Bola.com, Jakarta - Produktivitas beracun (toxic productivity). Istilah tersebut mungkin terkesan janggal. Namun, produktivitas beracun itu nyata adanya. Hanya, mungkin kamu tidak menyadarinya.
Faktanya, banyak di antara kita yang terjebak situasi tersebut. Maka itu, kamu perlu mengetahui perihal toxic productivity agar tidak merugikan kesehatan fisik dan mentalmu.
Advertisement
Toxic productivity merupakan keinginan yang tidak sehat untuk terus menjadi produktif setiap saat dengan cara apa pun.
Dilansir dari psychology.binus.ac.id, toxic productivity adalah sebuah obsesi untuk terus berbuat sesuatu apa pun itu terutama untuk mengembangkan diri (do, be and get more) dan dalam waktu seketika juga akan merasa bersalah kalau ternyata dirasa tidak melakukan banyak hal.
Orang dengan toxic productivity berkeinginan untuk bekerja ekstra di kantor ataupun di rumah. Bahkan, ketika hal tersebut tidak diperlukan, orang yang terjebak dalam toxic productivity akan tetap melakukannya.
Perlu ditekankan, menjadi produktif dalam hidup merupakan hal positif. Akan tetapi, apabila keinginan untuk produktif itu menjadi berlebihan, bisa membahayakan kesehatan fisik dan mental.
Untuk lebih jelasnya, kamu bisa menyimak di bawah ini perihal toxic productivity, termasuk ciri-ciri dan cara mengatasinya, disadur dari Klikdokter, Kamis (20/10/2022).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Beda Toxic Productivity, Workaholic, dan Hustle Culture
Toxic productivity sekilas mirip workaholic dan hustle culture, yang juga sedang ramai diperbincangkan.
Berikut ini perbedaan ketiganya:
- Orang yang terjebak di situasi toxic productivity punya pikiran yang keliru bahwa ia harus terus mengembangkan diri. Jika tidak produktif, ia akan merasa bersalah.
- Orang yang workaholic, mereka hanya suka bekerja melebihi batas waktu yang ditetapkan sehingga aspek lain di dalam hidupnya terbengkalai.
- hustle culture adalah budaya yang diyakini individu bahwa aspek terpenting dalam hidup adalah bekerja keras.
Ketiganya memang mirip dan berhubungan. Akan tetapi, orang yang berada dalam situasi toxic productivity biasanya langsung merasa tidak berguna ketika lebih dari satu atau dua jam tidak melakukan apa pun.
Advertisement
Ciri-Ciri Toxic Productivity
Terobesesi untuk Produktif
Tidak ada yang salah untuk menjadi orang produktif. Hal yang salah adalah ketika produktivitas itu sudah berlebihan, dan kamu bekerja sampai mengorbankan kesehatan.
Kondisi fisik dan mental serta lingkungan sekitar tetap membutuhkanmu. Tidak ada artinya jika uang yang dicari justru digunakan untuk membayar pengobatan penyakit, bukan?
Sering Merasa Bersalah saat Berdiam Diri
Orang yang terjebak di produktivitas beracun akan merasa bersalah jika ia berdiam diri sejenak, sekali pun itu untuk beristirahat.
Memilliki Ekspektasi yang Tidak Realistis
Target-target yang terlalu tinggi dan mustahil dicapai juga menjadi ciri toxic productivity. Lantaran target yang tak realistis itulah mereka akhirnya melakukan banyak hal tanpa jeda.
Tidak Pernah Puas
Orang dengan toxic productivity tidak akan pernah merasa puas. Padahal, secara objektif, apa yang dilakukannya sudah lebih dari cukup.
Bahkan, ada juga beberapa hal yang tetap dilakukan, meski sebenarnya tidak perlu.
Tidak Bersahabat dengan kata "Istirahat"
Di saat sakit pun, orang dengan toxic productivity tidak mau diam untuk beristirahat. Mereka lebih memilih untuk bekerja.
Punya waktu luang untuk beristirahat dianggap negatif oleh orang dengan produktivitas beracun. Mereka biasanya juga memandang orang-orang yang bisa beristirahat sebagai pemalas atau tidak punya target, padahal tidak selalu begitu.
Cara Mengatasi Toxic Productivity
Cara mengatasi toxic productivity lebih menekankan perubahan pola pikir dan konsistensi. Berikut ini beberapa caranya:
1. Menyadari bahwa Kamu Punya Masalah
Semua mesti berawal dari kesadaran ini. Jika orang dengan toxic productivity tidak sadar bahwa dirinya terjebak, tentu akan percuma.
Perhatikan tanda bahaya. Satu di antara ciri yang paling bisa menjadi alarm adalah munculnya rasa bersalah ketika kamu rehat sejenak dari pekerjaan.
2. Lakukan Cara yang Efisien dan Efektif
Work smart akan memberikan efek yang lebih baik daripada sekadar work hard.
Mengutip dari laman Huffpost, seorang Konsultan SDM dan penulis buku, Laurie Ruettimann, merekomendasikan para pegawai untuk lebih efektif dan efisien dalam bekerja.
Misalnya, jika ada hal yang bisa dibicarakan via email maka hindari melakukan rapat lewat Zoom yang harus menyita waktu.
3. Hilangkan Pertanyaan, 'Apa yang harus saya lakukan sekarang?'
Pertanyaan itu adalah tanda produktivitas beracun. Sadarilah bahwa tak semua orang menghargai proses yang kamu jalani.
Kebanyakan orang hanya kagum dan terkesan dengan pencapaian, bukan berapa jam dan sekeras apa kamu bekerja. Jadi, lakukanlah dalam batas yang wajar.
4. Lakukan Self Care
Lakukan upaya ekstra untuk merawat dan mengapresiasi diri, misalnya jogging pagi atau rehat minum teh sore hari. Menonton acara kesukaan di jeda istirahat dan seusai bekerja, atau menyantap camilan yang bisa membangkitkan mood, semuanya bisa dilakukan.
5. Seimbangkan Kehidupan Profesional dan Pribadi
Jalani kehidupan dengan seimbang. Jika kamu ingin menghindari produktivitas beracun, atur waktu dengan lebih baik lagi.
Jalani kehidupan yang kamu sukai dan tidak perlu menganggapnya sebagai perlombaan.
Disadur dari: Klikdokter.com (Published: 24/4/2021)
Silakan klik tautan ini untuk artikel kesehatan mental dari berbagai tema lain.
Advertisement