Bola.com, London - Apakah Formula One (F1) termasuk dalam cabang olahraga yang dipertandingkan di Olimpiade? Tentu tidak. Namun di antara gegap gempita pembukaan pesta olahraga paling prestisius sedunia yang berlangsung di Rio de Janeiro, terasa aura mendiang pebalap F1 asal Brasil: Ayrton Senna da Silva.
Senna dan Pele--atau lengkapnya Edson Arantes do Nascimento--adalah dua nama insan olahraga yang paling cepat diingat bila menyebut Brasil. Meski kenyataannya, negeri ini sudah mencetak banyak pebalap F1 sebelum Senna, serta pesepakbola setelah Pele.
Advertisement
Lini masa sosial media saya hari ini pun "hujan" oleh memori tentang pebalap kidal yang wafat di San Marino GP 1994. Terbanyak ditayangkan adalah kiprah Senna saat bertarung dalam GP di rumah sendiri, Sirkuit Interlagos tahun 1991. Saat itu ia mesti bertarung ekstra keras dalam memenangi kejuaraan. Pasalnya, terjadi kendala teknis pada gearbox yang membuat dia mesti bertahan dengan gigi keenam saja sampai finish. Tak heran, seperti terlihat dalam film dokumenter "Senna", ia begitu kelelahan. Berteriak memanggil sang ayah dan dipapah begitu keluar dari jet daratnya.
Semangat Olimpiade Senna
Menjelang paruh tahun 2016, Instituto Ayrton Senna (IAS) yang bergerak di bidang kesejahteraan untuk anak-anak dan remaja kurang beruntung, bergiat melakukan kampanye menyambut Olimpiade Musim Panas Rio 2016. Bentuknya unik: IAS mempersembahkan gelang motivator berdesain warna bendera Brasil (dominan kuning dan hijau) serta helm Senna kepada para atlet olimpiade dan paralimpiade Brasil. Bila dikoneksikan ke gadget, akan muncul video "En el puso de Brasil" berisi animasi kegigihan Senna bertarung di Sirkuit Interlagos 1991 tadi.
Padahal, waktu sudah bergulir 22 tahun sejak kepergian pebalap bernama panggilan Beco yang lahir di Santana, Sao Paulo. Namun sebuah pesan tentang bagaimana insan olahraga mesti berjuang, seperti kerap ia ungkapkan sebagai "determination" atau tekad kuat, masih mengena dan selaras diterapkan sampai kini.
Tiga Rio
Berbincang soal "Rio", menjelang detik-detik pembukaan Olimpiade 2016, saya dan sahabat-sahabat lama yang disatukan oleh hobi menonton F1, seperti Moody Mailoor, Ruben Satyadarma dan Willy Halim dari IFOS (Indonesia Formula One Society) mengobrol via media sosial, karena terpisah jarak dan waktu antara BST (British Summer Time) dan WIB (Waktu Indonesia Barat).
Bagi saya pribadi, nama atau kata Rio menggambarkan tiga hal. Yaitu lagu hits "Rio" yang dinyanyikan Duran Duran, Rio de Janeiro di Brasil tempat penyelenggaraan Olimpiade 2016 yang merepresentasikan negara Senna, dan Rio Haryanto pebalap F1 asal Indonesia.
Lagu Rio, jelas hapal, karena paling tidak, saya dan Ruben adalah Duranies (sebutan bagi fans Duran Duran). Itu sebabnya, saat sebuah blog milik fans Manor Racing memberi judul kehadiran Rio di team ini dengan kata "His Name is Rio and He Wants to Drive for Manor", dan di laman "tentang" menuliskan jati dirinya sudah sekitar 20 tahun menonton F1, saya langsung paham: penulis ini tak jauh beda usia dibanding saya, berada di generasi musik 90-an, dan berhasil memelesetkan lirik lagu Duran Duran yang aslinya berbunyi: "her name is Rio and she dances on the sand".
Ketika upacara pembukaan Olimpiade 2016 ditayangkan, komentar soal atlet Indonesia bertaburan di berbagai situs media. Salah satunya, seperti saya temukan di BBC, kontingen Tanah Air masuk di fashion highlights dengan komentar, "Indonesia were perhaps the most regal looking team in the opening ceremony " (Indonesia barangkali tim paling megah pada pembukaan olimpiade). Lantas, beberapa media asing juga menyebutkan, duta-duta olahraga kita di upacara pembukaan ini terhitung murah senyum.
Bahagia? Ya. Bangga? Jelas. Senang? Sudah pasti. Perasaan ini sama nilainya dengan keharuan sekaligus ketidakpercayaan saat mendapati stiker bendera Merah Putih di pit sirkuit-sirkuit F1 tahun 2016. Ada jati diri kita yang menempel di sana. Dan perlu diketahui juga, bendera kita menjadi satu-satunya asal Asia buat tahun ini.
Janji Sejati
Dari duta-duta olahraga Tanah Air yang siap bertarung di Rio, ingatan pun melayang kepada Rio Haryanto. Soal nasibnya belum menentu, meski pemilihan ban untuk Belgian GP di Spa-Francorchamps telah dilakukan.
Kembali ke lini masa media sosial saya, cuitan tentang pasokan dana bagi sisa pembayaran balapan Rio mengemuka. Apakah ini karena pemerintah lebih memilih memberangkatkan atlet-atlet ke Rio? Begitu salah satu pertanyaan mencuat. Lainnya menyatakan, hal ini pada akhirnya bermuara kepada negara. Tergantung kebijakan dan arahan bagaimana menutup sisa hutang kepada Manor Racing. Dan rekan saya, Moody menambahkan, sejatinya para produsen dengan pendanaan melimpah itu ada, hanya target market mereka bukan di dunia F1 atau masih pikir-pikir.
Memang, pihak Manor Racing sendiri sudah melansir keterangan, bahwa tenggat waktu tidak benar-benar ditetapkan. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan Rio agar bisa balapan sampai akhir musim. Namun, pihak kita juga terikat pada kewajiban melunasi hutang, dan janji adalah janji. That's gentlemen's agreement. Menyangkut etika dan kehormatan.
Mari bersama-sama menikmati Rio 2016 sembari memberi aplaus kepada atlet-atlet kita yang berlaga di sana. Juga tak putus berharap yang terbaik buat Rio Haryanto. Agar nasibnya seindah Rio de Janeiro yang berhasil menjadi tuan rumah Games of the XXXI Olympiad, serta menyuarakan semangat Senna: determinasi. Meski F1 tidak ditandingkan di ajang olimpiade ini.
Ukirsari Manggalani
*Penulis adalag Travel writer, penulis cerpen, dan mantan editor sebuah media otomotif di Tanah Air. Saat ini bermukim di London.