Bola.com, Surabaya - Setelah dua tahun dicoret dari Pelatnas PBSI Cipayung, Sony Dwi Kuncoro, akhirnya kembali merasakan manisnya gelar juara turnamen super series. Pemain berusia 31 tahun tersebut sukses merebut gelar juara Singapura Terbuka 2016, di Singapore Indoor Stadium, Minggu (17/4/2016).
Advertisement
Baca Juga
Prestasi tersebut cukup mengagetkan karena Sony bukan lagi diperhitungkan sebagai pemain papan atas. Untuk meraih hasil itu, Sony harus berjuang merangkak dari babak kualifikasi, mengalahkan Lin Dan di semifinal, dan menumbangkan andalan Korea Son Wan Ho di partai puncak sekaligus meraih gelar juara.
Tak heran, dia begitu emosional saat merayakan gelar juaranya. Sony juga tersenyum lebar saat berfoto dengan membentangkan bendera Merah Putih. Kelegaan terpancar jelas di wajahnya. Perpaduan antara kebahagian dan kebanggaan.
Lantas apa rahasia Sony Dwi Kuncoro mampu meraih mahkota juara di turnamen ini? Serta bagaimana perjuangannya supaya bisa bersinar meskipun harus berjuang dari luar gerbang Pelatnas PBSI. Berikut petikan wawancaranya dengan Bola.com dengan Sony di Surabaya
Bisa diceritakan bagaimana berkompromi dengan kenyataan pahit dicoret setelah dari Pelatnas?
Dicoret dari Pelatnas Cipayung membuat saya benar-benar terpuruk. Sekitar sebulan saya tidak melakukan hal berarti. Sehingga kondisi saya turun drastis, feeling saya hilang. Semuanya menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
Pada saat itu pernah terpikir untuk pensiun saja?
Benar, saya dilanda putus asa. Karena saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Sempat terlintas untuk mengakhiri karier dan gantung raket.
Apa titik balik yang membuat Anda merasa memutuskan bahwa ini saatnya bangkit dan yakin masih punya masa depan di bulutangkis?
Saya didegradasi dari Pelatnas bulan Juli 2014. Pertengahan Mei 2015 saya menyadari bahwa hidup saya di bulutangkis. Jika saya tidak bangkit, kehidupan saya pasti lebih buruk daripada ini.
Istri juga berperan besar memupuk semangat, sehingga saya merasa masih bisa berbuat banyak. Dari situlah saya berusaha keras untuk mengembalikan apa yang pernah saya capai.
Sulitkah menyesuaikan diri dengan status baru bukan lagi pemain Pelatnas? Pernah merasa minder?
Awalnya sangat sulit, karena semua terasa lebih berat. Tapi seiring berjalannya waktu, saya bisa mengatasinya. Syukur Alhamdulillah, berkat keluarga dan orang-orang yang peduli kepada saya, akhirnya saya bisa menerima kenyataan bahwa saya bukan lagi pemain Pelatnas.
Soal minder, tidak bisa dipungkiri saya sempat merasakannya. Namun karena dukungan keluarga (istri), sponsor, serta Pengprov PBSI Jatim, rasa itu pelan-pelan hilang.
Berjuang dengan mengikuti kejuaraan bulutangkis pasti butuh dana. Dari mana Anda mendapatkan dananya?
Tidak ada yang mudah memulai hal baru. Karena semua harus kami biayai sendiri. Dana untuk mengikuti kejuaraan demi kejuaraan berasal dari tabungan dan sumbangan dari teman dan beberapa pengurus PBSI Jatim.
Soal besarnya dana yang saya gunakan selama setahun relatif banyak, tapi besaran pastinya tidak perlu saya sebutkan.
Mudahkah mengatur keuangan sendiri? Keuntungannya dari mana, apakah hadiah turnamen atau sponsor?
Mengatur keuangan sendiri tidak mudah, sebab harus belajar lagi. Untung, istri saya (Gading Safitri) pandai mengelola keuangan dan mendistribusikannya. Sehingga saya tidak perlu mempekerjakan orang lain untuk mengaturnya.
Keuntungan yang saya dapatkan tentu dari sponsor dan hadiah turnamen. Tanpa keduanya, saya tidak bisa bertahan sampai sekarang.
Dulu sebagai pemain Pelatnas apa-apa kan ada yang mengurusi saat akan mengikuti turnamen. Bisa ceritakan apa perbedaannya setelah sekarang berjuang sendiri sebagai pemain pro?
Menjadi pemain pro sangat berbeda dibanding saat masih Pelatnas. Di Pelatnas, semua fasilitas tersedia, kami tinggal konsentrasi latihan. Tapi sejak menjadi pemain pro, saya harus melakukan banyak hal sendiri. Mencari tempat latihan sendiri dan berpindah-pindah karena harus menyesuaikan dengan agenda penggunaan gedung.
Di Pelatnas, asupan gizi, nge-gym dan lain-lain sudah ada yang mengurusi. Namun ketika menjadi pemain pro, semua diurus istri saya. Dulu cari partner untuk latihan tinggal pilih karena di Cipayung banyak atlet bagus, tapi sekarang saya harus latihan dengan pemain-pemain muda, atau para veteran dan pengurus Pengprov PBSI Jatim.
Untuk pelatih juga sama, di Pelatnas banyak pelatih bagus, di luar tidak. Untung, selama saya di Pelatnas istri sering melihat saya latihan. Sehingga ia cepat belajar dan bisa menjadi pelatih saya, terutama memperbaiki sejumlah kelemahan saya.
Sejak kapan istri Anda menjadi pelatih sekaligus manajer? Mengapa memilih dia jadi pelatih dan manajer?
Istri saya menjadi pelatih sejak Agustus 2015. Istri saya cepat belajar, kebetulan ayahnya Gading adalah pelatih PB Djarum.
Metode latihan seperti apa yang diterapkan istri? Apa bedanya dilatih istri dibanding pelatih biasa?
Tidak berbeda dengan pelatih kebanyakan. Hanya saja, karena dia tidak pernah terjun sebagai pemain, ada beberapa hal yang kurang. Tapi dia punya kelebihan yang tak dimiliki pelatih lain, yakni pendekatannya.
Dia tidak pernah memaksa saya mengubah karakter main untuk menutupi kelemahan, tapi dia bisa memodifikasinya sehingga saya bisa memperbaiki kekurangan tanpa harus mengubah karakter main yang sudah terbangun dari dulu.
Usia Anda sudah 31 tahun, setelah juara di Singapura apa ambisi yang masih ingin Anda kejar?
Semua mengalir saja. Saya memang punya sasaran yang lebih tinggi dari sekadar super series, tapi saya juga harus mengukur kemampuan saya sekarang.
Punya keinginan kembali ke Pelatnas Cipayung?
Soal kembali ke Pelatnas Cipayung sepertinya belum. Saya tidak berani bilang ya atau tidak. Karena saya tidak tahu rencana Tuhan. Sekarang saya hanya ingin jalani sisa karier di bulu tangkis dengan sebaik mungkin.