Bola.com, Jakarta Hampir sebulan sudah para awak media bekerja dari rumah karena pandemi Covid-19 dan hingga pekan ini persoalan pengunduran jadwal PON yang ke-20 di Papua juga belum tuntas. Dalam kolom saya sebelumnya saya sudah meyakini bahwa Olimpiade Tokyo akan diundur dan ternyata terjadi, namun sepertinya urusan PON 2020 ---atau kita sebut saja sebagai PON 2021-- justru lebih pelik. Sungguh ironis.
Bukan Indonesia namanya bila tidak membuat suatu keputusan yang mudah menjadi lebih njlimet. Well, saya bukan orang yang gemar mengolok-olok bangsa sendiri, tapi tanpa bermaksud memaklumi lagak lantun kemelayuan kita tersebut pada kenyataannya memang urusan memastikan jadwal sebuah perhelatan besar itu tidak pernah sederhana.
Advertisement
UEFA dan IOC yang dikendalikan bule-bule berdasi saja perlu proses tarik ulur panjang seraya menimbang kerugian finansial serta kompensasi bagi sponsor ketika bicara mundurnya Euro 2020 dan Olimpiade Tokyo 2020 ke tahun depan, dan di sisi lain mereka pun harus realistis dengan hantaman wabah virus Covid-19 yang sangat nyata melumpuhkan sendi-sendi ekonomi dunia.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Tidak Perlu Mengancam Boikot
Sebagian administrator UEFA, terutama yang berada di meja urusan sponsorship dan keuangan, sampai sekarang pun masih menebar ancaman bahwa liga-liga domestik Eropa yang tidak menuntaskan kompetisi 2019-2020 bakal kesulitan untuk memastikan wakil negaranya ke kancah Liga Champions dan Liga Europa musim depan. Ya ampun, cobalah gunakan akal sehat. Haruskah ada balasan langkah mengancam lagi untuk membuat semua paham taruhan dari sebuah keputusan yang bodoh semata demi pertimbangan fulus?
Ya, percepatan keputusan diundurnya Olimpiade Tokyo 2020 pun sempat diwarnai ancaman boikot berupa rencana mundurnya kontingen Kanada bila panitia lokal Jepang bersikukuh tidak menunda pelaksanaan event empat tahunan tersebut. Kenapa UEFA dan Kemenpora RI tidak belajar dari proses ancam mengancam yang tidak perlu terjadi itu?
Mundurnya PON Papua ke 2021 bukanlah sebuah wacana lagi, tapi sebuah pilihan wajib. Saya ulang kembali di sini bahwa sebuah event PON yang dipaksakan digelar meski kontingen-kontingen dari seluruh provinsi tidak melakukan persiapan maksimal akibat pembatasan sosial berskala besar hanya akan berujung menjadi sebuah seremoni yang sia-sia tanpa dampak di ranah pembinaan atlet dan strategi jangka panjang olahraga nasional.
Advertisement
Pertimbangan Ketahanan Nasional
Seorang kawan dari istana sempat mendorong info via WhatsApp bahwa aspek menjaga “ketahanan nasional” juga jadi salah satu pertimbangan yang membuat kemenpora tidak bisa lugas bersikap dengan cepat untuk memberikan proposal konkret di rapat kabinet Joko Widodo.
Ya, sudah menjadi sebuah agenda bersama bagi kita untuk menjaga persatuan NKRI melalui PON Papua, apalagi menimbang di pengujung 2019 beberapa titik di Bumi Cendrawasih sempat membara akibat letupan isu SARA di Pulau Jawa. Belum lagi bila menimbang luka yang muncul akibat konflik TNI-Polri di pulau besar Indonesia paling timur itu pekan lalu. Penulis mengerti semua kepingan ini akan bisa dilekatkan kembali melalui PON, tapi tidak tahun ini.
Berpikirlah lebih besar karena kita sedang bicara mengenai hal yang lebih fundamental, yaitu mengenai kesehatan, keutuhan umat manusia, dan esensi kemanusiaan kita, dan bukan sekadar pertimbangan ekonomis, geopolitis, atau mungkin yang lebih remeh lagi sekelas masalah administratif semata.
Hal terakhir ini sengaja saya angkat karena saya sempat geleng-geleng kepala ketika rekan-rekan reporter menyampaikan dari jaringan informasi di lapangan bahwa sejumlah KONI provinsi menolak ide untuk mengundurkan PON Papua ke Maret 2021 karena di kwartal pertama setiap tahun APBD seret dicairkan.
Kemenpora Memupus Stigma Buruk
Penulis bisa menerima bila Menpora Zainudin Amali cenderung memilih bulan Oktober 2021 sebagai jadwal ideal baru bagi PON ke-20 di Papua. Pasalnya, Mei hingga Juni 2021 kita akan menggelar Piala Dunia U-20 di sejumlah kota di Indonesia, sedangkan Juli-Agustus 2021 akan bentrok dengan Olimpiade Tokyo, dan November berikutnya kita berfokus ke gelaran SEA Games di Vietnam.
Namun, bila pengganjalnya adalah persoalan administratif pencairan APBD, penulis rasa semua stake holder harus bercermin kembali mengenai peran, fungsi, dan tanggung jawab masing-masing. Tengoklah kemenpora, misalnya, yang setidaknya dalam dua tahun terakhir sudah mampu memutus stigma buruk bahwa anggaran negara tidak bisa cair di awal tahun.
Data memperlihatkan keberhasilan kontingen Indonesia di Asian Games 2018 salah satunya karena anggaran di Januari hingga Maret 2018 dapat mengalir lancar kepada pihak pengurus besar top organisasi olahraga kita. Hal ini pun masih berlanjut jelang persiapan kita menuju SEA Games 2019 di Filipina. Opsi untuk menggelar PON Papua di Maret 2021 (karena April sudah memasuki masa puasa bagi kaum muslim) seharusnya masih terbuka bila rancangan timeline pencairan APBD 2021 direncanakan dengan baik sejak kwartal keempat tahun ini.
Bila benar prediksi para pakar bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia berpuncak di Juni-Juli 2020, maka langkah strategis pemusatan latihan daerah menuju Maret 2021 bisa disusun detil sejak pertengahan kwartal ketiga tahun ini.
Semoga pertimbangan bahwa kemenpora sudah pernah berhasil melakukannya akan menjadi bahan masukan bagus menjelang rapat kabinet Joko Widodo soal PON 2021. Jangan lupa juga bahwa sebenarnya persoalan penjadwalan yang bentrok dengan Olimpiade Tokyo 2021 dan Sea Games Vietnam 2021 juga bisa diabaikan. Ini lantaran atlet-atlet yang berlaga di dua event tersebut seharusnya tidak lagi berpartisipasi di PON Papua yang lebih beriorentasi ke pembinaan dan sebagai alat perekat persatuan Indonesia. Mari berpikir terbuka, jangan hanya berkutat di persoalan administratif dan penjadwalan semata.
*Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.com serta Bola.net, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.
Advertisement