Bola.com, Jakarta - Beda Presiden, beda gaya. Soekarno membangkitkan spirit olahraga Indonesia dengan jargonnya yang sangat terkenal: Nation Character Building.
Presiden RI pertama itu menempatkan olahraga sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa. Ucapan Soekarno mampu menggelorakan seluruh lapisan masyarakat ketika pembangunan infrastruktur dan pelaksanaan Asian Games ke-4 di Jakarta 1962.
Advertisement
Baca Juga
Presiden RI kedua, Soeharto meninggalkan warisan dengan jargon: Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat. Secara massif, ajakan Soeharto disambut dengan gempita.
Gairah olahraga masyarakat berimbas positif pada peningkatan olahraga prestasi. Terbukti Indonesia menjadi Juara Umum di SEA Games saat pertama kali diikuti 1977. Pada 9 September 1983 kemudian ditetapkan sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas).
Presiden RI ketiga, BJ.Habibie terlalu singkat untuk memikirkan olahraga. Waktu dan konsentrasi Habibie tersita habis mengatasi berbagai hal sosial politik yang sangat panas.
Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid justru membekukan peran Kemenpora. Kebijakan ini dilanjutkan Presiden RI kelima, Megawati Soekarnoputri. Fungsi dan peran Menpora diserahkan kepada Kemendikbud setingkat Direktur Jenderal.
Presiden RI keenam, Soesilo Bambang Yudhoyono mengaktifkan kembali Kemenpora. Adhyaksa Dault menjadi Menpora pertama di era Reformasi. Mantan pengacara inipun langsung tancap gas.
Adhyaksa menghidupkan Haornas. Pada saat itu disahkan UU SKN No.3 Tahun 2005 sebagai payung hukum olahraga Indonesia. Menpora juga memberikan bantuan rumah sebagai bentuk penghargaan kepada Atlet Berprestasi masa lalu. Begitu juga dengan penyediaan tempat sebagai calon Pegawai Negeri Sipil.
Kenapa Gagal?
Krisis moneter yang terjadi di penghujung 1997, secara langsung atau tidak, ternyata menghantam berbagai sendi. Tidak terkecuali olahraga prestasi Indonesia mengalami kemerosotan tajam.
Alat ukur kegagalan atlet Indonesia dapat dilihat dari kegagalan di ajang multieven. Ambil contoh di SEA Games yang hanya diikuti 11 Negara ASEAN, secara mendadak posisi Indonesia terjun bebas.
Dominasi Indonesia yang selalu berada pada peringkat satu dan sesekali di urutan kedua yang digantikan Thailand, tak dapat dipertahankan. Kegagahan atlet nasional Indonesia seperti sirna begitu saja.
Sungguh menyedihkan bagaimana negara terbesar ke-4 di dunia dalam urusan jumlah penduduk ini tidak dapat berkuasa di Asia Tenggara. Tidak masuk akal bagaimana di SEA Games, Indonesia hanya menempati peringkat ke-5 dari 11 kontestan.
Namun, untuk sekadar berbangga diri dan memang tercatat dalam sejarah, bahwa sesungguhnya Indonesia tetaplah masih yang terbaik. Bayangkan, dari 21 kali keikutsertaan di SEAG, Indonesia mampu 10 kali kampiun.
Kenapa hal itu terjadi? Ini bisa disebabkan perhatian pemerintah yang semakin minim. Kurangnya dukungan negara ini dapat dimaklumi, sebab dana lebih diarahkan bagi pengentasan kemiskinan.
Terjadi juga perubahan pola pembinaan oleh Induk Olahraga, PB/PP di seluruh cabang. Jika sebelumnya PB secara aktif melakukan pembinaan dan kejuaraan secara mandiri.
Belakangan banyak PB/PP yang pasif dan cenderung menunggu bantuan dana dari pemerintah. Hal ini dapat dimaklumi sebab banyak perusahaan yang dulu mensponsori berbagai kegiatan, kini mengalami kelesuan.
Sebagai jalan keluar, pemerintah melalui Kemenpora memasukkan dana APBN cukup besar untuk pembinaan olahraga. Tahun anggaran 2017, ada sekitar Rp 460 miliar untuk pembinaan yang dianggarkan digunakan Satlak Prima (Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas).
Dana ini tidak sedikit, tapi kenapa justru prestasi kita tidak menggembirakan? Bahkan posisi Indonesia terjerat di posisi ke-5 SEAG Kuala Lumpur 2017. Posisi ini sama seperti hasil di SEAG Singapura 2015.
Kritik dan Sorotan
Sorotan, kritikan pedas dari berbagai sudut dialamatkan ke Kemenpora. Sama halnya dengan ke Satlak Prima sebagai wadah yang diyakini mampu meningkatkan prestasi atlet dengan program performa tinggi yang dipimpin Achmad Soetjipto.
Menurut Soetjipto, kalau diselami lebih dalam, sebenarnya atlet Indonesia mengalami kemajuan. Setidaknya ada 29 rekor nasional dipecahkan, tapi itu tidak cukup karena negara lain lebih maju.
“Bukan apologi,” kata Soetjipto. Menurutnya ada faktor tuan rumah yang kurang fair. Banyak kecurangan, khususnya di nomor-nomor yang penilainnya subjektif sehingga menguntungkan Malaysia.
Serangan publik dan atlet seputar seretnya realisasi pendanaan menjadi perhatian Menpora Imam Nachrawi. Menurutnya ini menjadi pelajaran berharga menuju persiapan Asian Games di Jakarta-Palembang 2018.
Deputi IV Kemenpora Bidang Peningkatan Prestasi, Yuni Poerwanti pada diskusi yang dilakukan PWI Selasa lalu, mengaku banyak persoalan pencairan dana yang terjadi di kantor Menpora. “Akan kami selesaikan dalam waktu secepatnya,” katanya.
Setumpuk persoalan hadir menyerang. Hampir semua berpusat pada pencairan dana, bukan karena tidak ada uang. Karena itu, banyak yang mengusulan agar Satlak Prima menjadi Satuan Kerja (Satker), yang memiliki wewenang mengelola sendiri anggaran.
Jalan keluarnya seperti apa? Masih dalam penggodokan hingga ke meja kerja Wapres Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Pengarah. Target masuk 10 Besar di Asian Games harus mampu direalisasikan.
Mampukah Indonesia mewujudkan itu? Komandan Satlak Prima, Achmad Soetjipto yakin hal itu akan terwujud, tentu dengan catatan: kebutuhan dana untuk akomodasi, honor, peralatan latihan, peralatan tanding dan dukudngan lainnya dapat cair tepat waktu.
Tanggal 9 September 2017, Indonesia merayakan Hari Olahraga Nasional ke-34 di Magelang. Suasana memang tidak terlalu menggembirakan, tapi pada Haornas ini kita mampu memetakan berbagai persoalan dan jalan keluar.
So, kita harus optimistis bahwa Asian Games 2018 adalah milik Bangsa Indonesia. Bisa! (Ian Situmorang, Wartawan dan Pengamat Olahraga)