Lebih dari separuh karier sebagai pekerja pers penulis habiskan di lingkungan Kompas Gramedia (KG) yang dibangun duet Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Dalam bentangan 15 tahun di sana penulis kerap mencibir dalam hati setiap kali ada rekan sekerja menepuk dada membanggakan tempat kami bekerja dengan berlebihan.
Waktu itu saya merasa tak ada yang istimewa dalam pekerjaan tulis menulis yang tidaklah serumit ilmu membuat roket dengan kebutuhan presisi tinggi. Kebanggaan semu itu semata lahir karena proses pembandingan relatif yang dangkal dengan kompetitor, baik dalam konteks profesionalisme maupun soal kesejahteraan karyawan.
Advertisement
Akan tetapi, layaknya kita yang baru mensyukuri kesehatan di kala sakit, semburat garis-garis jurnalisme saya baru sadari nyata dari mana datangnya justru ketika guru dan panutan saya, Bapak Jakob Oetama, berpulang hari ini tepat pada Hari Olahraga Nasional 9 September 2020. Kolom ini penulis dedikasikan untuk mengenang almarhum sebagai tokoh pers Indonesia yang amat penulis hormati.
Sekurangnya ada enam pertemuan besar penulis dengan Pak Jakob yang melekat di ingatan ini. Pada 2001 beliau memukau saya sebagai pembicara utama dalam rapat kerja Tabloid Bola tempat saya dulu berkarya. Dirinya membuat saya bangga menjadi sport journalist karena ia mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah Homo Ludens, alias “manusia bermain”.
Kemanusiaan kita justru teruji dalam dunia olahraga, yang sejatinya adalah sebuah permainan peran dalam batas-batas aturan ---yang seringkali dibengkok-lenturkan karena kemanusiaan kita juga.
Pak Jakob menganggap profesi wartawan olahraga itu pun penting karena adanya dualitas antara permainan dan peraturan yang tiba-tiba menjadi esensial dalam dimensi kemanusiaan tersebut. Ujungnya, olahraga memang memerlukan kehadiran orang-orang kritis sebagai pengamat.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
The Dancing Giant
Saya kemudian tak juga mungkin lupa bagaimana di tengah diskusi dalam forum tersebut penulis dianggap tim Human Resources Department terlalu lancang ketika menggugat kebijakan editorial halaman pertama koran saat itu yang condong terlalu subyektif tergantung selera pemimpin redaksi dan bukan hasil pemikiran kolektif awak tim editorial.
Uniknya, Pak Jakob malah senang dengan pertanyaan saya yang menohok dan kembali mengajak kami yang masih muda-muda untuk memandang persoalan itu dari sisi lain, termasuk dari sisi sosiokultural dan bisnis, tanpa sedikit pun mengumbar nada tinggi.
Sepulang beliau dari acara tersebut, saya ingat betul bagaimana petinggi KG lainnya kala itu, Mas Agung Adiprasetyo, mengaku merasa rikuh karena ternyata Pak Jakob datang ke tempat rapat kami hanya diantar sopir dengan mengendarai Toyota Kijang, yang diparkir tepat di samping mobil mewah BMW milik Mas Agung.
“Bahaya betul Pak Jakob ini, selain berilmu tinggi ternyata dia juga sangat bersahaja,” demikian pikir saya saat itu.
Well, alih-alih jadi makin berhati-hati menghadapi beliau, kelancangan saya malah kembali muncul ketika kami berjumpa lagi dalam proses penataran guna menanamkan filosofi perusahaan bagi karyawan newsroom KG. Namun, lagi-lagi Pak JO dengan dingin menanggapi pertanyaan soal bagaimana penulis menilai perusahaan punya problem komunikasi antardivisi yang akut lantaran sudah terlalu gemuk.
“Hal itu sudah disadari oleh manajemen. Kita seharusnya seperti The Dancing Giant, tetap lincah meskipun besar karena sudah selayaknya perusahaan besar dilengkapi penataan sumber daya manusia yang lebih baik. Tapi, kenyataannya mengelola manusia memang tidak selalu mudah Mas Jatun..,” tandas beliau dengan kalem.
Advertisement
Kreatif, Inovatif, dan Terus Mau Belajar
Dalam pertemuan-pertemuan formal dan informal berikutnya ketika saya kemudian berbaju Kompas TV, semakin saya melihat beliau sungguh paripurna sebagai pemimpin perusahaan media.
Pak Jakob terlihat lebih semringah tiap kali bicara hal-hal ideal di atas langit dalam kerumunan para jurnalis senior dan madya yang sering melontarkan sarkasme seperti saya, tapi di sisi lain ia pernah menghardik seorang pemimpin sebuah unit bisnis yang berkebijakan defensif berupa penerapan efisiensi dan penghematan yang lebay.
Ya, sebagai wartawan, Pak Jakob sudah kenyang makan asam-garam ketika bersenggolan dengan pemerintah, pengusaha besar, dan sekaligus berupaya tetap menyuarakan jeritan hati nurani kaum pinggiran. Namun, di sisi lain sebagai pemimpin perusahaan ia justru menyukai sikap ekspansif dan agresif dari wartawan yang telah beralih ke dunia manajemen media di lingkungan kantornya.
“Bayangkan berapa banyak tambahan mulut yang bisa kita beri makan bila sebuah media terus berkembang. Kuncinya di kreativitas, inovasi, adanya kemauan untuk terus belajar memahami teknologi baru, dan bukan justru malah memuja-muja efisiensi ketika persaingan bisnis bertambah ketat,” ujarnya tegas, tapi dengan sorot mata yang tetap penuh syukur, sambil memegang gelas air putihnya di sebuah acara syukuran pada sepuluh tahun silam.
Akhir kata pembaca, penulis tidak suka menutup tulisan ini dengan kalimat klise “selamat jalan” atau frasa-frasa sejenisnya.
Pak Jakob Oetama, kini saya sadar Anda ternyata telah banyak mengajari saya secara langsung maupun tidak langsung selama ini. Indonesia merindukan Anda, semoga kami bisa sekeras dan selembut Anda, baik sebagai manusia maupun sebagai pekerja pers, yang harus terus berpikir idealistis sekaligus rasional. Saya sungguh merasa kehilangan.
*Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.com serta Bola.net, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.