Bola.com, Jakarta - Atlet senam ritmik Indonesia, Sutjiati Narendra, menulis surat terbuka beberapa saat lalu setelah dipastikan tidak dikirim ke SEA Games 2021 di Hanoi, Vietnam.
Kementerian Pemuda Olahrahga (Kemenpora) hanya memberangkatkan atlet dari 32 cabang olahraga ke SEA Games 2021, dengan berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangan adalah cabor yang dipilih hanya yang berpotensi meraih medali.
Advertisement
Selain itu, cabor yang diberangkatkan adalah yang menjadi prioritas Desain Besar Olahraga Nasional (DBON). Ada sekitar 18 cabor yang tak masuk DBON juga dikirim ke SEA Games, dengan pertimbangan berpeluang meraih medali. Artinya, senam ritmik dianggap tidak memenuhi kriteria itu.
Keputusan Kemenpora itu membuat Sutjiati Narendra - atlet yang dulunya berkewargaan ganda dan akhirnya pilih jadi WNI karena memenuhi permintaan pemerintah untuk pulang dan berkontribusi membangun bangsa -, merasa kecewa. Peraih dua medali emas di PON Papua tersebut terpaksa mengubur impiannya untuk tampil di SEA Games.
Dalam surat terbukanya itu, Sutjiati mengatakan Indonesia membutuhkan rekonstruksi besar-besaran dalam sistem organisasi olahraganya. Menurutnya, jika Indonesia ingin mencetak atlet elite sekelas internasional, program jangka panjang harus jadi priorotas.
Dia juga mengatakan tahun-tahun emasnya sebagai pesenam sudah hampir habis, dan belum tahu seperti apa masa depannya.
Berikut ini surat terbuka Sutjiati Narendra yang diunggah melalui akun Instagramnya.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Surat Terbuka
Nama saya Sutjiati Narendra. Saya berusia 18 tahun dan atlet pesenam ritmik di Tim Nasional Indonesia. Saya tinggal di Indonesia sejak 2018 dan pindah dari Amerika ke Lampung karena permintaan Pak Jokowi agar anak-anak muda yang memiliki kewarganegaraan ganda pulang untuk membangun bangsa. Saya pindah ke Indonesia untuk melalukan hal itu, dan salah satu cara saya berkontribusi adalah melalui prestasi olahraga.
Saya lahir di New York City dari ibu Amerika dan ayah saya Indonesia. Saya memulai senam ritmik pada usia delapan tahun, pada usia sebelas tahun, saya terpilih untuk bergabung dengan Pasukan Elite Amerika Serikat, melalui seleksi ketat dari ratusan pesenam yang mempunyai potensi menjanjikan yang pada akhirnya dibina di Pusat Pelatihan Olimpiade AS beberapa kali dalam setahun. Sejak usia muda saya sudah diwajibkan menghadapi rintangan apa pun yang diperlukan untuk membangun seorang atlet elite. Namun, kami sebagai atlet elite didukung dengan fasilitas kelas dunia, akses ke peralatan berkualitas tinggi, dokter olahraga, terapis fisik dan psikolog; oleh Komite Senam USA (USA Gymnastics) untuk semua atletnya.
Selain itu saya memiliki kesempatan untuk bekerja dengan juri, pelatih, dan mantan atlet Olimpiade yang legendaris. Pada 2018, saya dipilih oleh USA Gymnastics untuk mewakili Tim Nasional Junior AS di kompetisi internasional, tetapi begitu saya memperoleh kewarganegaraan Indonesia pada tahun yang sama, keluarga saya langsung pindah ke Lampung, Sumatra, sehingga saya bisa berlatih di sana bersama pelatih saya yang luar biasa, Bu Yuliyanti dan Bu Rinawati.
Pelatih saya telah melakukan yang terbaik untuk membangun saya sebagai seorang atlet dan memberi saya persiapan yang diperlukan untuk bersaing di tingkat nasional dan internasional. Namun, dalam proses inilah kami mulai mengalami kesulitan. Di Negara Indonesia tercinta ini, kita para atlet tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk bersaing di tingkat internasional dan kemudian tertahan untuk dikirim ke luar negeri karena dikatakan kami belum cukup berprestasi. Dikombinasikan dengan masalah pendanaan, kurangnya struktur organisasi yang efisien, dan minimnya perencanaan yang efektif. Oleh karena itu, kita memiliki banyak atlet di Indonesia yang telah menjadi korban sistem yang tidak maksimal ini.
Advertisement
Surat Terbuka
Sebagai contoh, ketika saya mewakili Indonesia di Kejuaraan Dunia Junior pertama di Moskow, Rusia pada 2019, saya belum pernah bertanding dalam kompetisi dengan jumlah lengkap pada bulan-bulan sebelumnya. Dalam senam ritmik, kami bersaing dengan empat alat di setiap kompetisi.
Saya hanya berkompetisi dengan satu alat di satu kompetisi dan saya juga tidak pernah dibina di pusat pelatihan mana pun sebelum Kejuaraan Dunia tersebut. Dengan persiapan yang kurang matang, bagaimana saya bisa membawa pulang medali dari kompetisi besar seperti itu? Lalu, ketika saya meraih dua emas dan satu perak di PON XX Papua tahun lalu, saya diberi tahu saya akan didukung untuk mempersiapkan pertandingan di ajang Olimpiade.
Tetapi setelah itu, momentum kegembiraan dan semangat mulai mereda dan kami tidak lagi diperhatikan sejak itu. Pelatih saya dan saya bahkan disuruh mencari sponsor untuk kami sendiri. Saya terus berlatih enam hari seminggu, pagi hingga malam tanpa tujuan yang jelas. Setelah PON XX Papua, saya langsung mempersiapkan diri untuk Kejuaraan SEA Games, tetapi dua bulan sebelum kejuaraan ini, saya diberi tahu bahwa saya tidak diberangkatkan, meskipun saya dan pelatih saya siap membayar dari kantong kami sendiri.
Yang saya bisa simpulkan dari pengalaman hidup dan berkompetisi di dua negara yang berbeda, Amerika Serikat dan Indonesia, adalah bahwa Indonesia membutuhkan rekonstruksi besar-besaran dalam sistem organisasi olahraganya. Jika kita ingin mencetak atlet elite sekelas internasional, program jangka panjang harus jadi priorotas. Pesaing saya di seluruh dunia bersaing minimal 15 kompetisi setiap tahun. Di Indonesia, kita hanya memiliki kompetisi nasional (Kejurnas) yang bahkan kadang tidak berlangsung setiap tahun. Selain itu, dari pengalaman saya sebelumnya, anggaran untuk kompetisi tidak dikeluarkan sampai menit-menit terakhir, dan kadang-kadang kita bahkan harus membayar terlebih dahulu dan diganti setelahnya.
Surat Terbuka
Saat ini, dengan hanya beberapa tahun tersisa dalam karier saya, saya dapat mengatakan bahwa tahun-tahun emas saya sebagai pesenam akan segera berakhir. Waktu dan titik performa tertinggi saya hampir habis. Saya seharusnya berada di puncak saya pada saat ini, bersaing sepanjang tahun dengan pesenam internasional lainnya, tetapi pada kenyataannya saya jarang dapat kesempatan bersaing.
Cerita saya adalah contoh dari banyak atlet di Indonesia yang bernasib sama, bagaimana persiapan menit terakhir akan sangat memengaruhi kinerja dan karier kami. Meski mengecewakan, cintaku pada negeri ini dapat melampaui semua kesulitan yang kualami dan kuhadapi ke depannya. Dukungan dan solidaritas rakyat Indonesia menunjukkan kepada saya bahwa mereka mendakmbakan perubahan positif, dan semangat mereka berkobar tiada tara. Kami rakyat Indonesia, khususnya para atlet ingin selalu maju dan terus berkembang. Lihat seberapa banyak yang bisa diraih atlet kita dengan minimnya kompetisi tanpa fasilitas yang baik dan masalah dana.
Bayangkan apa yang bisa kita capai jika kita memiliki yang terbaik dalam semua ini? Dan ini mungkin sekali karena Indonesia negara maju dan kaya.
Saya ingin menjadi pesenam ritmik pertama yang mewakili Indonesia ke ajang Olimpiade ke depan. Saya sedang mencari sponsor tanpa bantuan pihak manapun untuk bisa mendukung program yang sudah dirancang oleh pelatih saya. Saya tidak tahu bagaimana masa depan saya sebagai atlet Indonesia, tapi saya berjanji akan bekerja keras dan memberikan yang terbaik demi Merah Putih.
Terima kasih dan mari terus berjuang!
Sutjiati Narendra
Advertisement