Bola.com, Jakarta - Imposter Syndrome bisa jadi masih terasa asing bagi kita. Namun, mungkin beberapa di antara kita sudah tidak asing dengan 'perasaan tidak yakin dengan prestasi atau keberhasilan yang diraih'.
Beberapa orang, atau mungkin Anda sering bisa jadi mengalaminya. Ketika Anda meraih keberhasilan atau mencatatkan prestasi, seperti di tempat kerja, alih-alih bangga, Anda merasa menganggapnya sebagai bentuk dari keberuntungan atau kebetulan semata, bukan karena kemampuan intelektual diri.
Advertisement
Imposter syndrome merupakan fenomena psikologis di mana seseorang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang ia raih.
Fenomena psikologis ini dapat memengaruhi siapa saja, terlepas dari pekerjaan atau status sosial. Akan tetapi, sindrom ini paling sering dialami oleh mereka-mereka yang berprestasi.
Impostor syndrome tidak masuk dalam klasifikasi gangguan jiwa, tetapi kondisi ini mesti diatasi. Selain agar tidak mengganggu produktivitas sehari-hari, imposter syndrome yang berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan kecemasan, stres, bahkan depresi.
Untuk lebih jelasnya apa itu imposter syndrome, berikut pengertian, gejala, dan cara mengatasinya, seperti disadur dari Klikdokter, Senin (29/8/2022).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Pengertian Imposter Syndrome
Pengertian Imposter Syndrome
Dilansir dari laman ugm.ac.id, imposter syndrome atau impostor phenomenon merupakan fenomena psikologis di mana seseorang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang ia raih.
Dengan kata lain, orang yang mengalami imposter syndrome selalu mempertanyakan dirinya sendiri atas pencapaian atau prestasi yang telah diraih. Ia merasa kesuksesan yang berhasil diraih merupakan bentuk dari keberuntungan atau kebetulan semata, bukan karena kemampuan intelektual diri.
Seseorang dengan impostor syndrome tak pernah berhenti meragukan apakah keberhasilan yang diraih merupakan cerminan dari kemampuannya dan orang tersebut memiliki ketakutan kondisinya itu diketahui orang lain dan dianggap sebagai penipu.
Fenomena imposter ini kali pertama dimunculkan oleh psikolog Rose Clance dan Suzanne Imes pada 1978.
Lalu, dari penelitian yang dilakukan tahun 2020, sekitar 9–82 persen orang di dunia mengalami sindrom ini.
Beberapa orang dapat mengalami gejala imposter syndrome hanya dalam waktu terbatas, seperti beberapa minggu pertama saat di tempat kerja baru. Namun, sebagian lainnya dapat mengalami gejala sindrom imposter seumur hidup mereka.
Advertisement
Gejala Imposter Syndrome
Berikut beberapa gejala imposter syndrome, khususnya di tempat kerja:
- Seseorang dengan sindrom imposter memiliki perasaan tidak pantas dengan prestasi yang diraihnya.
- Melansir healthline, pengidap imposter syndrome juga sering merasa takut tidak berhasil dalam pekerjaannya. Hal ini dapat memicunya untuk menahan diri dan menghindari pencapaian yang lebih tinggi.
- Pengidap imposter syndrome cenderung takut untuk melakukan kesalahan di tempat kerjanya. Tanpa disadari, hal tersebut turut memengaruhi kinerja mereka secara keseluruhan.
- Ketika atasan atau rekan memuji hasil kerja pengidap imposter syndrome, mereka akan mengatakan bahwa hal tersebut hanya sebuah keberuntungan saja.
- Pengidap imposter syndrome cenderung memikirkan persepsi orang lain terhadap dirinya sendiri. Mereka pun akan berjuang mati-matian agar segalanya berlangsung sempurna. Hal ini pun dapat menimbulkan sifat perfeksionis.
- Pengidap imposter syndrome mungkin kerap merasa bersalah atau tidak berharga ketika tak dapat mencapai target di kantor.
Cara Mengatasi Imposter Syndrome
beberapa hal yang perlu Anda lakukan sebagai cara mengatasi imposter syndrome:
1. Bicara dengan Orang Lain
Cara mengatasi sindrom imposter, khususnya di tempat kerja, adalah dengan membagi perasaan yang dialami dengan teman dekat. Hal ini untuk mendapat cara pandang yang berbeda.
Bercerita kepada orang yang dipercaya, atau konsultasi dengan tenaga profesional seperti psikolog bertujuan agar bisa mendapatkan dukungan dan penilaian positif guna menyingkirkan pemikiran negatif.
2. Sadari bahwa Semua Orang Memiliki Kekurangan
Cara lain untuk mengatasi imposter syndrome di tempat kerja adalah menyadari bahwa setiap manusia memiliki kekurangan, termasuk Anda.
Anda juga mesti sadar bahwa tidak ada yang salah dengan melakukan kesalahan. Daripada menyesali, lebih baik tanamkan dalam pikiran bahwa kesalahan adalah awal dari keberhasilan. Asalkan, Anda menjadikan kesalahan tersebut sebagai pelajaran agar bisa lebih baik lagi di waktu mendatang.
3. Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Seorang dengan imposter syndrome sering membandingkan prestasi dirinya sendiri dengan orang lain.
Melansir Very Well, hal tersebut dilakukan untuk menemukan kesalahan pada diri sendiri, tetapi malah memicu perasaan tidak cukup atau kurang hebat.
Keadaan seperti itu dapat memicu kecemasan, yang berujung pada menyalahkan diri sendiri secara terus-menerus. Alih-alih Anda membandingkan diri dengan orang lain, cobalah fokus pada kelebihan yang dimiliki.
4. Mencoba Belajar Menerima Setiap Perasaan yang Dialami
Cobalah untuk mulai mengakui perasaan Anda sendiri. Ketika merasa sedih, akui kesedihan tersebut. Begitu pula saat Anda merasa senang.
Ketika merasa senang atas pencapaian yang dicapai, Anda boleh apresiasi diri sendiri, misalnya dengan mengungkapkan kata-kata yang baik. Jangan malah langsung mengecilkan diri lagi.
5. Meningkatkan Pikiran Positif
Cara berikutnya untuk mengatasi imposter syndrome adalah dengan meningkatkan pikiran positif dan mulai melihat diri secara objektif.
Caranya bisa dengan melakukan journaling. Hal ini dilakukan dengan menuliskan apa saja hal-hal yang sudah pernah dicapai selama ini. Anda juga bisa menuliskan kekuatan-kekuatan apa yang dimiliki dalam mencapai suatu tujuan.
Hal tersebut bisa membantu Anda untuk menghindari perilaku self-sabotage. Pada akhirnya, Anda tidak lagi mengucilkan diri atas pencapaian yang sudah diraih.
Disadur dari: Klikdokter.com (Published: 21/11/2021)
Silakan klik tautan ini untuk artikel kesehatan mental dari berbagai tema lain.
Advertisement