Sukses


Kolom: Keberlangsungan Rio Haryanto di F1 dan Kisah Alex Yoong

Saat mendengar kabar Rio Haryanto yang menjadi pebalap F1 pertama Indonesia harus bergulat dengan masalah pendanaan, langsung di benak terbersit Alex  Yoong, eks pebalap F1 asal Malaysia. Mereka memiliki problem serupa.

Saya bertemu dan berfoto bersama Alex Yoong 16 tahun yang lalu, tepatnya 22 Oktober 2000 pada GP Malaysia di Sirkuit Sepang. Saat itu masih hangat diperbincangkan, ia berhasil menjadi pebalap F1 dan dipinang tim Minardi. Alex adalah pebalap F1 kedua dari Asia Tenggara. Sebelum Alex, ada Pangeran Bira dari Thailand, yang tampil di ajang F1 pada era 1950-an.

Dalam situs pribadinya, Alex yang kini memimpin program pengembangan pebalap muda Lotus Racing, serta menjadi komentator F1 di TV menyatakan, "motor racing is not an easy sport to get into due to the prohibitive costs involved" yang artinya kurang lebih adalah: balap bukanlah olahraga yang mudah untuk ditekuni karena melibatkan unsur pendanaan yang besar.

Alex Yoong (kiri) bersama rekan setimnya saat di Minardi, Mark Webber. (Motorsport)

Sadar akan hal ini, keluarga Yoong maupun Haryanto mengawali kiprah anak-anaknya secara mandiri. Kisah Rio, sudah banyak diungkap. Sang ayah, Sinyo Haryanto adalah pebisnis yang punya pabrik buku tulis di luar profesinya sebagai pebalap. Ia merelakan sang putra bermukim di luar Indonesia agar semakin dekat dengan dunia balap formula, sekaligus cakap secara akademis.

Sementara Hanifah Yoong Yin Fah, ayah Alex, adalah pebalap serta pengelola Sirkuit Shah Alam, Malaysia. Ayah Hanifah atau kakek Alex, Yoong Wan Hoi adalah pebisnis baja yang mendanai sendiri sang cucu, agar bisa berlaga di Formula Asia 1994.

Biaya yang dikeluarkan buat Alex sebesar RM 50.000 atau Rp 168,4 juta. Pembiayaan pribadi ini dilakukan lagi saat Alex turun di Formula 3 pada 1998, karena Petronas menolak permohonan Alex untuk menjadi penyandang dana.

Agar bisa bergabung dengan Portman Racing Team, Inggris, kakek Alex memberikan dana senilai RM 300.000 Rp 1,01 miliar. Dana sebesar itu digunakan untuk turun di British F3 Championship di Silverstone (Juli 1998) dan European F3 International di Belanda (Agustus 1998).

Lalu masih dibutuhkan RM 1.200.000 atau setara Rp 4,04 miliar agar Alex bisa mengikuti keseluruhan F3 sampai akhir musim. Saat jeda balap F3, Alex pulang ke Malaysia buat mencari sponsor lagi. Pada surat kabar New Sunday Times tertulis artikel yang dilengkapi nomor kontak Alex dan Hanifah Yoong. Tujuannya tidak lain agar sponsor yang tertarik bisa langsung menghubungi pihak Alex.

Uang Bukan Segalanya

Tahun 1999, pemerintah Malaysia serta beberapa penyandang dana setempat mengusahakan bantuan pinjaman uang serta asuransi untuk Alex. Dana ini mesti dibagi agar Alex bisa berlaga di F3 serta Formula 3000.

Gelaran GP Malaysia juga dimanfaatkan buat mencari sponsor. Menurut Alex, itulah saat dimana pintu-pintu dana terkuak lebih lebar. Ia kemudian didatangi Rupert Manwaring, Direktur tim Minardi dan ditawari kursi ke F1 dengan jalur seperti Rio, yaitu pay driver.

Bila Alex bisa menggandeng sponsor secara cepat, di British GP 2000 (akhir April) mungkin ia sudah bisa turun balapan. Tetapi, baru sekitar awal Juli 2000 pebalap yang juga atlet ski air ini mendapatkan suntikan dana.

Sumbernya Magnum Corporation yang didukung penuh oleh pemerintah Malaysia, khususnya Menteri Pemuda dan Olahraga. Spekulasi beredar, nominalnya mencapai 5 juta dolar AS Rp 66,2 miliar. Namun angka pasti tetap tak terungkap sampai sekarang.

“Uang saja tidak bisa membawa seorang pebalap ke jenjang F1, kalau dasarnya ia tidak memiliki kapabilitas. Hal tersebut adalah pertimbangan utama dari tim F1. Sesudah itu, barulah dukungan komersial mengikuti pebalap ke jenjang F1,” kata Alex.

Sekitar sebulan kemudian ia mengikuti tes di Mugello, Italia, dan sesudahnya diberikan super licence. Alex tampil di GP Italia September 2001 di bawah bendera tim Minardi dan mengakhiri karier di F1 di GP Jepang pada Oktober 2002

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 2 halaman

2

Aset, Promosi, Investasi 

Semua sudah tahu akhir cerita Alex Yoong di pentas F1. Tetapi Rio Haryanto, sampai saat ini masih melakoni kiprahnya sebagai insan otomotif Indonesia yang berlaga di pentas jet darat 2016.

Rio Haryanto adalah satu di antara 22 pebalap dari seluruh dunia yang terpilih jadi pebalap F1. Soal kecakapan di sirkuit, memang menjadi tanggung jawabnya. Namun ada satu hal, yang masuk kategori terpenting dan selayaknya tidak membebani pundaknya, setiap kali ia berlaga, yaitu keberlangsungan sokongan finansial.

Mirip dengan Alex Yoong, Rio didukung oleh Pemerintah serta Menteri Pemuda dan Olahraga, yang memberikan jaminan meskipun belum ada dana yang dikucurkan sampai sekarang. Lalu di setiap balap yang diikuti Rio ada Pertamina, yang paling tidak sudah enam tahun ini bersanding dengan PT Kiky Sport milik keluarga Haryanto untuk pendanaan.

Ada juga program pengumpulan dana yang menghimpun fulus dari para pendukung. Selain itu, Rio telah merogoh kocek pribadi keluarga senilai 3 juta euro atau setara Rp 45,2 miliar yang berasal dari dana pinjaman.

Episode pertama pembiayaan Rio untuk berlaga di kancah F1 sudah berhasil dilewati. Namun episode selanjutnya sudah menanti. Rio harus bisa menutup seluruh sisa kewajiban pembayaran yang mencapai 7 juta euro atau setara Rp 105 miliar, agar ia bisa tampil penuh dalam satu musim kompetisi.

Rio Haryanto (REUTERS/Jason Reed)

Para pihak yang berkompeten di negeri kita mesti berpacu melawan waktu, agar tidak terlambat menggalang dukungan finansial kepada Rio. Bagaimanapun, kehadiran Rio di ajang F1 adalah aset Indonesia. Kalau semua pembiayaan lancar dan ia terus bisa meraih prestasi, paling tidak bendera Indonesia bisa terus beredar di pentas F1 selama bertahun-tahun.

Sebuah kesempatan promosi sekaligus investasi terbuka sangat lebar dan harus bisa dimanfaatkan maksimal. Sekujur badan Rio yang dibungkus baju balap, helm, dan mobil milik Manor Racing adalah papan reklame. Jika mengingat balapan yang digelar di 21 sirkuit dan didistribusikan melalui siaran TV ke seluruh dunia, maka papan reklame tersebut bisa menjadi hal yang efektif.

Sayang, selain menunggu pelunasan pembiayaan, soal pendanaan Rio sendiri sampai hari ini masih menuai kontroversi. Muncul debat, termasuk menyertakan pandangan dari insan olahraga di Tanah Air.

Merumuskan Aturan

Jika bantuan diberikan ke Rio, kecemburuan dari cabang lain bakal muncul. Padahal bila mau menelaah lebih jauh, setiap cabang olahraga memiliki kekhasan masing-masing. Termasuk pelakunya, apakah cabang perseorangan, beregu, atau tim. Melibatkan perangkat pendukung tertentu atau tidak, masuk cabang otomotif atau tidak, dan seterusnya.

Ke depannya, mungkin bisa dirumuskan aturan detail untuk mewadahi kebutuhan pendanaan atlet otomotif dan non-otomotif. Juga menjadikan beberapa parameter di lapangan sebagai acuan baku. Termasuk meminjam komentar Alex Yoong: balap bukanlah olahraga yang mudah untuk ditekuni karena melibatkan unsur pendanaan yang besar.

Namun yang mendesak kini, kesempatan yang tengah berada di pundak Rio, sekaligus menjadi milik seluruh bangsa Indonesia, tidak datang dua kali. Kesempatan itu memiliki durasi serta tenggat waktu tertentu.

Melihat Rio Haryanto duduk di belakang juara dunia F1 tiga kali, Lewis Hamilton dalam konferensi pers sebelum GP Australia, serta menyimak bagaimana ia bertutur tentang harapan bangsa yang diwakilinya, apakah kita tidak ingin menempatkan dia sebagai salah satu duta olahraga Indonesia dalam jangka waktu paling tidak, satu atau dua tahun ke depan? 

Ukirsari Manggalani

*Penulis adalag Travel writer, penulis cerpen, dan mantan editor sebuah media otomotif di Tanah Air. Saat ini bermukim di London.

 

Video Populer

Foto Populer