Bola.com, Jakarta - PBSI sudah memilih Wiranto sebagai ketua umum yang baru menggantikan Gita Wirjawan. Munas yang memilihnya pada 30-31 Oktober itu menimbulkan banyak tanya. Di antaranya adalah kenapa harus berlangsung tertutup? Kenapa Gita mundur pada saat-saat terakhir?
Gita mundur sudah terjawab, walau masih dengan tanda tanya juga. Ia mundur dikabarkan karena merasa kalah suara. Sementara itu, soal tertutupnya Munas yang dipertanyakan oleh Serikat Wartawan Olahraga (Siwo) Pusat masih tetap menjadi tanya karena sampai kini belum ada jawaban dari pihak PBSI.
Baca Juga
Advertisement
Sangat disayangkan hal itu terjadi di era keterbukaan informasi sekarang ini, juga terjadi di tengah alam demokrasi yang sudah tertata dengan baik saat ini. Bukan tidak mungkin dugaan adanya intervensi sehingga munas tertutup dan Gita mundur benar terjadi.
Semestinya di dalam organisasi olahraga cara-cara intervensi sudah harus ditinggalkan. Organisasi olahraga selayaknya bersifat terbuka dan sportif, layaknya nilai-nilai yang terkandung di dalam olahraga itu sendiri.
Terpilihnya Wiranto yang kini menjabat Menkopolhukam juga mengundang pertanyaan besar. Pasalnya, hal itu terjadi pada saat komunitas olahraga sekarang ingin menghilangkan kesan menyangkut ketua induk-induk cabang olahraga yang dulu sepertinya harus pejabat negara yang sedang berkuasa, sekarang pameo tersebut mesti sudah tidak ada lagi.
Tujuan hal itu dihilangkan karena dalam mengurus olahraga yang terpenting para pengurusnya memiliki banyak waktu dan bekerja secara profesional dalam mengembangkan olahraga yang dipimpinnya. Baru PSSI yang mensyaratkan ketua umum terpilihnya haruslah orang yang penuh waktu. Tidak lagi orang yang memimpin PSSI bekerja sambilan dan setengah hati.
PBSI yang mengurusi cabang andalan, mestinya meluncurkan syarat tersebut juga dalam pemilihan ketuanya. Setidaknya untuk ketua umumnya, yaitu seseorang yang memiliki waktu cukup untuk mengelola PBSI secara profesional.
Apakan seorang Menkopolhukam di Kabinet Kerja yang menuntut lari kencang dalam bekerjanya sehari-hari masih punya waktu banyak mengurusi bulutangkis? Wiranto dulu dikenal sebagai Ketua Umum FORKI, PB TI, dan Gabsi yang andal. Tapi, itu dulu ketika ia hanya aktif di TNI. Sekarang, bukan hanya menteri tapi ia juga seorang politikus di Partai Hanura.
Dulu, cabang yang diurusnya juga lebih banyak dekat dengan karakter TNI. Sekarang jabatannya lebih luas lagi, cabangnya juga lebih banyak disukai kaum sipil.
Memang nanti Wiranto bisa dibantu staf pengurus yang lain. Tapi di tengah era serba turbulen ini, pemimpin yang sering mendelegasikan tugas kepada orang lain bakal kalah dari pemimpin yang terjun langsung.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
1
Program ke Pelosok Daerah
Ada keunggulan yang dijadikan dasar kenapa Wiranto akhirnya terpilih, yaitu progamnya yang ingin menyebarkan bulutangkis ke seluruh pelosok negeri, tidak terpusat di satu daerah saja. Dengan menyebar menyeluruh itu diharapkan akan lahir lebih banyak lagi juara dunia.
Gagasan Wiranto memang jempol, dan sudah pasti Gita Wirjawan selama kepemimpinannya dianggap lebih banyak bersandar pada satu daerah. Makanya dia dianggap tidak layak lagi memimpin PBSI.
Ujung makna program Wiranto adalah agar bulutangkis menjadi milik semua orang dari berbagai lapisan. Kesan bulutangkis sekarang ini milik golongan tertentu memang menonjol sekali. Apalagi yang dimaksudnya itu kalau bukan peran besar perusahaan rokok Djarum.
Salahkah kondisi seperti itu hingga Gita yang cukup berhasil memimpin PBSI harus kalah dari Wiranto yang ingin menyebarkan bulutangkis ke seluruh daerah? Mau dibawa ke mana bulutangkis kita oleh Wiranto?
Gita tidak salah, Wiranto juga miliki program bagus. Tapi kenyataannya, ya cuma perusahaan Djarum berikut kelompoknya yang paling eksis membina cabang populer ini. Ada memang perusahaan lain di Jakarta dan kota-kota besar lain yang berkontribusi tapi kalah besar dari Djarum.
Pengalaman penulis ketika masuk dalam pusaran kepengurusan PTMSI juga demikian. Ketika itu, tahun 2000-an, tenis meja dikuasai oleh perusahan rokok Gudang Garam Kediri. Penulis bersama mantan pemain nasional Farid Rahman dan Sugeng Utomo, ditambah dengan pakar olahraga, seperti Nasrudin Majid berhasil mengambil alih kepengurusan PTMSI dan menyingkirkan kepengurusan sebelumnya yang berkiblat pada Gudang Garam.
Misi idealis adalah ingin menyebarkan permainan tenis meja ke seluruh daerah. Namun, setahun demi setahun, keinginan itu hanya di atas kertas, tidak tercapai walau menempatkan Tahir, termasuk 10 orang terkaya di Indonesia, tapi tidak memiliki waktu banyak untuk tenis meja, sebagai Ketua Umum PTMSI.
Puncaknya Gudang Garam mundur dalam keterlibatannya pada tenis meja di Indonesia. Walau penyebab kemunduran itu disebut faktor internal, namun “perang” dengan pengurus tetap memiliki kesan.
Djarum bisa saja bersikap seperti Gudang Garam, jika maksud tersembunyi program penyebaran ke daerah itu untuk “menyingkirkan” peran Djarum dalam kiprah bulutangkis di Tanah Air. Kesan Djarum hanya membina bulutangkis di Jawa memang menonjol jika dilihat dari kulit luarnya saja. Padahal untuk membina pemain bulutangkis mereka mengambil bibitnya dari pelosok daerah.
Peran Djarum dalam pembinaan bulutangkis di Indonesia bukan hanya besar tapi sudah sangat besar. Selain memiliki klub, mereka juga bersama kelompoknya (BCA dan lain-lain) acap kali menjadi sponsor turnamen berskala nasional dan internasional.
Kondisi ini tidak salah, malah kita harus berterima kasih kepada Djarum. Eksisnya sudah puluhan tahun membuktikan bahwa mereka membina tanpa embel-embel lain kecuali mengabdi sepenuh hati.
Jangan sampai program bagus gagasan Wiranto memiliki “misi politik” tersembunyi untuk menyingkirkan Djarum. Walaupun saya yakin, Djarum berbeda dengan Gudang Garam. Walau dikecilkan perannya, Djarum tetap tidak hilang nuraninya untuk membina bulutangkis di Tanah Air.
Ada kesan bermain politik pada diri Wiranto wajar saja, mengingat dia sekarang ini adalah seorang politikus. Dari munas sudah terlihat tanda-tanda itu. Mudah-mudahan roh positif muncul; dengan “menguasai” bulutangkis ia akan bekerja keras menggalang minat politiknya pada komunitas besar bulutangkis. Untuk mencapainya hanya satu jalan, yaitu dengan cara meningkatkan prestasi bulutangkis. Ia pun harus siap kerja keras juga untuk itu.
Kalau bulutangkis sudah berprestasi tinggi, mau ada penggalangan massa dan lain-lain, kita pun tidak peduli. Negara ini sudah memiliki sistem demokrasi dan hukum yang baik. Serahkan kepada pihak yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran demokrasi dan hukum selama kepemimpinan Wiranto.
Jika sebaliknya, prestasi menurun, maka kita patut mempertanyakan program Wiranto. Kita evaluasi kinerjanya. Jika perlu bikin munaslub untuk mencari ketua yang baru lagi.
Oke, selamat bekerja, Pak!
Lilianto Apriadi
Penulis adalah pengamat olahraga dan pengajar ilmu komunikasi
Advertisement