Bola.com, Jakarta - All Indonesian Final tersaji pada All England 1976. Dua tunggal putra andalan Indonesia, Rudy Hartono dan Liem Swie King, berjibaku pada partai bergengsi itu.
Namun, pertandingan itu masih menyimpan misteri besar untuk masyarakat Indonesia. Pencinta bulutangkis Tanah Air dibuat bertanya-tanya. Liem Swie King yang sedang dalam performa bagus di luar dugaan kalah dengan mudah dari Rudy dengan skor 7-15 dan 5-15.
Advertisement
Kontroversi tentang partai tersebut juga mendapat porsi istimewa di buku "Panggil Aku King" yang ditulis Robert Adhi KSP. Pada cover belakang buku itu tercantum pertanyaan tentang final itu.
Dalam final All England 1976, Liem Swie King "kalah" dari Rudy Hartono. Rudy menjadi juara ke delapan kali. Apa yang terjadi sebenarnya? Benarkah Liem Swie King diminta mengalah? Mengapa pemilik PB Djarum, Budi Hartono, kecewa pada penampilan King waktu itu?
Liem Swie King diyakini diminta untuk mengalah kepada Rudy Hartono yang merupakan seniornya di pelatnas. Apalagi kemenangan di final bakal mengantar Rudy mengukir sejarah baru, sebagai pemain yang paling banyak mengoleksi gelar juara All England di nomor tunggal putra, tepatnya sebanyak delapan kali.
Yang menjadi pertanyaan, jika analisis itu benar, siapa pihak yang meminta King mengalah? Salah satu kecurigaan mengarah pada Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI). Tapi, hingga sekarang tak ada bukti yang membenarkan dugaan tersebut.
Kecurigaan ada pengaturan hasil pertandingan final itu muncul bukan tanpa alasan. Pada All England 1976, King sedang pada performa terbaik, sehingga melaju mulus tanpa hambatan dan bahkan mampu mengalahkan pemain-pemain kuat, Sture Johnson di semifinal dan Svend Pri di perempat final. Kedua pertandingan tersebut dilalui King tanpa hambatan berarti.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Diomeli Habis-habisan
Keadaan terbalik justru dialami Rudy yang harus menguras keringat saat berhadapan dengan pebulutangkis asal Denmark, Flemening Delfs, di babak semifinal. Rudy tampil di final dalam kondisi kalah bugar dibanding sang junior di partai puncak.
Di atas kertas, King sangat diunggulkan untuk bisa menjadi juara All England dengan mengalahkan Rudy di partai final.
Namun, performa King yang impresif di babak perempat final dan semifinal tidak terlihat ketika berhadapan dengan Rudy di partai puncak. Dia dianggap bermain setengah hati sehingga Rudy bisa menang dengan relatif mudah.
Pada buku "Panggil Aku King", Liem Swie King mengaku diomeli habis-habisan oleh pemilik Djarum, Budi Hartono, saat tiba di Indonesia.
"Pak Budi merasa heran mengapa pertandingan selesai begitu cepat dan aku terlihat tidak bersemangat melawan Rudy Hartono. Budi mengatakan bahwa dia melatihku susah payah selama ini agar aku menjadi juara, bukan bertanding dengan tanpa semangat seperti terjadi di final All England 1976. Pak Budi menganggap aku bisa bertarung habis-habisan melawan Rudy Hartono, tetapi aku tidak melakukan itu," urai King tentang memori final All England 1976.
Advertisement
Penyesalan King
King mengakui ditanya banyak orang tentang final kontroversial itu. Tak sedikit yang bertanya apakah King sengaja mengalah demi Rudy. Banyak fansnya yang tak percaya dengan hasil di final All England, apalagi setelah turnamen prestisius tersebut Liem Swie King tampil gemilang membekuk para rival-rivalnya.
Namun, di buku tersebut King tak memberikan jawaban gamblang atas misteri final All England 1976. Dia hanya mengaku menyesal gagal memenangi pertandingan puncak tersebut. Tak ada pengakuan maupun bantahan bahwa dia sengaja diminta mengalah demi Rudy Hartono.
"Aku memang sangat menyesal aku tidak menjadi juara All England 1976. Padahal aku merasa di puncak prestasi dan kondisiku sangat fit. Aku menunjukkan bahwa aku mampu ketika uji coba menjelang Piala Thomas, aku mengalahkan semua pemain, baik Rudy Hartono, Iie Sumirat, maupun Tjun Tjun. Aku sungguh menyesal tidak bermain habis-habisan sampai 'berdarah-darah' dalam partai final All England itu," ujar Liem Swie King menutup ceritanya tentang rahasia final All England 1976.
Kemenangan atas King mengukuhkan Rudy sebagai peraih gelar juara All England terbanyak di nomor tinggal dengan delapan kemenangan. Yang istimewa, tujuh gelar di antaranya diraih Rudy secara beruntun pada pada periode 1968-1974. Gelar juara sempat lepas dari tangan Rudy setelah kalah dari pemain Denmark, Svend Pri, pada 1975.
Gelar juara pada 1976 menjadi prestasi Rudy yang terakhir di ajang All England. Prestasi Rudy di nomor tunggal putra All England belum berhasil disamai pemain manapun hingga kini.
Erland Korps dari Denmark pernah meraih tujuh gelar All England, tetapi prestasi itu diraih dalam kurun waktu 10 tahun.
Lalu, setelah sekian dekade berlalu, apakah misteri final All England 1976 berhasil dipecahkan? Jawabannya tidak. Hingga kini, Liem Swie King maupun Rudy Hartono tetap bungkam soal rahasia di balik partai final kontroversial tersebut.
Satu hal yang pasti, keduanya adalah pebulutangkis hebat yang menjadi legenda dan pernah dimiliki Indonesia. Bisa jadi pertandingan bukan hanya soal menang atau kalah buat para legenda seperti mereka. Mungkin faktor itu yang membuat Rudy Hartono dan Liem Swie King yang tetap menyimpan jawaban seputar pertanyaan di final All England 1976. Entah sampai kapan.