Bola.com, Jakarta - Tiga pemain muda Indonesia, Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa, dan Anthony Sinisuka Ginting tengah menapaki karier menuju jenjang elite bulutangkis dunia. Tak ada kata pesimistis meskipun bertumpuk tantangan terbentang di depan mereka. Perlahan tapi pasti, tantangan tersebut satu persatu dilewati.
Advertisement
Baca Juga
Hasil nyata mulai terlihat. Trio Jonatan, Ihsan, dan Ginting kini telah bercokol di peringkat 25 besar dunia pada usia yang masih sangat muda. Ihsan ranking ke-20 dunia, Jonatan 21, sedangkan Ginting menempati peringkat ke-23.
Ketiganya juga telah menjadi tulang punggung tim Indonesia di ajang Piala Thomas 2016, yang menjadi runner-up seusia kalah dari Denmark di partai final. Publik mulai menggadang-gadang mereka sebagai calon bintang masa depan Indonesia di sektor tunggal putra. Meskipun melejit cukup cepat, mereka masih jauh dari puas. Masih banyak ambisi yang ingin dikejar dan mimpi yang ingin diraih.
Kompak Idolakan Taufik Hidayat
Bicara soal ambisi dan mimpi, ketiganya ternyata terinspirasi dari sosok yang sama. Trio pemain tersebut kompak mengidolakan dan ingin mengikuti jejak legenda bulutangkis Indonesia, Taufik Hidayat. Kebetulan, mereka tumbuh bersamaan dengan masa kejayaan pemain yang meraih medali emas di ajang Olimpiade Athena 2004 tersebut.
Anthony Ginting mengaku sejak dulu pemain idolanya tak pernah berubah. Selalu Taufik Hidayat. Menurutnya, Taufik punya banyak kelebihan yang menjadi inspirasinya dalam berkarier.
"Idola saya dari pertama dulu ya Taufik Hidayat. Alasan suka, pertama karena perawakannya keren. Prestasinya juga hampir lengkap, kecuali All England. Cara mainnya bagus, keren pokoknya," beber Ginting, dalam perbincangan dengan Bola.com, di Kompleks Pelatnas Cipayung, Jakarta, belum lama ini.
Saking nge-fans terhadap Taufik, Ginting tak tertarik mengidolakan pemain luar negeri. "Kalau pemain luar negeri tidak ada (yang diidolakan)," imbuh Ginting.
Ihsan juga menyukai Taufik Hidayat. Sejak terjun ke dunia bulutangkis, dia langsung dikenalkan tentang Taufik oleh sang ayah. Dia sering melahap aksi-aksi pemain yang mengoleksi enam gelar Indonesia Terbuka itu melalui video yang diberikan oleh ayahnya. "Saya senang melihat gaya permainannya. Kalau ngelihat Taufik itu rasanya keren. Video yang diberikan ayah ya memang Taufik, bukan dari generasi sebelum-sebelumnya. Beda generasi kan beda juga permainannya," beber Ihsan.
Jika Ihsan dan Ginting mengidolai Taufik sejak kecil, cerita Jonatan agak berbeda. Pemain yang berusia 18 tahun tersebut awalnya tak mengidolakan siapapun saat mula menekuni olahraga tepok bulu ini. Namun, seiring berjalannya waktu, pemain yang akrab disapa Jojo tersebut baru mengenal bintang-bintang bulutangkis Indonesia, salah satunya Taufik.
Dari situlah, Jonatan juga mulai mengagumi legenda bulutangkis asal Pengalengan, Jawa Barat itu. Momen Olimpiade Athena membuatnya semakin mengidolakan Taufik. "Kalau saya terbalik dengan Ihsan dan Ginting. Saya menekuni dulu olahraganya dulu, baru menemukan idola. Zaman itu pada 2004 Taufik kan juga berhasil juara Olimpiade. Makanya saya mengidolakan dia," beber Jojo.
Taufik bukan satu-satunya pemain yang menginspirasi Jonatan. Jojo juga sangat mengagumi bintang bulutangkis China, Lin Dan. Menurutnya, juara Olimpiade 2008 dan 2012 tersebut sosok pebulutangkis yang sangat istimewa. Hebatnya, Jojo telah bertemu dan sukses mengalahkan pemain favoritnya tersebut. Keduanya bertemu pada babak kedua Indonesia Terbuka Super Series Premier 2016. Di luar dugaan, Jonatan menang dua gim langsung 21-12, 21-12.
"Lin Dan seperti Lionel Messi-nya di bulutangkis. Mungkin setelah 50 tahun baru ada lagi pemain seperti dia," beber Jojo menjelaskan alasan kekagumannya terhadap Lin Dan.
Gaya Permainan
Lalu, setelah mengidolakan Taufik, apakah mereka juga ingin memiliki gaya permainan seperti sang legenda bulutangkis tersebut? Ada yang menjawab iya, tapi ada juga yang tidak.
Ihsan mengaku memang ingin seperti Taufik. Entah kebetulan atau tidak, Ihsan pernah mendapat pujian karena dinilai permainannya mirip Taufik. Pujian tersebut pun datang dari orang yang istimewa, yaitu bintang Malaysia, Lee Chong Wei. Sanjungan tersebut dilontarkan pemain nomor satu dunia tersebut seusai mengalahkan Ihsan di semifinal Indonesia Open 2016.
"Kalau itu kan menurut orang lain (tentang komentar Chong Wei). Tapi saya memang ingin seperti Taufik, terutama cara mainnya. Tekniknya bagus, smes kencang, backhand bagus, mainnya juga cepat. Kalau saya yang kurang apa dibanding Taufik? ya prestasinya," beber Ihsan diiringi tawa.
Beda lain dengan Jojo. Pemain asal Bekasi tersebut mengaku tak ingin seperti pemain lain. Dia bertekad menjadi diri sendiri. Namun, bukan berarti dia tak belajar dari pemain-pemain lain. Justru, Jojo berusaha mempelajari kelebihan Taufik, Lin Dan, maupun bintang bulutangkis lain. Setelah itu, kelebihan-kelebihan itu dikombinasikan untuk mendongkrak permainannya.
Jojo mengaku masih perlu banyak belajar. Jojo merasa punya banyak kekurangan yang harus segera dibenahi supaya bisa mengikuti jejak para idolanya seperti Taufik dan Lin Dan.
"Kalau saya fokus masih kurang. Satu lagi soal fisik. Itu yang paling penting. Kalau sampai final kan harus memainkan enam pertandingan, biasanya partai pertama dan kedua oke, tapi yang ketiga kadang kurang. Sekarang musuh kekuatannya rata, jadi fisik harus kuat," beber Jojo.
Senada dengan Jojo, Ginting juga tak tertarik mengikuti gaya permainan pebulutangkis lain. Dia khawatir jika memaksakan diri malah permainannya kacau. "Saya berusaha melihat pemain lain, keistimewaannya apa. Saya ambil kelebihan mereka itu, misalnya netting. Lalu berusaha saya praktekkan, kalau cocok diikuti," jelas Ginting, yang kini berusia 19 tahun.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1
Olimpiade dan Piala Thomas
Setelah berbicara soal idola, lalu apa impian trio pemain muda ini? Sebagai seorang pebulutangkis, ada beberapa turnamen yang dianggap prestisius. Pada kategori beregu putra, tentu saja Piala Thomas adalah titik puncaknya. Beruntung, meski masih sangat muda, ketiganya telah mencicipi turnamen bergengsi tersebut pada Mei 2016.
Ihsan, Ginting, dan Jonatan bahu membahu dengan para senior di Kunshan, China, beberapa waktu lalu. Mereka bukan hanya sekadar numpang lewat. Jojo, Ihsan, dan Ginting telah menjadi tulang punggung Indonesia di sektor tunggal, bersama Tommy Sugiarto. Hasilnya tak mengecewakan. Tim Merah Putih berhasil lolos ke final, mesti akhirnya kandas di tangan Denmark dengan skor 2-3. Tiga tunggal Indonesia, Tommy, Ginting, dan Ihsan, kalah pada laga puncak tersebut. Meski demikian, itu semua menjadi pengalaman berharga bagi ketiga pemain.
Namun, apakah merebut Piala Thomas menjadi cita-cita tertinggi ketiga pemain? Ketiga diminta memilih antara menang Olimpiade atau Piala Thomas, ketiganya ternyata kompak memilih yang kedua. Memang pilihan yang sulit.
Ihsan bahkan terdiam cukup lama saat diminta memilih antara Olimpiade atau Piala Thomas. Dia mengaku bingung karena bagaimanapun ingin memenangi kedua turnamen bergengsi itu sekaligus.
"Kalau harus milih ya Olimpiade. Rasanya lebih berkesan karena itu turnamen yang hanya ada empat tahun sekali dan lebih dikenang. Apalagi kalau masuk Olimpiade harus memenuhi rankingnya. Tidak semua orang bisa. Kalau Thomas Cup pilihan pemain kan ditentukan pelatih," ujar Ihsan membeberkan alasannya lebih memilih emas Olimpiade.
Adapun menurut Jojo, emas Olimpiade adalah sejarah bagi seorang pemain. Selain itu, Olimpiade juga bisa jadi sejarah pribadi, selain juga menjadi prestasi membanggakan untuk Indonesia. Namun, bukan berarti Piala Thomas tak berarti penting. Jojo menilai memenangi Piala Thomas juga merupakan prestasi yang sangat membanggakan. Apalagi Indonesia sudah lama tak mencicipi gelar juara turnamen bergengsi tersebut. "Ada kebanggaannya masing-masing (memenangi Olimpiade dan Piala Thomas)," beber Jojo.
Setelah gagal di Kunshan China, kapan kira-kira Piala Thomas bisa kembali dibawa pulang ke Indonesia?
"As soon as possible (secepat mungkin). Memang kemarin di tunggal putra di final, ketiga pemain tidak dapat poin. Itu jadi pemikiran supaya ke depan juga lebih baik. Tapi, saat itu kan kami baru kali pertama main (di Piala Thomas), jadi pas final grogi banget," kata Ginting.
Ihsan dan Jojo memberikan jawaban yang lebih terukur. Mereka optimistis gelar Piala Thomas bisa direbut dalam dua atau empat tahun lagi. Apalagi Indonesia punya modal yang meyakinkan. Selain kuat di ganda putra, stok tunggal putra juga melimpah. Para pemain tunggal bakal semakin matang dalam dua atau empat tahun ke depan. Korea Selatan, China, dan Denmark diprediksi tetap menjadi saingan berat Indonesia di ajang dua tahunan tersebut.
"Dua atau empat tahun lagi (juara Piala Thomas). Saya rasa ada kans mengulang kesuksesan di era Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, Hariyanto Arbi dkk. Negara lain punya banyak pemain tunggal putra, tapi tak sebanyak Indonesia. Bukan hanya kami bertiga, tapi juga pemain-pemain lain. Pengurus layak diapresiasi karena mau memercayai pemain muda, sehingga kami bisa berkembang dan pede menghadapi pemain sekelas Chen Long, Lin Dan, maupun Lee Chong Wei," ujar Ihsan.
Advertisement