Sukses


Kolom: PON Prestasi atau PON Basa-Basi (Lagi) ?

Bola.com, Jakarta - Mempertandingkan sekitar 750 nomor dengan di dalamnya lebih dari 400 nomor cabang non-olimpik, PON 2016 yang berlangsung di Jawa Barat, 17-29 September, dipertanyakan tujuannya, khususnya dalam membangun peningkatan prestasi olahraga nasional.

Apakah dengan lebih dari 50 persen nomor pertandingan non-olimpik mampu mengangkatkan prestasi olahraga yang ujungnya ada di Olimpiade?

Pertanyaan itu sebenarnya sudah klasik. Setiap pelaksanaan PON selalu muncul, tapi tetap saja tidak dicarikan jalan keluarnya. Sehingga pertanyaan itu muncul lagi sampai sekarang. Bahkan setiap pelaksanaan cabang non-olimpik selalu meningkat.

Cabang non-olimpik maksudnya adalah cabang-cabang olahraga di luar yang dipertandingkan di ajang Olimpiade, seperti drumband, dansa, tarung drajat, dan banyak lagi. Sedangkan cabang-cabang olimpiade di antaranya atletik, renang, senam, tinju, bulutangkis, dan banyak lagi.

Penyelenggara, dalam hal ini KONI dengan supervisi kantor Kemenpora, selalu saja mendapat kritik keras soal ini. Komentar pun sering keluar dari pejabat di dua lembaga tertinggi olahraga Tanah Air itu. Namun, selalu usai PON kemudian menjelang PON berikutnya, evaluasi seperti itu lenyap lagi. KONI dan Kemenpora tak pernah mencegah jika ada cabang-cabang baru masuk lagi di arena PON.

Alasan dasar mengapa pertanyaan itu selalu muncul, karena menyangkut proses pembinaan. PON merupakan proses pembinaan tertinggi tingkat nasional, sebelum para juara beraksi di berbagai event internasional. Mengingat PON menjadi proses tertinggi, prestasi yang diharapkan juga harus nomor satu.

Tolok ukur yang mudah dilihat adalah rekor-rekor nasional hingga internasional pecah pada pesta olahraga ini. Ujungnya adalah prestasi di tingkat internasional (SEA Games, Asian Games, hingga puncaknya di Olimpiade).
Namun, yang diperoleh adalah penurunan pada setiap pesta tingkat internasional itu. Artinya, ada yang tidak beres dalam pelaksanaan PON.

Dulu, ada niatan PON merupakan ajang regenerasi atlet hingga yang diperbolehkan ikut adalah atlet-atlet junior. Hanya cabang sepak bola yang mengarah ke sana dan kebetulan memang mengikuti gerak SEA Games dan Olimpiade, yakni dengan membatasi pemakaian pemain senior. Tapi, cabang-cabang lain tidak ada batasan itu hingga juara-juara nasional yang notabene atlet senior berlomba memperkuat daerah masing-masing.

Sasaran utama para atlet itu apalagi kalau bukan janji bonus yang lumayan besar dari daerahnya. Bonus ini dianggap “racun” sehingga prestasi yang diharapkan dalam setiap pelaksanaan PON tidak muncul-muncul. Atlet lebih memilih mengejar bonus ketimbang pecah rekor umpamanya. PON berubah pelaksanaan menjadi sekedar terlaksana atau sekedar basa basi.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 2 halaman

1

Semakin Tinggi Dana Penyelenggaraan

Cabang yang dipertandingkan sangat gemuk lalu adanya jor-joran bonus, membuat PON semakin tua semakin tinggi dana penyelenggaraannya. Sementara itu, prestasi yang diperoleh tidak signifikan hasilnya.

Pembedaan pelaksanaan antara cabang olimpik dan non-olimpik barangkali bisa menjadi solusi efisiensi waktu dan biaya, namun fokus meningkatkan prestasi bisa dicapai. Seperti pelaksanaan PON dan Peparnas (Pekan Paralimpik Nasional) yang berbeda waktunya. Di tingkat internasional juga demikian, pelaksanaannya setelah pekan untuk atlet normal selesai.

Mengenai bonus, atlet memang butuh dana, apalagi untuk mencapai prestasi seperti sekarang mereka juga banyak mengeluarkan uang, waktu, dan tenaga yang tidak kecil. Wajar mereka dihadiahi bonus jika meraih prestasi. Namun, besarnya perlu diatur, tidak terkesan perang bonus guna mendapatkan atlet nomor satu. Tidak perlu juga diatur dalam undang-undang seperti gagasan Menpora Imam Nahrawi, cukup dengan keputusan Presiden .

Kesan jor-joran pada pembagian bonus, lihat saja sekarang ini. Bonus yang dijanjikan DKI Jaya tidak mau kalah dari Jawa Barat. Peraih medali emas konon dihadiahi satu miliar rupiah, jauh lebih besar daripada Jabar yang hanya Rp 200 juta. Dua daerah ini berlomba memburu gelar juara umum perolehan medali. Daerah-daerah lain juga demikian.

Mungkin perlu dicari solusi lain, misalnya bonus justru diberikan pada atlet yang memecahkan rekor nasional, Asia Tenggara, Asia, bahkan Olimpiade. Atau seperti gagasan Amung Ma’mun, mantan Kepala Dinas Olahraga Jawa Barat dan juga mantan staf ahli Kemenpora yang juga doktor bidang olahraga, yakni dengan memasukkan prestasi di bidang olah raga dalam menilai kinerja pemerintah daerah, layaknya sektor kebersihan dengan Piala Adipura dan lingkungan dengan Kalpatarunya.

Adanya penilaian itu membuat Pemda berlomba berprestasi di bidang olahraga, sehingga alokasi dana pembinaan olahraga di daerah menjadi besar dan lahir dari proses yang benar melalui APBD. Pembinaan olahraga diatur dengan sistem yang baik dan berkesinambungan.

Dana ini baru bersumber dari pemerintah, belum yang dari swasta. Sehingga dana pembinaan bisa menjadi lebih besar lagi dan terfokus untuk peningkatan prestasi. Bonus dan dana penyelenggaraan yang besar tadinya nanti berpindah menjadi tetap untuk atlet dan pembinaan di daerah. Sehingga nantinya tidak ada lagi PON basa-basi, yang ada PON Prestasi.

Lilianto Apriadi

Penulis adalah pengajar ilmu komunikasi dan pengamat olahraga.

 

 

 

Sepak Bola Indonesia

Video Populer

Foto Populer