Sukses


Kolom: Komentar Berger, Move On, dan Rio Haryanto

Bola.com, Jakarta - Saat melihat gaya bertarung Max Verstappen, yang terlintas di benak adalah Ayrton Senna... Sebagai seorang fans putra Brasil berjuluk salah satu driver F1 terbesar sepanjang zaman tersebut, sontak saya berhenti membaca tulisan itu.

Gaya Agresif 

Apalagi, artikel diturunkan setelah GP Brasil di sirkuit Interlagos yang menjadi "rumah" Senna. Juga setelah Verstappen muda memberi balasan pedas atas komentar Niki Lauda, sesepuh team Mercedes AMG F1 Petronas.

Lauda menyatakan Verstappen sebaiknya berobat ke psikiater karena agresivitas di trek (contohnya melawan Lewis Hamilton di GP Jepang) ditambah usia masih belia. Tanpa peduli Lauda telah seusia opanya sekaligus juara dunia tiga kali (1975, 1977, 1984), Verstappen menjawab kurang lebihnya, "Biar adil, ayo sowan psikiater sama-sama" dan Lauda membalas, "Boleh saja, karena psikiater bisa memutuskan, siapa bakal lebih lama di ruang periksa: aku atau dia."

Tunggu sebentar. Beco, panggilan akrab Senna juga pernah berkomentar "dalam". Saat itu ia kesal atas pertanyaan memojokkan dari Sir Jackie Stewart (juga tiga kali juara dunia: 1969, 1971, 1973) untuk tayangan televisi.

Senna memberikan pandangan yang tenar sampai hari ini, bahkan menjadi semacam justifikasi para driver: "Kalau tak mampu mengambil celah yang ada, artinya kau bukan lagi seorang pebalap". Tetapi saat melontarkan jawaban itu, Senna telah mengantongi juara dunia yang kedua, dari total tiga kali (1988, 1990, 1991).

Polling Terseksi

Dari masa ke masa, di luar perkembangan teknologi balap jet darat dan strategi tim, F1 melahirkan generasi dan bintang dengan pesona tersendiri. Contohnya, lebih dari 20 tahun silam deskripsi sosok Senna sebatas "pebalap dengan unruly hair (rambut acak-acakan)".

Jadi ketampanannya, serta gaya dandy di luar trek gemar berkemeja lengan panjang dimasukkan ke celana pantalon dilengkapi sabuk, atau hadir di acara resmi mengenakan tuxedo tidak dihitung. Rambut gelap ikalnya telah melekat sebagai penanda tunggal. Karena itu, di era pasca-Senna, saat Jacques Villeneuve tampil dengan warna rambut berubah-ubah atau Alex Wurz mengenakan sepatu balap beda warna kiri kanan pun menjadi berita hangat.

Sekarang, seni rajah tubuh menjadi bagian gaya hidup driver F1. Mulai Lewis Hamilton, Kimi Raikkonen, Fernando Alonso, Daniel Ricciardo, Kevin Magnussen, Kamui Kobayashi, Jaime Alguersuari, sampai sang senior, Jenson Button, beramai-ramai memiliki tato. Ini belum terhitung aksesori lain seperti gelang dan cincin. Hamilton sendiri mengenakan giwang berlian di telinga kiri kanan.

Media sosial zaman ini pun berperan besar--hal yang di masa lalu non existent--termasuk digelarnya berbagai polling non teknis (di luar mesin terkencang, perkiraan juara konstruktor dan pebalap per seri). Seperti pemilihan pebalap terseksi, yang sudah digelar beberapa kali.

Buat urusan ini, nama pebalap F1 pertama Indonesia, Rio Haryanto selalu menduduki posisi teratas. Dengan perolehan angka melejit jauh di atas kontestan lain. Sampai membuahkan komentar: para pemilih Rio pastilah "the barmy army" (penyelenggaranya adalah penutur British English). Dalam konteks positif diartikan sebagai die-hard fans. Tentu saja, ini mewakili harapan fans agar bintang kita bisa tampil lagi di tahun 2017.

1

Move On dan Kualitas 

Lalu kembali kepada komentar gaya Verstappen muda yang mengingatkan kepada mendiang Senna. Sang pencetus tidak lain adalah Gerhard Berger, sahabat terdekat Beco di F1.

Apakah ini berarti Berger berpaling dari sahabatnya? Justru sebaliknya. Suaranya masih bergetar menahan haru saat berpidato di sirkuit Autodromo Enzo e Dino Ferrari, Italia dalam mengenang 20 tahun kepergian Beco. Ia juga menjadi "paman asuh" Bruno Senna Lalli, keponakan Beco yang turun balap jet darat serta endurance, dan terpenting, berdiri paling depan sebagai salah satu pengawal peti jenazah Ayrton Senna da Silva.

Sementara itu, segala klip video dan kisah keusilan Berger - Senna yang menggambarkan kedekatan pertemanan keduanya beredar di internet sampai hari ini. Termasuk jailnya Berger menyelundupkan kodok-kodok ke kamar hotel Senna yang dibalas dengan mengoleskan lem ke pendingin ruangan kamar Berger serta semprotan air.

Ini berarti, saat memberikan komentar soal Verstappen muda, Berger tengah merindukan semangat balap yang dimiliki mendiang sahabatnya. Apakah kurun meninggalnya Senna sampai sekarang belum ada yang setara atau mendekati? Mungkin saja ada, bahkan banyak, tetapi trigger-nya baru terasakan oleh Berger saat melihat Verstappen muda beraksi.

Sama halnya bagaimana pasangan saya menanggapi komentar Berger ini, "Darling, it's time to move on!" dan saya melayangkan pandang ke ruang tengah rumah kami: ada potret Michael Schumacher beraksi di trek basah, plakat gravir Senna juara dunia tiga kali, topi pet Damon Hill juara dunia 1996 dengan tanda tangan, sampai gantungan kunci berukir Villeneuve juara dunia 1997.

Apakah segala benda ini menjadi penanda kami belum move on dari zaman keemasan F1 di bawah milenium kedua? Pasangan saya melanjutkan, "kenangan dan nostalgia itu tetap ada. Hanya ...." ia sengaja menggantung kalimatnya, memberi kesempatan saya buat berpikir. Dan saya lanjutkan perkataannya, "tergantung bagaimana cara kita mengenangnya. Dalam kesedihan atau memberi makna baru sehingga terasa nilai positifnya."

Kiranya, Berger pun berpijak pada pengertian serupa. Saat menyaksikan kelahiran calon-calon bintang F1 masa depan, ia memberi makna bahwa balap jet darat selalu mempunyai bintang pada zamannya masing-masing.

Perkara etika Verstappen muda beradu kata dengan Lauda, biarlah fans dan lingkungan F1 menilai, toh Lauda juga mengakui keandalan pebalap putra eks driver F1 Jos Verstappen itu. Dalam kejadian Senna dengan Stewart, seperti ditulis dalam biografi Stewart, Winning is not Enough (2007) setelah wawancara itu Beco mendiamkannya selama setahun, kemudian menyapa lagi sekaligus menyampaikan maaf. Suatu hal yang menggambarkan kualitas seorang Senna.

* Ukirsari adalah travel writer yang saat ini bermukim di London bersama pasangan hidupnya. Ia berbagi pandangan tentang F1 dan MotoGP di bola.com, juga menulis cerpen, serta menjadi translator paruh waktu di sebuah organisasi nirlaba skala internasional.

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer