Bola.com, Jakarta - Pandemi yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun memaksa semua orang berubah, dengan terpaksa atau sadar sepenuhnya. Begitu juga dengan kami para jurnalis.
Sejak bergabung dengan Bola.com pada akhir Juli 2015, saya memang lebih banyak berkutat di meja kerja kantor. Namun, momen-momen ketika mendapat tugas melakukan peliputan terasa menggembirakan, menyegarkan, dan melecut adrenalin. Bertemu dan berbincang dengan narasumber, menikmati keseruan pertandingan, atau sekadar bersua dan bertukar cerita dengan rekan-rekan sesama jurnalis.
Advertisement
Namun, selingan yang menyegarkan itu pun dicabut dengan paksa ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia, pada awal 2020. Dunia saya dan kami para jurnalis berubah total, tiba-tiba hanya berkutat di depan laptop, rapat online, konferensi pers virtual, melakukan wawancara via telepon, dan acara online lain. Event-event olaharga juga sempat berhenti total. Bola.com langsung menerapkan kebijakan work from home (WFH) alias bekerja dari rumah, yang bahkan masih berlanjut sampai sekarang.
Masih ingat kan pada awal-awal pandemi ketika tiba-tiba kita semua "tergila-gila" pada apilkasi Zoom karena butuh terkoneksi dengan orang-orang di tengah segala pembatasan? Toh, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, butuh terhubung dengan manusia lainnya.
Tiba-tiba muncul berderet agenda nge-Zoom dengan teman lama, teman di masa SMA dan kuliah, sampai sahabat-sahabat dekat yang biasanya menjadi teman nongkrong di hari libur. Dulu saya menganggap berderet agenda "nge-Zoom" itu sebagai aktivitas "penjaga kewarasan".
Tidak ada lagi keseruan meliput pertandingan di lapangan, atau wawancara door stop dengan narasumber. Agenda nongkrong-nongkrong santai atau makan bersama dengan sahabat? Lupakan saja. Bahkan, berbelanja ke minimarket sekali dalam sepekan bak sebuah kemewahan. Kehidupan saya benar-benar hanya berkutat di kamar kos, ngobrol dengan dua sahabat di kos, dan setahun kemudian memutuskan pulang ke kampung halaman untuk WFH di dekat keluarga.
Ternyata, momen-momen melakoni peliputan menerbitkan kerinduan. Saking kangennya melakukan peliputan, saya punya hobi baru selama pandemi: berulang-ulang nonton video Opening Ceremony dan Closing Ceremony Asian Games 2018 yang berdurasi panjang itu. Mungkin lima atau enam kali saya menonton ulang dua momen istimewa itu selama beberapa bulan di awal pandemi, di sela-sela nonton drama Korea, dorama Jepang, sampai konten-konten menarik di Youtube. Sungguh hobi yang absurd.
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Event Paling Favorit
Tetapi, hobi baru nonton ulang Opening Ceremony dan Closing Ceremony Asian Games itu sebenarnya tidak absurd-absurd amat. Asian Games dan Asian Para Games 2018 mengapling tempat istimewa di hati saya. Ceilee...
Sejak kali pertama saya menggeluti dunia jurnalisme pada 2005, meliput Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018 adalah salah satu event favorit saya, atau mungkin di posisi teratas, bahkan melebihi ketika saya mendapat kesempatan meliput Euro 2012 di Ukraina.
Saat itu Elang Mahkota Teknologi (Emtek), grup yang menaungi Bola.com, menjadi official broadcaster untuk event olahraga terakbar level Asia tersebut.
Awalnya saya membayangkan liputan Asian Games 2018 bakal sangat melelahkan dan ingin cepat-cepat menjalaninya, biar segera kelar. Lagipula, awalnya saya tidak begitu yakin event akbar tersebut bakal mendulang kesuksesan, jika berkaca dari persiapan Indonesia sebagai tuan rumah yang penuh drama dan kurang di sana-sini.
Semua prediksi terbatahkan. Asian Games 2018 di Jakarta/Palembang menuai kesuksesan besar, baik dari sisi penyelenggaraan maupun prestasi, diawali dengan acara Opening Ceremony yang megah dan luar biasa. Jujur, saya pun terkaget-kaget melihat indahnya pesta pembukaan Asian Games.
Aktivitas kerja selama Asia Games 2018 sesuai dugaan memang melelahkan. Lagi-lagi saya lebih banyak berkutat mengedit di depan laptop dan meja, tapi lokasinya berpindah dari Kantor Bola.com di Gondangdia, Jakarta Pusat, ke Media Center Asian Games 2018 di kompleks Gelora Bung Karno, Senayan. Aktivitas rutin saya selama lebih dari dua minggu selalu seperti ini: berangkat ke media center sekitar pukul 11.00 WIB, pulang menjelang tengah malam, tidur selama 4-5 jam, balik lagi ke media center.
Kok kayaknya membosankan? Enggah tuh. Di sela-sela berkutat di depan laptop, saya juga meliput di beberapa cabang olahraga, seperti bulutangkis, basket, renang, dan atletik. Atmosfernya benar-benar luar biasa, bikin merinding, apalagi saat final bulutangkis, Istora Senayan terasa seperti "mau runtuh" karena gegap gempitanya dukungan penonton untuk atlet-atlet Indonesia. Istilah "olahraga bisa menyatukan bangsa" benar-benar terbukti.
Bayangkan saja, saat itu masyarakat Indonesia seperti melupakan berbagai perbedaan dan perselisihan, dan kompak mendukung para pahlawan olahraga Tanah Air. Padahal saat itu, rakyat Indonesia dalam kondisi masih "terbelah" karena politik, tepatnya akibat efek Pemilihan Presiden 2014 dan kembali panas menjelang Pilpres 2019. Sejenak publik melupakan sekat-sekat perbedaan.
Tiket-tiket pertandingan sepanjang Asian Games ludes terjual, bahkan untuk cabang-cabang olahraga tak populer. Masyarakat tumpah ruah datang ke GBK dan venue-venue lain untuk memberikan dukungan. Yang berada jauh dari Jakarta dan Palembang, tetap mendukung habis-habisan dengan doa dari rumah atau cuitan di media sosial. Lagu-lagu resmi Asian Games 2018 diputar di televisi, radio, mall-mall, restoran, dan lain-lain. Masih ingat kan fenomenalnya lagu "Meraih Bintang" yang dinyanyikan Via Vallen?
Sisi-sisi itulah yang membuat Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018 berbeda dan terasa istimewa di hati dibandingkan event-event yang lain. Ketika meliput Euro 2012, saya merasa hanya menjadi penonton dari sebuah pesta besar, karena jelas Timnas Indonesia tidak berpartisipasi. Asian Games 2018 berbeda, karena Indonesia menjadi jantungnya. Ah, terkadang saya memang sentimentil.
Advertisement
Beradaptasi dengan Perubahan
Namun, setiap kali aktivitas menonton ulang Opening Ceremony dan Closing Ceremony Asian Games 2018 rampung, saya kembali ditampar kenyataan. Dunia sudah berubah karena pandemi. Memang, sejak tahun lalu event olahraga, termasuk di Indonesia, satu persatu mulai digelar, dengan protokol kesahatan ketat, sebagian besar belum bisa dihadiri penonton.
Belakangan bahkan mayoritas event olahraga, terutama di luar negeri sudah melibatkan penonton, dengan jumlah terbatas. Di Indonesia, event olahraga yang melibatkan penonton dalam jumlah besar adalah perhelatan MotoGP Mandalika di Lombok, pada 20 Maret 2020. Rasanya ikut senang dan bangga MotoGP Indonesia berlangsung sukses, meski masih ada evaluasi di sana-sini.
Benarkah semuanya akan segera kembali normal setelah pandemi Covid-19 menunjukkan tanda-tanda semakin mereda? Kalau kembali 100 persen, kemungkinan tidak.
Pandemi melahirkan lahirnya kebiasaan-kebiasan baru, pendekatan baru, dan banyak hal-hal baru lainnya. Beberapa kantor bahkan memutuskan tetap menetapkan kebijakan WFH selamanya meskipun pandemi nanti benar-benar berakhir. Ada juga yang sudah menikmati simpelnya menggelar rapat secara virtual, kursus virtual, dan hal-hal virtual lainnya. Begitu juga dengan aktivitas jurnalisme, yang mungkin nantinya sulit kembali 100 persen seperti era sebelum pandemi.
Mungkin saja ada narasumber yang terlanjur nyaman dengan wawancara secara virtual, atau aturan meliput event olaharga yang tetap memakai protokol kesehatan meskipun pandemi makin melandai. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada masa depan?
Yang jelas, doa saya cuma satu: semoga pandemi segera berakhir dan kita semua selalu sehat. Soal perubahan, kita tidak punya pilihan selain berdamai dan beradaptasi dengan perubahan itu. Perubahan adalah sebuah keniscayaan.
Yang terakhir, selamat ulang tahun untuk Bola.com, yang hari ini memasuki usia ke-tujuh. Semoga Bola.com bisa berjalan beriringan dengan segala perubahan yang akan terus terjadi di masa mendatang.