Bola.com, Jakarta - Kalender menunjukkan tahun 1998 dan Matahari di Jember, Jawa Timur, sedang terik-teriknya. Suasana yang membuat sebagian orang memilih berdiam diri dalam rumah sembari merebahkan badan. Pilihan itu juga yang dijalani bocah keturunan Madura Jawa bernama Sandy Febiansyakh Kurniawan Kusuma.
Advertisement
Baca Juga
Sembari merebahkan badan, benak Sandy melayang keman-mana. Lamunan singkat tersebut dan buyar karena nyaringnya suara hentakan bola ke lantai.
Suara mengganggu itu bersumber dari aksi sang kakak yang bermain basket di depan rumah. Kekesalan Sandy memuncak. Sejak awal dia memang menentang keberadaan ring basket tersebut.
“Buat apa ring basket dipasang di depan rumah? Bikin berisik saja” keluh Sandy ketika itu.
Seiring berjalannya waktu, suara hentakan bola basket tersebut mulai jarang terdengar karena sang kakak punya kesibukan lain. Ring basket itu akhirnya hanya menjadi pajangan di depan rumah.
Melihat hal itu, terbesit niat Sandy untuk menjajal basket. Sandy mengambil bola dan melempar ke ring. Ritual itu akhirnya menjadi sebuah kebiasaan Sandy setiap pulang sekolah.
Saat lulus dari sekolah dasar, Sandy mendapat hadiah istimewa dari eyangnya. Dia dihadiahi sepatu Nike Charles Barkley untuk dipakainya di Sekolah Menengah Pertama.
“Dulu saya enggak tahu, itu sepatu apa. Bentuknya besar setinggi mata kaki membuat saya merasa agak aneh,” kenang Sandy dalam perbincangan dengan Bola.com di Manila, Selasa (17/10/2017).
Sepatu baru itu ternyata mendapat perhatian dari teman sekolah Sandy. Maklum, pada waktu itu Nike Charles Barkley sangat populer dan mahal.
Sandy kemudian sering diajak bermain basket bareng rekan-rekannya. Dengan memakai sepatu, kepercayaan diri seorang Sandy melonjak. Dia juga memutuskan menekuni basket dengan lebih serius.
Sandy kemudian mengasah pengetahuan dan teknik bermain basket bersama Tim Garuda Jember. Keseriusan Sandy berlanjut dengan mengikuti kejuaraan-kejuaraan yang membuat permainan dan pengalamannya terus tertempa.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Mengukir Mimpi di CLS Knights
Penampilan apik Sandy bersama Garuda Jember sampai ke telinga pencari bakat klub basket profesional asal Surabaya, CLS Knights. Perwakilan klub tersebut menawari Sandy untuk begabung dan melanjutkan sekolah di Surabaya sekaligus tinggal di asrama.
“Ketika perwakilan CLS datang, hati saya mulai bergetar. Sepertinya ini mulai serius,” kata dia.
Pinangan itu langsung diterima Sandy. Konsekuensinya, dia harus pindah ke Surabaya dan hidup mandiri di asrama. Selain bersekolah, keseharian Sandy tak bisa dipisahkan dari basket, latihan, dan pertandingan, karena sudah bergabung di CLS Junior.
Rutinitas itu membuatnya hampir kehilangan waktu sebagai remaja. Hingga suatu ketika, terbesit niat untuk berhenti dari CLS demi mendapatkan kebebasan seperti remaja pada umumya.
“Sempat ingin berhenti setelah lulus SMA karena lagi labil-labilnya. Apakah saya teruskan tidak menjadi atlet? Apakah cari kegiatan yang baru. Sebab, rasa empat tahun di Surabaya itu berbeda dengan di daerah,” ujar dia.
Namun, kegalauan itu tak membuatnya memutuskan berhenti bermain basket. Meskipun hatinya bergejolak, Sandy tetap bermain basket, namun dengan porsi yang tidak seintens dahulu.
Setengah tahun menenangkan diri tanpa basket, Sandy akhirnya kembali lagi. Sandy sempat ikut andil dalam pertandingan basket di Kejuaraan Nasional. Pada usia 20 tahun masuk ke dalam draft rookie Indonesian Basketball League 2006.
Meski demikian, Sandy kembali ditimpa kegalauan karena tak mendapatkan banyak kesempatan bermain di CLS Knights. Bahkan, pada pertandingan akhir musim Sandy hanya bermain tak sampai 2 menit. Situasi itulah yang membuatnya sempat ingin meninggalkan CLS Knights.
“Pilihannya cuma dua, berhenti basket atau hengkang dari CLS Knights. Ketika itu CLS bisa penuhi target ke playoff dan kami dapat hadiah untuk melakukan TC ke Hong Kong dan China. Keputusannya sepulang dari TC sajalah.”
Kegamangan Sandy akhirnya dijawab oleh pelatih Felix Heri Bendatu yang mengaku masih membutuhkan jasanya. Saat itu CLS hendak mengikuti turnamen lokal. Pelan tetapi pasti menit bermain Sandy bersama CLS mulai bertambah.
Seiring berjalannya waktu, penantian panjang Sandy bersama CLS Knights terbayar tuntas pada 2016. Sandy berhasil mengantarkan CLS mencetak sejarah untuk pertama kali menjadi juara Indonesian Basketball League. Gelar yang diakuinya semakin menambah motivasi dan rasa cintanya kepada klub yang identik dengan warna ungu itu.
“Sebuah kebanggaan bisa membawa CLS Knights jadi juara waktu itu. Mimpi yang sudah saya bangun sejak 2001 ketika masih bersama tim junior dan berhasil diwujudkan.”
“Saya kira akan terus bersama CLS sampai pensiun nanti. Saya ingin menjadi seseorang yang hanya membela CLS sepanjang karier,” tegas Sandy.
Advertisement
Romansa Motor Tua
Selain basket, Sandy juga punya hobi lain. Pemain yang berambut cukup panjang tersebut sangat menyukai motor tua, terutama vespa.
Kecintaan Sandy pada motor tua berlanjut ketika bertemu Nevia Senja, wanita yang kini menjadi istrinya. Maklum, Nevia juga menggemari motor tua.
"Saya juga suka dengan motor tua, vespa tepatnya. Tetapi, itu sudah dijual. Kalau di rumah sih ada satu punya istri saya yakni motor Birmingham Small Arm (BSA) C15," cerita Sandy.
Sandy punya motor impian yang ingin dimilikinya suatu saatu saat nanti. "Penginnya motor yang modern tetapi masih sentuhan klasik kaya Triumph Trident. Masih nabung-nabung untuk membelinya."
Cerita Sandy Kurniawan mengajarkan bahwa Tuhan punya cara sendiri untuk menuliskan takdirnya. Sandy yang dulunya menganggap sebelah mata terhadap basket, kini menekuni dan sukses berkarier di dunia olahraga tersebut. Gelar juara telah diraihnya bersama CLS Knights dan berharap titel-titel akan terus diraih pada masa mendatang.
“Jika ditanya kenapa saya memilih setia bersama CLS, itu karena CLS-lah yang sudah melahirkan saya” – Sandy Kurniawan (CLS Knights 2010- sekarang)