keterlaluan saat menyebut Joe sebagai gorila di Manila. Tapi dia tak bermaksud seperti itu,” imbuhnya.

Dalam film dokumenter I Am Ali, yang segera dirilis besok, putri Ali, Hannah, mengungkapkan penyesalan sang ayah. Hannah mengatakan Ali langsung menangis setelah mengetahui anak-anak Frazier di-bully di sekolah gara-gara julukan dari Ali untuk ayah mereka.

“Kami menghadiri pemakaman Frazier. Ali sangat sedih, dia sangat respek terhadap Joe. Ali tak membenci Joe, dia tak pernah membenci siapa pun. Dia hanya suka bermain-main di depan kamera,” kata Ali.

Kilroy kali pertama bertemu Ali di Olimpiade Roma pada 1960. Saat itu Ali memenangi medali emas kelas berat ringan, masih menggunakan nama Cassius Clay. Ali kemudian menjadi juara dunia kelas berat empat tahun kemudian, saat baru berusia 22 tahun, dengan mengalahkan Sonny Liston.

 

 

Sepak Bola Indonesia

Video Populer

Foto Populer