Bola.com, Kuala Lumpur - Pemain Malaysia, Lee Chong Wei, menempuh jalan berliku untuk bisa menjadi pebulutangkis papan atas dunia seperti sekarang. Bahkan pada suatu masa orang tua Lee Chong Wei tak mampu membelikannya sebuah raket.
Sang ayah harus menghidupi lima anak yang masih kecil, termasuk Chong Wei, dengan penghasilan 80 ringgit Malaysia (saat ini setara Rp 250.000) perbulan. Nominal tersebut tentu sangat pas-pasan untuk keluarga yang memiliki banyak anak. Alhasil, Chong Wei kecil harus meminjam raket milik teman ayahnya untuk berlatih bulutangkis.
Advertisement
Baca Juga
"Keluarga saya sangat miskin, bahkan sulit untuk membeli raket karena tak ada uang," beber Chong Wei, seperti dilansir Berita Harian, Minggu (9/10/206).
Pemain yang pernah tersandung kasus doping ini baru memperoleh raket pertama saat mengikuti turnamen bertajuk Piala Milo di Malaysia. "Meskipun saya tahu dia (sang ayah) tak punya uang, tapi dia tetap membelikan saya raket Pro Kennex. Itulah raket pertama saya yang harganya 160 ringgit (Rp 500.000)," kenang Chong Wei.
Setelah momen tersebut, Chong Wei mulai berusaha mencari uang sendiri untuk membeli raket yang dibutuhkannya. Saat berusia 13 tahun dan bisa mengendarai sepeda, dia mulai bekerja di toko penyuplai peralatan olahraga.
Jika berhasil menyenar 1 raket, dia dibayar 1 ringgit (sekitar Rp 3.100). Dalam sehari, pria yang meraih medali perak di Olimpiade Rio 2016 tersebut mampu menyenar 20 hingga 30 raket. Tetapi, Chong Wei tak pernah mengambil gajinya. Gaji tersebut dititipkan kepada pemilik toko dan jika jumlahnya mencukupi ditukar dengan raket.
Namun, peristiwa pahit menimpa Chong Wei ketika rumahnya dibobol pencuri. Tas miliknya yang berisi empat raket dicuri!
"Saya sangat kecewa. Bagaimana saya bisa bermain bulutangkis jika tak punya raket? Tak mudah bagi saya membeli raket," kata Chong Wei.
Beruntung, Chong Wei memiliki pelatih yang baik hati. Sang pelatih memberikan dua raket secara cuma-cuma kepada dirinya. "Hanya Tuhan yang tahu apa yang saya rasakan saat itu. Saya merasa seperti bangkit dari kematian karena masih bisa melanjutkan ambisi saya berkat bantuan sang pelatih."
Pada awal-awal kariernya, Chong Wei berlatih di sebuah akademi bulutangkis di Jelutong. Dia harus menempuh perjalanan selama satu jam dengan menumpang bus untuk sampai ke tempat latihan. Barulah saat berusia 17 tahun Chong Wei benar-benar meninggalkan rumah untuk bergabung dengan akademi bulutangkis nasional Malaysia.
Namun, gara-gara tak pernah hidup jauh dari rumah, Chong Wei sempat mengalami kesulitan di sana. Dia merasa dikucilkan di akademi tersebut. Alhasil, pemain yang memiliki 6 gelar Indonesia Open tersebut selalu menangis setiap hari.
"Setiap hari saya menelepon ibu saya dan menceritakan situasinya. Pada suatu waktu, saya bilang kepada ibu bahwa saya ingin pulang. Saya tak ingin jadi pemain bulutangkis lagi," kenang Chong Wei.
"Tapi ibu saya mengatakan ini merupakan kesempatan saya untuk mewakili negara dan tak setiap orang punya kesempatan itu. Jadi saya tak boleh menyia-nyiakannya. Kata-kata ibu saya melecut semangat saya lagi dan sejak itu saya tak pernah melihat ke belakang."
Dia juga berterima kasih dengan pengawas penginapannya, yang bernama Tuan Howe, karena telah membantunya mengatasi kerinduan pada rumah dan keluarganya, sekaligus beradaptasi dengan lingkungan baru.
"Dengan melihat apa yang telah saya alami untuk mencapai level ini, saya mengaku puas dengan hasilnya," pungkas Chong Wei.