Bola.com, Jakarta - Apakah kamu 'terlalu memaksakan' untuk selalu berpikir positif setiap saat dan dalam segala suasana? Hati-hati, bisa jadi kamu mengalami toxic positivity.
Berpikir positif merupakan satu di antara kebiasaan yang harus dimiliki dalam hidup. Akan tetapi, perlu diketahui, tidak hanya punya dampak baik, berpikir positif ternyata juga bisa memberimu dampak buruk.
Advertisement
Yap, kamu tak salah, ada dampak buruk dari berpikir positif. Kondisi ini yang dinamakan toxic positivity.
Toxic positivity terjadi apabila kamu 'terlalu berpikir positif'. Dalam kondisi itu, justru bisa merusak kesehatan mentalmu. Maka itu, kamu perlu memahami apa itu toxic positivity, termasuk pula dampak-dampaknya, sehingga kamu bisa menghindari terjerumus ke dalamnya.
Toxic positivity adalah penggunaan rasa bahagia dan optimis secara berlebihan dan disamaratakan untuk segala situasi.
Pada prinsipnya, kamu tetap boleh berpikir positif, tetapi jangan terlalu berlebihan karena bisa berisiko terjangkit toxic positivity.
Kamu juga tidak perlu memaksakan diri untuk selalu positif. Jika merasakan emosi negatif, jangan takut untuk mengekspresikannya.
Untuk lebih jelasnya, kamu bisa mencermati ulasan di bawah ini, perihal pengertian toxic positivity dan dampak-dampaknya, seperti disadur dari Klikdokter, Jumat (21/10/2022).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Pengertian Toxic Positivity
Toxic positivity adalah penggunaan rasa bahagia dan optimis secara berlebihan dan disamaratakan untuk segala situasi.
Sebagai akibatnya, dapat timbul penyangkalan, rasa mengecilkan, dan menghapuskan emosi-emosi manusiawi lainnya.
Padahal, dalam kehidupan, tidak mungkin seseorang merasa bahagia dan positif terus-menerus. Hal ini karena seseorang pasti akan mengalami peristiwa atau pengalaman yang menimbulkan emosi negatif pada seseorang.
Misalnya sedih, kecewa, berduka, cemas, dan sebagainya. Berbagai emosi negatif tersebut juga penting untuk dirasakan dan diekspresikan.
Umumnya, toxic positivity muncul melalui perkataan, 'Masih untung… banyak yang lebih menderita', 'banyak-banyak bersyukur saja', atau 'lihat positifnya saja…' dapat menjadi contoh dari ucapan positif yang tidak baik bergantung pada situasi dan kondisi.
Di bawah ini dapat dijadikan gambaran toxic positivity:
Seorang istri mengetahui suaminya mendapat diagnosis bahwa ia mengidap kanker. Namun, sang istri merasa, 'Ah, dia akan baik-baik saja' tanpa memperhatikan betapa besar perjuangan sang suami melawan rasa sakit yang dirasa.
Hal ini dikarenakan sang istri tak sadar ia telah menyangkal terhadap keadaan di depan mata. Bahkan perkataan seperti itu tidak hanya dilontarkan untuk orang lain, melainkan juga pada diri sendiri.
Misalnya, 'Sabar saja, orang sabar disayang Tuhan', ketika kamu berupaya menenangkan diri karena belum dapat kerja, sementara kamu tidak berusaha. Berdoa itu wajib, tetapi bagaimana jika tanpa dibarengi dengan usaha yang nyata?
Advertisement
Dampak Toxic Positivity
Selain sering menyangkal dan berkecil hati, ada pula dampak negatif lainnya. Berikut ini beberapa dampak toxic positivity yang perlu kamu ketahui:
Kurangnya Rasa Empati
Saat seseorang (selanjutnya disebut sebagai komunikator) curhat, ia tidak selalu butuh nasihat. Sering kali, mereka hanya butuh didengarkan dan dimengerti. Dengan kata lain, komunikator butuh pembenaran akan emosi yang mereka rasakan.
Sementara, jika lawan bicaranya (selanjutnya disebut sebagai komunikan) terjangkit toxic positivity, justru tidak membenarkan adanya emosi negatif dari komunikator dehingga mungkin menimbulkan rasa malu jika merasakan emosi tersebut.
Dampaknya, alih-alih menemukan jalan keluar dan mengurangi rasa gelisah yang dirasakan komunikator, si komunikan yang terjangkit toxic positivity justru merusak suasana karena komentarnya.
Niat awalnya menenangkan, tetapi karena kalimat komunikan yang berusaha memaksa komunikator untuk tenang menghadapi masalahnya, justru membuat yang punya masalah makin kesal dan merasa tidak didengarkan.
Jadi, jika ada teman yang curhat dan menangis, jangan ungkapkan kalimat, 'Nangis tak akan menyelesaikan masalah'. Padahal dengan menangis, membuat sebagian orang merasa lega.
Jangan sampai niat baik untuk menghibur, tetapi malah makin mengecewakan orang lain. Kalimat sederhana seperti, 'Apa ada yang bisa aku bantu?' dapat membuat lawan bicara merasa dimengerti dan membuatnya lega.
Dampak Toxic Positivity
Mengucilkan Diri
Selain kurang sensitif, orang yang terpapar toxic positivity mungkin akan merasa tidak nyaman untuk mengekspresikan diri apa adanya. Akibatnya, mereka memilih untuk menutup diri, menyembunyikan perasaan, dan mengucilkan diri sendiri.
Dengan demikian, bisa saja mereka memilih untuk berdiam diri mengenai masalahnya, padahal mungkin mereka membutuhkan bantuan lebih lanjut.
Misalnya, kondisi seperti depresi merupakan masalah mental yang tidak bisa disembuhkan semata-mata dengan bersikap dan berpikir positif.
Bahkan sering kali pengidapnya membutuhkan bantuan tenaga ahli. Namun, karena lebih sering berpikir positif karena ia merasa tak ada masalah berarti bagi kesehatan mentalnya, tanpa disadari kondisinya justru makin parah.
Menambah Emosi Negatif
Beberapa studi menemukan bahwa menyembunyikan atau menyangkal perasaan tidak memperbaiki keadaan, malah dapat menimbulkan efek buruk. Misalnya, menambah stres atau sulit untuk menyembunyikan perasaan.
Di sisi lain, bebas mengekspresikan diri memang membantu manusia untuk mengatur respons stresnya. Namun, bagi yang terpapar toxic positivity, jika mereka mengekspresikan diri, bukannya menghibur, ia malah membuat orang makin stres.
Disadur dari: Klikdokter.com (Published: 4/1/2020)
Silakan klik tautan ini untuk artikel kesehatan mental dari berbagai tema lain.
Advertisement