Sukses


Pengertian Nikah Siri dan Statusnya dalam Undang-Undang di Indonesia

Bola.com, Jakarta - Nikah siri adalah istilah pernikahan yang sudah umum di tengah masyarakat Indonesia. Namun, nikah siri masih banyak diperdebatkan sah tidaknya dalam agama.

Hal ini disebabkan karena belum banyak orang mengerti makna dari nikah siri. Selain masalah keabsahan, nikah siri menimbulkan perdebatan pada status anak pada pernikahan tersebut.

Pasalnya, nikah siri merupakan suatu pernikahan yang tidak melalui Kantor Urusan Agama. Tidak jarang orang-orang melakukan pernikahan ini, tentunya dengan berbagai alasan yang berbeda-beda.

Itulah mengapa, Anda perlu mengenali perbedaan pernikahan siri dengan pernikahan yang sah secara norma agama dan hukum. Dengan mengetahuinya secara mendalam, Anda akan paham.

Berikut rangkuman tentang nikah siri, disadur dari Liputan6, Rabu (27/7/2022).

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 4 halaman

Mengenal Nikah Siri

Nikah siri adalah pernikahan yang sering juga disebut sebagai nikah di bawah tangan. Sederhananya, nikah siri yakni sebuah pernikahan yang tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nikah siri adalah pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama. Menurut agama Islam, nikah siri merupakan pernikahan yang sah.

Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu "sirri" atau "sir', yang berarti rahasia. Keberadaan nikah siri adalah pernikahan yang dikatakan sah secara norma agama, tetapi tidak sah menurut norma hukum karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Kata siri yang berarti "rahasia" tersebut merujuk pada rukun Islam tentang perkawinan yang menyatakan perkawinan sah apabila diketahui oleh orang banyak. Namun, etimologi tersebut berubah di Indonesia, nikah siri adalah nikah yang tidak dicatat oleh negara.

Hal ini tertuang pada UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan pasal 2 ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3 dari 4 halaman

Dampak Nikah Siri

Perkawinan di bawah tangan akan membawa perilaku tidak baik terhadap keluarga, bermasalah hukum bagi anak yang dilahirkan, terhadap harta benda, dan pasangan suami istri tersebut.

Hal ini disebabkan karena nikah siri adalah pernikahan yang tidak mempunyai bukti autentik sehingga perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Mengutip dari laman UMY, pernikahan siri lebih banyak membawa dampak buruk bagi perempuan dan anak. Hal ini disebabkan karena pernikahan yang nantinya akan menghasilkan seorang anak. Selain tidak sah secara hukum, anak tersebut nantinya akan kehilangan hubungan hukum terhadap ayah.

Tidak jarang perempuan dan anak kehilangan hak mereka seperti hak nafkah, warisan jika si ayah meninggal, serta istri yang tidak akan mendapatkan harta gono-gini ketika bercerai.

Selain itu, perempuan yang melakukan nikah siri akan sulit untuk bersosialisasi karena masyarakat akan cenderung memiliki opini negatif.

4 dari 4 halaman

Status Anak pada Nikah Siri

Seorang anak yang sah menurut undang-undang, yaitu hasil dari perkawinan yang sah. Ini tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orang tuanya. Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran.

Status anak nikah siri tidak dicatat oleh negara maka status anak tersebut dikatakan di luar nikah. Secara agama, status anak dari hasil nikah siri mendapat hak sama dengan anak hasil perkawinan sah berdasarkan agama.

Namun, hal ini tidak selaras dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan perundang-undangan yang dinyatakan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat 1: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

 

Disadur dari: Liputan6.com (Penulis: Husnul Abdi, Editor: Septika Shidqiyyah. Published: 2/12/2021)

Yuk, baca artikel edukasi lainnya dengan mengikuti tautan ini.

Sepak Bola Indonesia

Video Populer

Foto Populer