Bola.com, Jakarta - Kaus lengan panjang biru gelap yang dikenakan Daud Yordan telah basah kuyup oleh keringat. Kipas angin besar berwarna hitam yang berputar kencang di sisi ring tak banyak membantu mengirimkan udara segar. Keringat Cino menetes deras.
Sekitar pukul 22.00 Wita atau sejam sejak sesi latihan dimulai, kaus biru tersebut akhirnya dicopot dari tubuh Daud. Petinju asal Ketapang, Kalimantan Barat itu meneruskan latihan dengan bertelanjang dada. Konsentrasinya kembali terpusat kepada sang pelatih, Craig Christian. Lima lampu besar yang dipasang di atas ring membuat suasana terasa “panas”.
Baca Juga
Hadiri University Boxing League, Daud Yordan Mendukung Penuh Perkembangan Petinju Muda Indonesia
Foto: Jadi Laga Penutup University Boxing League, Gaga Muhammad Melawan Raja "Big Heca" Berlangsung Seru
University Boxing League Hadir untuk Hidupkan Kembali Semangat Tinju di Kalangan Mahasiswa: Gaga Muhammad Ikut Unjuk Gigi
Advertisement
Baca Juga
Mengenakan sarung tinju berwarna pink keunguan, Daud terus memukul Craig. Sesekali, mantan pelatih Chris John tersebut memeragakan gerakan terdesak ke tali ring yang berwarna perpaduan merah, putih, dan biru. Pria asal Australia tersebut masih segar bugar meski Daud terus mendesak. Sembari meladeni pukulan Daud, dia memberikan instruksi-instruksi singkat. Diskusi-diskusi kecil tersaji di sela-sela jual-beli pukulan.
Menjelang pukul 23.00 Wita, latihan berakhir. Daud turun dari ring, berkemas-kemas untuk pulang. Latihan malam pertamanya di Harry's Gymnasium, Kuta, Bali, Selasa (26/1/2016), berakhir sudah. Tepat 10 hari lagi, pertandingan besar sudah menunggunya.
Ya, Jumat malam 5 Februari 2016 menjadi momen penting bagi petinju kelahiran Ketapang, 10 Juni 1987, tersebut. Daud akan naik ring meladeni petinju Jepang, Yoshitaka Kato, untuk mempertahankan gelar juara kelas ringan World Boxing Organization (WBO) Asia Pasifik dan Afrika. Ini jadi pertarungan pertamanya sejak merebut gelar WBO Africa dalam pertarungan yang berakhir kemenangan angka mutlak melawan petinju Ghana, Maxwell Awuku.
Hasil duel melawan Kato bisa menjadi titik balik, ke arah maju atau sebaliknya. Karier Cino bakal dipertaruhkan pada laga yang digelar di Balai Sarbini, Jakarta tersebut.
Jika menang, Cino bakal punya punya kans menantang pemegang sabuk juara dunia kelas ringan WBO, Terry Flanagan. Daud saat ini menempati ranking empat dunia WBO. Jika menang, peringkatnya bisa naik ke posisi kedua atau pertama dan menjadi mandatory option untuk merebut sabuk juara dunia kelas ringan WBO. Jika kalah, Cino harus merangkak lagi.
Melihat peluang emas terbentang di depan mata, Daud mantap menjemput impiannya. Langkah ekstem ditempuhnya. Untuk kali pertama sepanjang kariernya, Daud tak lagi 100 persen dilatih sang kakak, Damianus Yordan. Petinju pengoleksi 34 rekor kemenangan dan tiga kekalahan itu menggandeng Craig Christian, sosok di balik kesuksesan Chris John. Ini bukti keseriusan Daud mengejar sabuk juara dunia.
Daud pun rela menyeberang pulau, terbang ke Bali untuk berlatih di Harry's Gymnasium Kuta, Bali, bersama Craig. Selama 1,5 bulan, hari-hari Cino dihabiskan di Pulau Dewata. Hidupnya hanya berpusat ke sasana dan mess. Hidup jauh dari keluarga bukan hal yang mudah, bahkan bagi seorang petinju setangguh Cino.
Keluarga Pusat Kehidupan
Rasa rindunya terus ditekan. Impian besar harus ditebus dengan pengorbanan. Tapi petinju tetaplah manusia biasa. Sekitar sebulan lalu, air matanya menetes saat teleponnya tersambung dengan sang ibunda, Natalia, nun jauh di Kalimantan Barat.
“Saya tak pernah menangis karena pertandingan. Tapi, satu bulan lalu saya nangis di kamar. Saya merindukan ibu saya. Saya meneleponnya, sedang ngomong, tiba-tiba air mata turun,” kata Cino menceritakan momen emosionalnya tersebut kepada bola.com, di Kuta Bali, Rabu (27/1/2016).
“Ibu membesarkan hati saya. Dia bilang supaya saya semangat karena ada banyak harapan dari orang-orang untuk saya.”
Selain tinju, keluarga memang merupakan pusat kehidupan Daud. Petinju yang pernah bertarung di Amerika Serikat melawan Antonio Meza pada 13 September 2008 itu selalu berpaling ke keluarganya jika semangatnya meredup. Tak hanya sekali dia ingin meninggalkan dunia tinju yang dicintainya. Tapi, niat itu selalu pupus jika menengok keluarga besarnya, terutama istri dan anaknya.
“Saya flashback lagi harapan-harapan keluarga saya, melihat keluarga kecil saya. Saya ini tulang punggung keluarga. Berhenti sejenak boleh, istirahat sesaat juga boleh. Paling satu bulan atau setengah bulan. Setelah itu saya harus kembali, tidak boleh mengeluh, dan tetap semangat,”
Lagipula tinju benar-benar tak bisa dipisahkan dari kehidupan Daud. Aroma tinju selalu hadir dalam setiap tarikan napasnya. Saudara-saudara Daud (Damianus, Petrus, dan Yohanes) semuanya mantan petinju. Ayahnya penikmat sejati olahraga keras ini. Di kampung halamannya, semua orang bicara tentang tinju.
Memahami Arti Pengorbanan
Sejak usia 8 tahun dia juga sudah berlatih tinju. Pria yang pernah menyandang sabuk juara dunia kelas bulu versi International Boxing Organization (IBO) seusai menundukkan petinju asal Filipina, Lorenzo Villanueva, dengan TKO pada 5 Mei 2012 itu juga mulai rajin menonton pertandingan-pertandingan tinju. Sebagian besar masa kecilnya habis di Sasana Tanjung Pura, di kampung halamannya. Sasana yang sangat sederhana, hanya berupa lapangan, ring dari tali tambang, dan jauh dari standar kelayakan. Tapi, Daud mencintai tempat itu.
Sejak itulah Cino mulai memahami arti pengorbanan. Menukarkan sebagian waktu masa kecilnya untuk mengasah kemampuan tinjunya. Saat teman-teman seusianya bisa bermain sesuka hati, pengidola Julio Cesar Chavez tersebut rela menghabiskan waktu untuk berlatih. Rutinitas itu berlanjut saat dia beranjak remaja. Menikmati kesenangan ala anak muda menjadi hal asing dalam kamus hidupnya.
“Memang situasi membuat saya tak bisa menjalani hidup layaknya anak muda lainnya. Tapi, di balik kesuksesan butuh perjuangan. Ya memang itu jalannya. Bukan hanya olahragawan, profesi apapun butuh pengorbanan. Hanya memang dalam dunia olahraga itu itu butuh pengorbanan ekstra, kami dituntut maksimal, mengeluarkan energi besar demi memenangi pertarungan. Tapi saya jalani semuanya dengan sukacita,” beber petinju yang membukukan 34 kali kemenangan knock-out (KO) itu.
Ketekunannya berlatih menuai hasil saat Daud duduk di SMP. Petinju yang kehilangan sabuk juara IBO setelah kalah TKO ronde 12 dari petinju Afrika Selatan, Simpiwe Vetyeka, di Jakarta, pada 14 April 2013, tersebut dipanggil masuk tim nasional junior dan tim nasional tinju amatir. Masa sekolahnya di bangku SMP dan SMA dihabiskannya di Jakarta.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1
Terjun ke Tinju Profesional
Meski sempat menjadi kampiun di Kejuaraan Nasional Junior 2004, prestasi amatir Daud kurang mengesankan. Dia tersingkir dari tim nasional SEA Games 2005 di Manila. Namun kegagalan itu tak membuatnya malas terjun ke tinju profesional dengan menunjuk kakaknya, Damianus, sebagai pelatihnya.
Kariernya pun berlanjut hingga sekarang. Pada 15 Juni 2006, Cino kali pertama mencicipi bertarung di luar negeri, tepatnya Singapura. Petinju bergaya ortodoks itu berhasil menang KO atas petinju Thailand, Narong Sor Chitralada. Kurang dari setahun, tepatnya pada 17 Mei 2007, Daud pun merebut sabuk pertama WBO Asia-Pasific Youth berkat kemenangan asal petinju Filipina, Reman Salim.
Kisah perjuangan Daud berlanjut dengan kesempatan bertanding di Amerika. Dia pun berhasil menundukkan Antonio Meza dari Meksiko di MGM Grand, Las Vegas.
Pada 30 Nov 2011 Daud Yordan menjadi juara IBO Asia Pasifik setelah mengalahkan petinju Amerika Serikat, Frankie Archuleta, di Australia. Sang lawan dipukul KO pada ronde ke-4. Setahun berselang gelar juara dunia IBO pun berhasil direbut setelah menundukkan Lorenzo Villanueva dari Filipina dengan TKO pada ronde kedua.
Gelar juara dunia IBO lepas dari tangannya pada 14 April 2013. Daud Yordan kalah TKO pada ronde ke-12 dari petinju Afsel bergaya boxer murni, Simpiwe Vetyeka. Ironisnya, pertandingan ini digelar di Jakarta, di depan pendukungnya sendiri.
Daud juga pernah menjajal merebut gelar juara dunia versi WBA. Pertandingan perebutan sabuk juara dunia itu digelar pada 17 April 2011, melawan sesama petinju Indonesia sekaligus rekan seangkatannya, Chris John. Sayang, upaya pria yang mengoleksi kaus-kaus bergambar petinju dunia ini pupus. Chris John berhasil menang angka mutlak dalam duel yang berlangsung di Jakarta. Itu adalah pertandingan ke-14 Chris John dalam mempertahankan gelarnya.
Menengok ke belakang, seluruh pengalaman di pentas tinju dunia tersebut tak akan pernah dirasakan Daud jika setelah lulus SMA tak memutuskan memilih tinju sebagai jalan hidupnya.
“Keputusan untuk menekuni tinju tepatnya muncul setelah selesai SMA, saya kembali ke Kalimantan Barat. Saya berpikir harus ke mana? Teman-teman kuliah saya mulai kerja dan mencari jati diri masing-masing. Saya harus memilih dan akhirnya berdiskusi dengan keluarga saya. Mereka tahu yang terbaik untuk saya. Mereka juga sepakat dengan pilihan saya untuk menggeluti tinju dan menjadikannya sebagai profesi,” beber ayah dari Miguel Angel Yordan Jr tersebut.
Alasan Menggeluti Tinju
Banyak pertimbangan ketika Daud memutuskan menggeluti tinju. Salah satunya faktor ekonomi. Orang tuanya seorang petani karet tradisional yang menjalani hari demi hari bekerja supaya keluarganya bisa makan layak. Petinju bergaya ortodoks tersebut ingin mengubah kehidupan keluarganya. Itulah satu di antara banyak alasannya terjun menekuni olahraga keras dan berbahaya itu.
Pilihannya tidak salah. Setidaknya menurut dirinya sendiri. Gelar juara IBO pernah dicicipinya. Kini jalannya menuju gelar juara dunia WBO juga semakin terbuka. Secara finansial, kehidupan Daud juga banyak berubah, tentunya ke arah positif. Apakah hasil dari bertinju sejauh ini sesuai dengan ekspektasinya?
“Secara finansial, sejauh ini ya. Tolok ukurnya bukan besar atau kecil. Tapi, setidaknya apa yang saya lakukan berdampak besar ke keluarga dan saya sendiri,” kata Daud.
Lewat tinju Daud bisa membelikan kedua orang tuanya sebuah rumah, begitu juga membantu saudara-saudaranya secara finansial. Untuk dirinya sendiri, Daud merasa memperoleh banyak pengalaman hidup yang sangat bernilai. Adapun secara finansial, dia telah memiliki rumah dan kendaraan untuk keluarga kecilnya. Cino juga juga punya rencana besar yang ingin diwujudkan setelah pensiun.
“Ada hal yang ingin saya lakukan di kemudian hari setelah tak lagi bertinju. Prosesnya sudah berjalan dan tentu saja saya juga ingin membahagiakan keluarga besar saya,” beber putra Hermanus Lay Tjun yang berdarah Indonesia-Tionghoa itu.
Salah satu cara Daud membahagiakan keluarga besar adalah dengan mengincar sabuk juara dunia WBO. Jika titel bergengsi tersebut bisa diraih, itu juga menjadi kemenangan penting bagi keluarga besarnya. Seluruh proses dan tangga yang ditapaki menuju gelar tersebut tercipta berkat kontribusi orang tua, saudara-saudara, istri, serta anaknya.
Titel juara dunia WBO sangat penting di matanya, impian semua olargawan. Meskipun sudah berhasil menggapai banyak hal dari bertinju, Cino mengakui belum puas. Prestasinya masih jauh dari sempurna. Pria yang senang menonton video pertandingan petinju-petinju dunia itu bertekad menggapai gelar bergengsi tersebut pada tahun ini. Pertarungan melawan Kato, jadi salah satu tahapan krusial untuk mewujudkan cita-cita besarnya tersebut.
“Kalau cepat dan mulus, mungkin pada akhir tahun ini bisa juara dunia,” ujarnya optimistis.
Pelajaran dari Oscar De La Hoya
Saat perjalanan sudah sampai sejauh ini, Cino selalu teringat sosok mantan petinju ternama dunia, Oscar De La Hoya. Petinju asal Meksiko itu secara tidak langsung telah mengajarinya banyak hal. De La Hoya membuatnya tak berani sesumbar dengan apa yang telah dicapainya baik di dalam maupun di luar ring.
Bukan hanya petarung tangguh di ring, De La Hoya juga pribadi yang menyenangkan dan bersahaja di luar ring. Daud mengidolakaan pemegang gelar medali emas Olimpiade itu sejak melihatnya di televisi bertarung melawan Julio Cesar Chavez pada tahun 1996. Dia bertekad ingin menjadi petinju sehebat The Golden Boy.
“Beberapa tahun lalu, saya akhirnya bisa bertemu dia. Dia luar biasa humble. Kami belum pernah ketemu, tapi seperti sudah bertahun-tahun kenal. Dia mau membalas sapaan dan memeluk saya. Dia merupakan contoh bagi saya. Orang besar saja bisa rendah hati. Humble kan tidak membayar dan tidak mahal. Itu soal masalah attitude. Hal kecil itulah yang saya pelajari dari seorang De La Hoya. Meskipun hidup sudah dibawa kemanapun, ya tidak harus gimana-gimana. Attitude berpengaruh paling besar sebelum kita jadi apapun. Anda punya talenta bagus, tapi attitude-nya buruk, ya tidak akan jadi apa-apa.”
Jarum jam terus berdetak. Cita-cita pun sudah diapungkan. Pertarungan melawan Kato sudah di depan mata. Kans membuka jalan menuju gelar juara dunia jadi taruhannya. Jadi, yakinkah Daud mampu mengalahkan Kato dan jadi juara dunia pada tahun ini? "Yakin," jawab Daud dengan singkat dan percaya diri.
Advertisement