Sukses


Asian Para Games 2018, Awal Manis Sebuah Perjuangan Panjang

Bola.com, Jakarta - Jendi Panggabean terdiam sejenak ketika diminta memilih label untuk dirinya. Dia butuh lima detik sebelum menjawab. “Sebut saja saya paralimpian.”

Paralimpian bukan label biasa. Hanya atlet disabilitas yang pernah mencicipi multievent seperti ASEAN Para Games, Asian Para Games, atau Paralimpiade yang berhak menyandangnya. Jendi satu di antaranya.

Atlet asal Muara Enim, Sumatra Selatan tersebut satu di antara paralimpian andalan Indonesia pada berbagai ajang, baik di level Asia Tenggara, Asia, dan dunia.

Julukan penguasa Kolam Renang Asia Tenggara disandangnya berkat torehan lima medali emas di ASEAN Para Games 2017. Berikutnya, level Asia berhasil ditaklukkan. Jendi menyabet medali emas pada nomor 100 meter gaya punggung S9 di Asian Para Games 2018. Dia juga mempersembahkan medali perunggu melalui 100 meter gaya bebas S9 putra.  Jendi juga menjadi salah satu wakil Indonesia pada Paralimpiade Rio de Janeiro 2016, meskipun belum menyumbangkan medali.

“Sebenarnya tidak masalah disebut atlet atau atlet disabilitas. Saya memilih sebutan paralimpian hanya sebagai informasi kepada masyarakat bahwa ada atlet disabilitas yang berjuang untuk Indonesia di berbagai event olahraga,” tutur Jendi, dalam percakapan dengan Bola.com, belum lama ini.

Jendi Panggabean perenang Indonesia saat beraksi pada kualifikasi cabang renang nomor 100 meter gaya bebas putra klasifikasi S9 di Stadion Akuatik, Gelora Bung Karno Jakarta, Senin (8/10/2018).  (Bola.com/Peksi Cahyo)

Ada gurat kebanggaan saat Jendi menyebut dirinya paralimpian. Kebanggaan yang layak dirasakannya. Sudah berulang kali bendera merah putih berkibar dan Indonesia Raya berkumandang di berbagai event olahraga dunia berkat dirinya. Jendi berada di titik yang diidam-idamkan banyak orang.

Namun, tak semua orang mengetahui pergulatan batin dan jatuh bangun perjuangannya hingga mencapai di titik tersebut. Sejak kehilangan kaki kiri pada usia 11 tahun akibat kecelakaan sepeda motor saat dibonceng temannya, paralimpian berusia 27 tahun tersebut pernah merasa berbeda dan gagal. Ia jatuh ke titik nadir.

"Saat kehilangan kaki itu saya merasa menjadi orang gagal. Saya bukan memikirkan diri sendiri, tapi sedih karena melihat kesedihan orang tua saya," kenang Jendi.

Ketika memutuskan meniti karier sebagai atlet disabilitas saat duduk di bangku SMA, Jendi menempa diri sangat keras. Dia memilih berlatih bersama perenang berkaki normal. Awalnya ada rasa minder dan kurang percaya diri. Tapi, perlahan Jendi mampu membuang semua pesimisme. Cerita selanjutnya adalah sejarah, termasuk kesuksesannya di Asian Para Games 2018, pada 6-13 Oktober.

Raihan emas dan perunggu di Asian Para Games berbuah bonus besar dari pemerintah. Namun, bagi Jendi itu bukan segalanya. Asian Para Games 2018 tak sekadar ditakar dari medali dan uang bonus. Dia terkesan dengan menipisnya sekat-sekat diskriminasi. Jendi menemukan makna kesetaraan.

 

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 4 halaman

Terinspirasi

Asian Para Games 2018 berhasil menyingkap banyak tirai. Masyarakat lebih menyadari kiprah para penyandang disabilitas. Melalui slogan “The Inspiring Spirit and Energy of Asia”, perhelatan olahraga tingkat Asia itu berhasil menyampaikan inspirasi tentang kesetaraan. Setiap orang punya hak dan kesempatan yang sama termasuk penyandang disabilitas, tanpa memandang agama, ideologi, suku bangsa, maupun jenis kelamin.

Masyarakat Indonesia bisa menjadi saksi hidup perjuangan atlet tolak peluru penyandang tunagrahita, Tiwa, saat membuktikan dirinya mampu menembus keterbatasan. Tiwa bisa tersenyum setelah menyabet medali perunggu pada nomor tolak peluru F20 Asian Para Games 2018. Medali tersebut menghapus kepahitan Tiwa akibat diskriminasi yang dirasakannya saat masih bocah, karena diejek sebagai gembel dan diragukan masa depannya oleh ibu sahabatnya.

Syuci Indriani perenang Indonesia berhasil meraih medali emas di nomor 100 meter gaya dada klasifikasi SB14 pada Asian Para Games 2018, Gelora Bung Karno Jakarta, Senin (8/10/2018). (Bola.com/Peksi Cahyo)

Medali emas yang dipersembahkan Jendi Panggabean punya nilai yang setara dengan medali serupa yang disumbangkan pebulutangkis Jonatan Christie di kancah Asian Games. Lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan ketika perenang Syuci Indriani menyabet dua emas di Asian Para Games 2018, sama-sama membangkitkan rasa nasionalisme seperti saat lagu tersebut mengiringi keberhasilan Aries Susanti di panjat tebing Asian Games 2018. Tetesan keringat para atlet Asian Para Games dan Asian Games juga sama-sama tak ternilai.

Penonton datang dengan motivasi tinggi untuk memberikan dukungan demi Merah Putih. Di venue mereka berteriak-teriak, kemudian tak sedikit yang disergap haru. Puluhan pasang mata basah oleh air mata saat melihat perenang tanpa kaki atau pebasket berkursi roda berjuang tanpa kenal lelah. Dada berkecamuk, campuran haru dan bangga. Tak sedikit yang pulang dengan hati yang lebih kaya dan rasa syukur yang menggunung. Pada titik itu, menang dan kalah tak lagi penting. Atlet-atlet Asian Para Games mencuat sebagai inspirasi.  

 “Berkat Asian Para Games, masyarakat lebih tahu bahwa Indonesia punya atlet-atlet disabilitas yang juga sering berjuang di ajang-ajang olahraga dunia. Sebelumnya kadang ada yang tidak tahu tentang ASEAN Para Games, Asian Para Games, atau Paralimpiade,” kata Jendi. 

“Masyarakat juga lebih terbuka terhadap atlet disabilitas. Kami senang penonton berbondong-bondong menyaksikan pertandingan, memberikan dukungan, dan banyak yang bilang terinspirasi karena perjuangan kami. Kalah dan menang bukan yang utama.”   

Penyandang disabilitas atau bukan, atlet tetap lah atlet. Begitulah menurut Jendi. Aturan boleh berbeda, namun jika bicara mengejar prestasi, atlet disabilitas dan atlet nondisabilitas harus memiliki modal yang sama. Latihan keras, tekad kuat, dan semangat pantang menyerah. “Kami atlet disabilitas dan atlet normal juga punya visi misi yang sama, memberikan yang terbaik bagi Indonesia,” kata Jendi.

 

3 dari 4 halaman

Menularkan Virus Positif

Pelatih paraswimming Indonesia, Dimin, punya pendapat senada  tentang efek positif Asian Para Games. Menurutnya, Asian Para Games 2018 berhasil menjadi ajang promosi masif tentang nilai-nilai kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Tak bisa dipungkiri, masih ada stigma bahwa penyandang disabilitas adalah masyarakat kelas dua. Meskipun tak serta merta menghapus stigma tersebut, Asian Para Games setidaknya membuktikan para penyandang stabilitas bisa berdiri sejajar, bahkan mengharumkan nama bangsa.   

“Sekarang diskriminasi untuk atlet disabilitas sudah terkikis. Pemerintah sudah memperlakukan atlet disabilitas dan atlet normal dengan sama, mulai fasilitas latihan, uang saku, hingga bonus. Tak ada lagi perbedaan. Atlet-atlet berprestasi juga mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dari pemerintah,” kata Dimin, yang sudah 13 tahun menjadi pelatih paraswimming Indonesia.  

Dimin berharap angin positif tersebut jangan ikut berhenti saat Asian Para Games ditutup pada 13 Oktober. Asian Para Games 2019 bukan puncak, tapi awal. Awal dari proses menjadikan Indonesia sebagai rumah yang nyaman bagi seluruh warganya, termasuk para penyandang disabilitas.

Petenis meja Indonesia, David Jacobs menyapa penonton usai mengalahkan wakil China Liao Han di cabang para tenis meja TT10 Asian Para Games 2018, Jakarta, Selasa (9/10). David menang dengan skor 3-1. (Bola.com/Vitalis Yogi Trisna)

Itu sejalan dengan pernyataan Ketua Pelaksana Asian Para Games 2018, Raja Sapta Oktohari. Dia gembira dengan pencapaian Indonesia yang menempati peringkat kelima di Asian Para Games 2018, hanya kalah dari China, Korea Selatan, Iran, dan Jepang. Pria yang disapa Okto tersebut juga bahagia Indonesia dinilai sukses sebagai penyelenggara. Namun, menurutnya itu bukan tujuan akhir Asian Para Games.

Tujuan akhir Asian Para Games 2018 adalah menjadikan Indonesia lebih ramah disabilitas. Tentu saja, itu bukan misi mudah.  

Menciptakan Indonesia sebagai rumah yang nyaman bagi disabilitas bukan hanya menyentuh atlet disabilitas. Tapi, semua penyandang disabilitas. Bagaimana memberikan aksesibilitas terbaik dan memenuhi hak-hak mereka, mulai bidang pendidikan, kesehatan, hingga lapangan pekerjaan. Tantangan bertambah berat karena Indonesia merupakan negara luas dan dengan jumlah penduduk sangat besar.

Merujuk Sensus Ekonomi Nasional yang digelar Badan Pusat Statistik pada 2012, penyandang disabilitas di Indonesia mencapai enam juta orang. Adaoun pada Agustus 2017, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan penyandang disabiltas di Indonesia mencapai 11 juta jiwa.

Para penyandang disabilitas tersebut tersebar di berbagai penjuru Indonesia, dari kota metropolitan hingga pedesaan. Di Jakarta, aksesibilitas bagi penyandang disabilitas cukup diperhatikan, tapi masih jauh dari sempurna. Belum semua gedung bertingkat menyediakan akses bagi penyandang disabilitas, begitu juga di sarana transportasi. Ada yang ramah difasabilitas, tapi tak sedikit yang belum.

Jika di Jakarta yang  merupakan jantung negara masih banyak catatan,  apa jadinya di kota-kota kecil, hingga kawasan pedalaman. Faktanya, penyandang disabilitas masih menjadi warga negara kelas dua di berbagai wilayah. Fakta tersebut tak bisa ditepis begitu saja.

 

4 dari 4 halaman

Undang Undang tentang Penyandang Disabilitas

Terbentuknya Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang disahkan oleh DPR tak otomastis menjamin hak dan kenyamanan penyandang disabilitas. Undang Undang tersebut menegaskan penyandang disabilitas berhak hidup bebas dan terlepas dari stigma buruk yang menimpa dirinya. Masyarakat yang mengurangi hak hak penyandang disabilitas dikenakan pidana dua tahun penjara dan denda Rp150 juta.  Itu demi melindungi penyandang disabilitas dari penipuan dan penghinaan yang diberikan oleh masyarakat.

Realitanya tak sedikit penyandang disabilitas yang masih dimarjinalkan di berbagai bidang. Satu di antaranya terkait lapangan pekerjaan.  Padahal dalam UU No 8 tahun 2016 tersebut diamanatkan bahwa tiap 100 pekerja, perusahaan wajib mengambil satu persen dari kelompok difabel. Implementasi di lapangan masih jauh panggang dari api. Butuh dukungan semua pihak untuk mewujudkannya, mulai pemerintah, masyarakat, hingga penyandang disabilitas sendiri. 

“Semoga spirit antidiskriminasi dan kesetaraan di Asian Para Games 2018 menular ke berbagai sektor kehidupan. Sekarang masih ada perusahaan-perusahaan yang belum mengakomodasi penyandang disabilitas, semoga ke depan lebih terakomodasi,” kata Dimin.

Ukun Rukendi pebulutangkis Indonesia meraih medali perak setelah gagal mengalahkan Bhagat Pramod asal India di nomor tunggal putra SL3 pada Asian Para Games 2018 di Istora Senayan, Sabtu (13/10/2018).  (Bola.com/Peksi Cahyo)

“Semoga Asian Para Games juga berimbas ke membaiknya akses-akses bagi penyandang disabilitas. Di Indonesia, selama ini kalau membangun gedung atau lainnya, kadang penyandang disabilitas sering terlupakan.”

Jendi Panggean punya harapan khusus , lugas dan tegas. Dia berharap rekan-rekannya sesama penyandang stabilitas pantang putus asa. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

“Jangan takut karena fisik kita berbeda. Kita punya hak sama. Terus berpikirlah positif kalau kita bisa melakukan apa pun, selama ada tekad,” kata dia.

“Untuk masyarakat, tolong mulailah berpikir bahwa kami tak perlu dikasihani. Kami hanya perlu didukung. Kami juga bagian dari kehidupan ini. Kami bukan kaum nomor dua. Saya misalnya, meski punya satu kaki, tapi tetap bisa jalan,” imbuh Jendi.  

Pada akhirnya Asian Para Games 2018 bukanlah pencapaian puncak. Pesta olahraga bagi atlet disabilitas itu sejatinya adalah awal sebuah dari perjuangan panjang untuk mewujudkan Indonesia, dan juga dunia, menjadi rumah yang lebih nyaman bagi penyandang disabilitas.  

 

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer