Bola.com, Jakarta - Berbanggalah mereka yang pernah merasakan aura Olimpiade, pesta olahraga terakbar di dunia. Bagi atlet yang pernah mendapatkan medali emas, mereka adalah manusia-manusia pilihan. Bayangkan, untuk Indonesia yang berpenduduk lebih dari 250 juta orang ini, hanya 9 kepala (dari enam emas yang diraih) yang menyandangnya dan semuanya atlet bulutangkis.
Bahkan bagi peliput olahraga, peristiwa olimpiade dianggap merupakan puncak karya jurnalistiknya. Tak heran bagi mereka yang telah meliputnya diberikan gelar seperti umat Islam melaksanakan ibadah haji. Tentu setelah yang bersangkutan sebelumnya meliput pula SEA Games, Asian Games, dan Piala Dunia.
Advertisement
Baca Juga
Namun, belakangan ini, seiring dengan perkembangan zaman dan profesionalitas yang semakin tinggi, antara Olimpiade dan Piala Dunia banyak diperdebatkan siapa yang lebih besar eventnya. Buat peserta, negara, cabang, maupun atlet yang bertanding, jelas kejuaraan dunia sepak bola itu kalah jumlah. Akan tetapi dari sisi liputan dan menarik perhatian orang di muka bumi ini, Piala Dunia tidak kalah besar dibanding Olimpiade.
Lupakan perdebatan itu, yang jelas dari sejarahnya, Olimpiade memang lebih dulu beredar dibanding Piala Dunia. Olimpiade pertama dilaksanakan di Athena, Yunani, pada 1896, sedangkan Piala Dunia pertama berlangsung di Montevideo, Uruguay, pada 1930.
Sejarah juga mencatat, keterlibatan negara, pemerintahan, politik, mewarnai perjalanan Olimpiade. Serangan teror yang dinamakan dengan “Black September” terjadi pada Olimpiade Muenchen 1972. Sebelas atlet Israel dan seorang polisi setempat tewas dalam serangan di wisma atlet yang menuntut pembebasan tawanan Palestina.
Olimpiade 1936 di Berlin, Jerman, mencatat Jesse Owens dari Amerika Serikat sebagai pahlawan kulit hitam yang dimusuhi oleh diktator Hitler. Di hadapan sang diktator, Owens mempertunjukkan kehebatannya di lintasan atletik dengan merebut empat emas dan mempermalukan Hitler. Ketika itu Hitler ingin mempertunjukkan kalau bangsa Aria yang dipimpinnya akan mampu menguasai dunia.
Jesse Owens dan disusul oleh bintang-bintang sampai kini dengan era yang berbeda adalah juaranya juara Olimpiade. Mereka bukan hanya menorehkan satu emas, bisa lebih, juga bisa melanjutkan prestasi setelah menjadi juara Olimpiade.
Kebetulan pemilik predikat itu kebanyakan berasal dari Amerika Serikat. Sebut misalnya Mark Spitz yang menyabet 7 emas dari kolam renang pada Olimpiade 1972. Sebelumnya pada Olimpiade 1968 Meksiko, ia merebut dua emas.
Bukan hanya emas diperoleh, tapi “The Shark” ini juga pemecah 7 rekor dunia. Dia memilih mengundurkan diri setelah berprestasi fenomenal ini hingga tidak ikut lagi pada Olimpiade berikutnya di Montreal.
Kehebatan Spitz ditumbangkan oleh rekan senegaranya yang lebih muda, Mike Phelps, dengan merebut 8 emas di Olimpiade Beijing 2008. Empat tahun lalu di Olimpiade London, Phelps masih menyabet empat emas. Di Rio Janeiro sekarang, Phelps juga masih ditunggu prestasinya.
Selain Owens, Spitz, dan Phelps, Amerika yang sering menjadi juara umum perolehan medali juga mempunyai pelari Carl Lewis yang memperoleh empat emas di Olimpiade Los Angeles 1984. Dia masih berprestasi hingga Olimpiade 1992 di Barcelona dan total emas yang ia raih di tiga olimpiade sebanyak 9 keping.
Paling Fenomenal
Tentu yang paling fenomenal dari negeri Paman Sam ini adalah Muhammad Ali. Walau hanya merebut satu emas, tapi dari cabang yang dipertandingkan mempunyai gengsi di dunia pro. Ali mengikutinya. Setelah juara Olimpiade Roma tahun 1960 saat masih bernama Cassius Clay, ia terjun ke tinju pro, hingga sukses dan namanya sangat besar di kancah olahraga.
Walau tidak sefenomenal atlet-atlet Amerika, Rumania misalnya punya Nadia Comaneci, pesenam cantik yang meraih lima emas dalam dua Olimpiade (1976, 1980). Salah satu gayanya sempat dinilai sempurna alias mendapatkan angka 10.
Begitu pula Turki, punya lifter Naim Suleymanoglu. Bertubuh pendek, 147 cm, tapi ia mampu merebut emas di tiga Olimpiade (1988, 1992, 1996) pada cabang angkat besi kelas 60 dan 64 kg. Sangat pas kalau ia dijuluki “The Pocket Hercules”.
Pelari cepat Jamaika, Usain Bolt, mempunyai peluang menyamai rekor Naim, meraih emas di tiga Olimpiade. Bahkan ia bisa menyamai rekor Lewis dengan merebut 9 emas. Hal itu terwujud kalau ia di Rio mampu mengukir prestasi seperti yang dilakukannya di dua Olimpiade sebelumnya, yakni merebut tiga emas.
Di cabang-cabang lain yang sudah memiliki area pro yang kental, penghargaan untuk Olimpiade tetap tinggi. Di cabang tenis umpamanya, jika petenis yang menjadi juara setelah meraih empat grand slam dalam setahun bersamaan disebut golden slam. Petenis putri Jerman, Steffi Graf, pernah menyabetnya pada Olimpiade 1988. Sampai kini rekornya belum terpecahkan.
Magnet Olimpiade juga demikian kuat buat Roger Federer, pemilik rekor 17 grand slam. Ia akan penasaran terus karena gagal meraih emas tunggal putra untuk negerinya, walau bersama dengan Stanislas Wawrinka, ia telah menyumbangkan emas ganda putra untuk Swiss.
Terakhir yang menarik tentu bintang-bintang emas dari sepak bola. Tercatat nama-nama di antaranya Lionel Messi (Argentina, Olimpiade 2008), Pep Guardiola (Spanyol 1992), Samuel Eto’o (Kamerun, 2000), dan Giovani dos Santos (Meksiko, 2012).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Kiprah Indonesia
Kiprah Indonesia
Bagaimana dengan atlet-atlet Indonesia? Memang belum ada yang berprestasi seperti, jangankan Phelps, seperti Naim saja belum ada. Enam keping emas yang diraih Indonesia sejak 1992 diperoleh lewat perjuangan atlet yang berbeda-beda setiap olimpiadenya. Hanya memang pada Olimpiade Rio ini kemungkinan akan pecah rekor itu ada, walau baru setengah emasnya, yakni pada diri Hendra Setiawan. Ketika berpasangan dengan Markis Kido, Hendra meraih emas ganda putra Olimpiade 2008, sedangkan kini ia berduet dengan Mohammad Ahsan.
Namun demikian, dalam skala yang lebih kecil, yakni meraih medali perunggu, lifter Eko Yuli Irawan memperolehnya dalam dua Olimpiade, yakni pada 2008 dan 2012. Lifter itu akhirnya kembali meraih medali di Olimpiade, kali ini perak. Hattrick medali yang luar biasa!
Masih dalam skala yang berbeda, patut kita sematkan predikat juaranya juara Olimpiade Indonesia kepada Susy Susanti dan Alan Budikusumah, peraih emas pertama kita di Olimpiade. Juga kepada trio panahan Lilis Handayani, Nurfitriyana, Kusuma Wardhani, perebut medali pertama (perak di Olimpiade 1988) bagi kontingen Indonesia selama keikutsertaan di Olimpiade.
Di cabang paling populer sepak bola, Indonesia juga punya cerita heroik, ketika tim Merah Putih sukses menahan salah satu raksasa, Uni Soviet, di Olimpiade Melbourne, Australia, 1956. Walau pada pertandingan ulang kalah 0-4, tapi perjuangan Ramang dkk. selalu membekas.
Para Olimpian itu adalah pemicu sekaligus pematik motivasi untuk mewujudkan mimpi indah menjadi kenyataan. Kini penerusnya sedang berusaha keras menggapainya di Olimpiade Rio de Janeiro.
Setiap Olimpiade punya cerita dan daya tarik tersendiri. Momen-momen emas selalu ditunggu oleh miliaran orang di planet ini. Hanya satu yang tidak pernah berubah, para atlet berjuang ke puncak itu tidak datang begitu saja. Mereka menapaki proses panjang dari usia muda, bahkan dari masa kanak-kanak. Dari tingkat kampung, kota, provinsi, nasional, regional, hingga internasional. Tidak ada jalan pintas yang harus ditempuh.
Sangat pantas kalau akhirnya para juara itu menerima penghargaan semaksimal mungkin, bukan hanya materi yang habis sesaat, tapi penghargaan lahir batin seumur hidup. Sesuai pengorbanannya yang menghabisi waktu hidupnya tanpa sisa untuk merengkuh emas-emas harapan bangsa.
Lilianto Apriadi
* Pengamat olahraga
Advertisement