Bola.com, Jakarta - Lemak dipandang negatif karena berkontribusi dalam meningkatkan berat badan, sehingga dihindari oleh kebanyakan orang. Kenyataannya, lemak dibutuhkan di dalam tubuh untuk menjalankan fungsinya, bahkan terdapat lemak yang memiliki peran dalam kesehatan dan peningkatan daya tahan tubuh.
Jenis lemak yang banyak memiliki peran positif tersebut salah satunya adalah yang termasuk dalam kelompok asam lemak rantai pendek atau Short Chain Fatty Acid (SCFA). SCFA masuk dalam golongan asam lemak yang memiliki dua hingga lima rantai karbon. Asam lemak tersebut adalah asam format, asetat, propionat, butirat, dan valerat.
Baca Juga
Advertisement
Asam lemak rantai karbon dua hingga empat, yaitu asetat, propionat, dan butirat merupakan jenis yang diketahui memiliki peran positif bagi tubuh. Asam lemak tersebut diperoleh melalui proses fermentasi di dalam tubuh (tepatnya di usus besar) oleh mikroorganisme dengan adanya serat pangan (yang termasuk dalam karbohidrat). Oleh sebab itu untuk mendapatkan SCFA kita perlu mengkonsumsi serat pangan.
Serat pangan adalah karbohidrat yang berbentuk kompleks sehingga tidak dapat dicerna dalam sistem pencernaan manusia. Jenis serat pangan ada dua, yaitu serat pangan larut, dan tidak larut. Bentuk karbohidrat ini tidak akan meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Hal tersebut disebabkan karena serat pangan tidak dapat dicerna didalam tubuh, dengan kata lain pemecahannya menjadi glukosa tidak akan terjadi.
Akan tetapi, serat pangan masuk ke usus besar dan mengkondisikan lingkungan yang baik di usus besar. Serat pangan khususnya serat pangan larut di usus besar dapat terfermentasi menghasilkan SCFA dan memberikan suasana asam di usus besar. Kondisi asam tersebut dapat mengeleminasi jenis mikroorganisme jahat yang berpotensi menghasilkan senyawa penyebab kanker. Fungsi lain serat pangan (serat tidak larut) di antaranya mencegah sembelit karena kemampuannya mengikat air, sehingga menurunkan waktu transit feses di usus besar.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi serat pangan berpotensi menurunkan resiko terjadinya diabetes terutama tipe 2, obesitas, penyakit kardiovaskular, dan kanker. Sedangkan Food and Drug Administration (FDA) telah mengklaim 2 fungsi kesehatan serat pangan yang dikonsumsi 25 sampai 35 g per hari (minimal 6 g berupa serat larut) dapat mengurangi resiko kanker, dan penyakit jantung koroner.
Banyaknya potensi serat pangan untuk kesehatan membuat penelitiannya terus dikembangkan, terutama yang berhubungan dengan hasil fermentasinya di usus besar, yaitu SCFA. Hasil penelitian Correa-Oliveria tahun 2016 menunjukkan adanya potensi SCFA untuk meningkatkan sistem imun atau daya tahan tubuh terhadap penyakit.
Saksikan Video Pilihan Kami:
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
SCFA
SCFA dapat bertindak sebagai penghubung antara sistem kekebalan tubuh. SCFA yang dihasilkan dari proses fermentasi di usus besar diserap masuk ke dalam sel. Sebagian besar SCFA yang diserap digunakan sebagai sumber energi (1g SCFA dapat menghasilkan 1.87 kal). Sisanya dapat meningkatkan pembentukkan peptida antimikroba yang disekresikan ke permukaan sel.
Peptida tersebut juga memiliki peran dalam mengatur aktivitas sel imun (neutrofil, makrofag, limfosit T) sebagai antiinflamasi serta memaksimalkan kerjanya untuk menangkap antigen, serta menghambat proliferasi dan aktifasi sel T. Penelitian yang dilakukan oleh Smith tahun 2013, menunjukkkan bahwa minuman dengan kosentrasi SCFA 150 mmol/L dapat meningkatkan daya tahan sel dengan mencegah terjadinya peradangan.
Bagaimana dengan metabolisme SCFA di dalam tubuh, apakah berkontribusi meningkatkan jumlah lemak?. SCFA di dalam tubuh dapat langsung diserap dan menuju sel yang membutuhkan. Hal tersebut berbeda dengan lemak lainnya yang memungkinkan untuk meningkatkan kadar kolesterol, trigliserida (TG), dan juga low density lipoprotein (LDL).
Akan tetapi SCFA (430 mmol asetat, 230 mmol propionat, dan 82 mmol butirat per kg diet) dibuktikan oleh Hara dalam penelitiannya tahun 1998 dan 1999 dapat menurunkan kadar kolesterol plasma dan menurunkan sintesis (pembentukkan) kolesterol dalam tubuh hingga 50% pada tikus percobaan. Mekanisme terhadap kolesterol tersebut terkait dengan peningkatan ekskresi asam empedu.
Ekskresi (pembuangan) asam empedu dapat menurunkan kolesterol plasma dan menghambat pencernaan lemak. Kadar kolesterol dapat menurun karena penggunaan kolesterol akan teralihkan dalam pembuatan asam empedu yang terbuang. Sedangkan pencernaan lemak akan terhambat karena ikut terbuang bersama asam empedu yang berperan mengikat lemak dalam sistem pencernaan.
Advertisement
Butirat
Butirat memang merupakan SCFA yang telah banyak diteliti memiliki manfaat kesehatan. Butirat mempunyai peran dalam meningkatkan beta oksidasi asam lemak, sehingga asam lemak akan segera diubah menjadi energi. Hasil penelitian menemukan bahwa suplement butirat 5% pada makanan tinggi lemak (58%) diketahui dapat menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol total dalam darah.
Selain itu konsentrasi 1% butirat dalam air minum tidak menyebabkan peningkatan kadar TG hati, walaupun mengkonsumsi makanan tinggi lemak (60% kkal lemak). Penelitian lainnya dengan injeksi natrium butirat (200/400 mg/kg secara intraperitoneal dua kali per hari) yang disertai diet tinggi lemak (58% kkal lemak) setelah 10 minggu menunjukkan penurunan kandungan hemoglobin terglikasi (HbA1C), kolesterol total, dan kadar glukosa plasma. Berdasarkan hal tersebut SCFA juga memiliki peran dalam mencegah terjadinya penumpukan lemak dan obesitas, serta memberikan pengaruh positif pada penderita diabetes.
SCFA dapat dihasilkan dari makanan yang mengandung serat pangan, seperti sayur dan buah, serta makanan pokok sumber karbohidrat seperti serealia, umbi, dan kacang-kacangan. World Health Organization (WHO) menganjurkan konsumsi sayur dan buah 400 g per hari yang terdiri dari 250 g sayur (setara 2.5 gelas sayur tanpa kuah) dan 150 g buah (setara 3 buah pisang ambon ukuran sedang).
Komposisi SCFA di usus dengan mengkonsumsi serat pangan umumnya adalah 60% asetat, 25% propionat, dan 15% butirat. Penelitian Pan tahun 2009, menunjukkan bahwa konsumsi makanan tinggi sayur dan buah hingga mengandung serat 60 g/hari memungkinkan untuk terjadinya fermentasi yang menghasilkan 400-600 mmol SCFA/hari. Kandungan serat pada 100 g pangan umumnya sekitar 0.5 g – 5 g pada buah, 1.4 g – 4.5 g pada kacang-kacangan, dan 0.2 g – 1.7 g pada sumber karbohidrat (makanan pokok).
Anjuran konsumsi pangan gizi seimbang berdasarkan penerapan Pola Pangan Harapan (PPH) adalah, 230 g untuk sayur dan buah, 35 g untuk kacang-kacangan, dan 365 g untuk sumber karbohidrat (serealia dan umbi-umbian). Sehingga diperkiraan dengan variasi konsumsi tersebut, memperoleh serat sekitar 2 g – 20 g perhari, serta memungkinkan terbentuknya SCFA 20 – 200 mmol/hari (variasi setiap orang mungkin terjadi, tergantung dari kebiasaan jenis pangan dan metabolismenya dalam tubuh).
Perkiraan konsumsi tersebut mendapatkan kadar serat konsumsi yang minimal, sehingga menghasilkan SCFA yang masih minimal pula. Oleh sebab itu konsumsi sumber serat pangan dapat ditingkatkan hingga 1.5 kali untuk mendapatkan asupan serat pangan 25g -35g per hari. Sumber serat pangan tersebut direkomendasikan yang bersumber dari sayur dan buah dengan jumlah maksimal mengikuti anjuran WHO yaitu 400 g per hari.
Meta Analisis
Meta analisis yang dilakukan Kim tahun 2019 terhadap hubungan antara SCFA dengan efeknya terhadap kesehatan ditemukan bahwa, pengaruh positif lebih disebabkan pada tingginya tingkat SCFA bukan kayanya mikroorganisme maupun konsentrasi serat di usus.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa untuk mendapatkan SCFA dalam tubuh tidak cukup hanya mengandalkan konsumsi serat pangan saja, akan tetapi membutuhkan sumber SCFA pada makanan.
Salah satu sumber pangan yang mengandung SCFA (terutama butirat) adalah susu. Lemak susu mengandung SCFA, yaitu butirat hingga 4% (b/b dari lemak susu), selain itu produk pangan fermentasi seperti keju juga memungkinkan menjadi sumber SCFA. Tentu saja memerlukan penanganan khusus untuk mempertahankan butirat pada susu, mengingat SCFA (termasuk butirat) memiliki sifat larut air dan volatil (mudah menguap) yang berarti mudah hilang selama pengolahan terutama dengan pemanasan.
Secara alami SCFA terkandung dalam susu begitu juga pada ASI. Hasil pengukuran kandungan butirat pada ASI oleh Maheswati dan Noor adalah 0,4% dari total asam lemak. Oleh sebab itu edukasi untuk pemberian ASI pada bayi akan sangat baik, mengingat banyaknya peran SCFA yang dapat dimanfaatkan terutama oleh bayi yang belum mendapatkan jenis asupan pangan lainnya.
Bersamaan dengan perayaan hari susu sedunia dan senusantara yang jatuh pada tanggal 1 Juni, mari budayakan minum susu terutama pemberian ASI untuk bayi. Tingkatkanlah konsumsi susu segar dan pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0 hingga 6 bulan. You are what you DIGEST, Not what you EATI.
Referensi: Diperoleh dari berbagai sumber artikel ilmiah
Penulis: Oke Anandika Lestari, STP, MSi
-Mahasiswa Program S3 Prodi Ilmu Pangan IPB
-Dosen Prodi Ilmu dan Teknologi Pangan UNTAN
-Pengurus Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Pontianak
-Anggota PERGIZI PANGAN Cabang Kalimantan Barat
Advertisement