Bola.com, Jakarta - Pebulutungkis Indonesia, Putri Sekartaji, memutuskan tidak mengajukan banding terkait kasus match fixing yang didakwakan Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) terhadap dirinya. Dia mengakui bersalah, tapi menolak dihukum karena merasa dirinya hanya menjadi korban dalam kasus tersebut.
Keputusan Putri ini berbeda dengan dua rekannya, Agripinna Prima Rahmanto Putra dan Mia Mawarti, yang memilih mengajukan banding ke Pengadilan CAS. Pada Senin, 11 Januari 2021 mereka bertiga menemui Wakil Sekretaris Jenderal PP PBSI, Edi Sukarnol, di Pelatnas Bulutangkis, Cipayung, Jakarta Timur.
Baca Juga
Advertisement
Sebagai warga PBSI, mereka hadir meminta bantuan dan perlindungan kepada induk organisasi tepok bulu yang memayunginya.
Sesuai surat BWF, memori banding ke CAS tersebut berlaku selama 21 hari sejak surat keputusan tersebut diterima PP PBSI per 5 Januari 2021. Artinya batas akhir banding tersebut pada 26 Januari 2021.
“Terus terang, saya ini korban dari perbuatan Hendra Tandjaya. Saya juga tidak bertaruh atau melakukan rekayasa hasil pertandingan seperti yang dituduhkan BWF. Seperti Agri dan Mia, saya juga korban perbuatan Hendra,” kata Putri, melalui rilis dari PBSI yang diterima Bola.com, Selasa (12/1/2021).
Pemain kelahiran Jakarta, 29 April 1995 ini divonis sangat berat oleh BWF, yaitu 12 tahun skorsing tidak boleh terlibat di bulutangkis dan ditambah denda sebesar 12.000 dolar AS atau sekitar Rp170 juta.
Hanya, seperti Mia, dirinya disangkakan melakukan pengaturan skor atau match fixing bulutangkis saat bertanding di turnamen Selandia Baru Terbuka 2017. Ketika berduet bersama Hendra tampil di nomor ganda campuran, dirinya juga tidak tahu sebenarnya Hendra telah berniat melakukan perbuatan yang mencederai sportivitas dengan merekayasa hasil pertandingan.
Saat itu, dirinya tetap bermain sepenuh hati di tengah lapangan. Putri mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya. Sebaliknya, rekannya tersebut sering melakukan kesalahan demi kesalahan yang elementer. Memukul shuttlecock keluar atau nyangkut net.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Mengklaim Hanya Jadi Korban
Selama di Selandia Baru, Putri mengaku menerima uang sebesar Rp14 juta dari Hendra. Dirinya tidak berprasangka buruk terhadap partnernya di lapangan itu. Dia mengira uang dari Hendra yang bertindak sebagai ofisial tersebut adalah uang saku untuknya selama bertanding di Negeri Kiwi tersebut.
Sebelumnya saat Putri tampil di nomor ganda putri bersama Mia, Hendra yang berperan sebagai ofisial malah bertindak lebih konyol lagi. Hendra meminta wasit menghentikan pertandingan. Alasannya Mia cedera dan tak bisa meneruskan pertandingan. Padahal Mia menyebut dirinya fit dan tidak cedera.
“Ternyata, dalam chat di handphone Hendra yang kemudian disita BWF, uang yang saya terima tersebut dianggap BWF sebagai uang hasil taruhan. Padahal, terus terang saya tidak tahu menahu dengan Hendra yang melakukan judi atau pengaturan hasil pertandingan. Inilah yang membuat BWF menghukum berat saya,” sebut pebulutangkis berusia 25 tahun ini.
Oleh BWF, Putri disangkakan sejumlah kesalahan berat. Di antaranya dianggap turut serta dalam taruhan dan perjudian. Selain itu, Putri dinilai tidak mau bekerja sama dengan BWF.
Dia menyebut selama proses ivestigasi, dirinya tidak pernah bertemu BWF. Dia memang sempat diundang, tetapi tidak bisa datang. Putri mengira kasusnya sudah selesai, sehingga tidak perlu hadir untuk melakukan klarifikasi dan pembelaan. Tahu-tahu, dia dihukum berat dan tidak diberi kesempatan membela diri.
Dengan hukuman yang demikian berat itu, Putri menyebut sangat keberatan. Dia tidak melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan. Dirinya hanya sebagai korban dan juga tidak terlibat dalam pengaturan hasil pertandingan. Biang kerok semuanya itu adalah Hendra.
“Saya ini korban dari ketidaktahuan tentang Etik BWF dan juga hukum. Semuanya itu dalangnya adalah Hendra. Kami yang tidak tahu apa-apa, malah kena getahnya,” papar Putri, membela diri.
Advertisement
Faktor Ekonomi
Mengenai dirinya tidak melakukan banding, alasannya semata-mata faktor ekonomi. Untuk sekadar banding ke CAS, dirinya tidak sanggup untuk membayar biaya pendaftaran sebesar 500 dolar AS.
Selain itu, dia tidak banding juga karena dirinya memang sadar bagaimana kemampuan dirinya di bulutangkis. Dia merasa, kariernya sudah mentok dan tidak bisa berprestasi lebih hebat lagi.
“Saya dilarang main bulutangkis, baik di level internasional maupun nasional. Saya memang sudah tidak main. Paling-paling, kalau masih bermain hanya di kelas tarkam,” sebut Putri.
Apalagi, untuk membayar denda yang 12.000 dolar AS atau sekitar Rp170 juta, dirinya benar-benar tidak mampu.
“Ini berat banget. Seandainya mau membayar dan misalnya harus dicicil setiap bulan Rp1 juta, itu artinya selama 170 bulan atau 14 tahun saya harus membayar terus. Bisa-bisa, saya punya anak hingga besar pun tetap akan terus mencicil denda itu,” papar Putri.
Namun dari penjelasan Wakil Sekretaris Jenderal PP PBSI Edi Sukarno, putusan BWF yang menghukum Putri berupa skorsing 12 tahun dan denda 12.000 dolar AS itu, apabila Putri tidak membayar denda, sebenarnya tak ada risiko, misalnya masuk penjara
"BWF tidak bisa menyatakan bahwa sanksi berupa hukuman penjara bagi Putri yang tidak mampu membayar denda. Kesalahan Putri itu berupa pelanggaran Kode Etik saja," jelas Edi.
Sumber: PBSI