Sukses


Contoh Cerita Fantasi yang Bisa Jadi Dongeng Anak

Bola.com, Jakarta - Contoh cerita fantasi bisa menjadi dongeng untuk anak sebelum tidur. Cerita fantasi merupakan kisah hasil imajinasi penulis atau perpaduan fakta dengan khayalan penulis yang bersifat mengihibur.

Dalam cerita fantasi, segala sesuatu yang bersifat tidak mungkin di dunia nyata merupakan hal yang biasa. Bahkan, tak jarang pengarang sengaja melebih-lebihkan hingga terkesan tidak masuk akal.

Maka itu, pengarang akan mengandalkan apa yang ada dalam angan-angannya untuk kemudian dituangkan menjadi sebuah cerita.

Dengan banyaknya imajinasi, anak-anak tentu akan menyukainya. Tak hanya sebagai pengantar tidur dan hiburan, mendengarkan cerita fantasi juga mampu mengedukasi anak.

Berikut beberapa contoh cerita fantasi untuk dongeng anak, disadur dari Brilio, Jumat (4/11/2022).

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

2 dari 4 halaman

1. Contoh Cerita Fantasi Cermin Ajaib

Pagi itu, Sinta sedang malas-malasnya untuk bangun dan bersiap ke sekolah karena semalam pekerjaan rumahnya baru ia selesaikan sekitar pukul 11 malam. Ia baru mampu membuka sebelah mata dan mengintip jam weker.

Namun, seketika perhatiannya teralihkan oleh handphonenya yang berkedip. Ia mengambilnya, lalu menemukan bahwa ternyata Rama telah membalas pesan WhatsApp-nya. Saat itu pula Sinta tiba-tiba beranjak dari kamarnya dan lekas bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Hal tersebut sebetulnya tidak mengherankan karena, diam-diam, selama ini Rama adalah tambatan hati Sinta. Ia mengidolakan Rama karena ia anak yang ramah, sopan, dan berprestasi di sekolah.

Meski masih duduk di bangku kelas 10 SMA, Sinta sudah mulai belajar berdandan. Namun, dandanan yang ia kenakan tidak berlebihan dan lebih berlandaskan menjaga kesehatan wajah saja. Jadi, satu di antara persiapannya ke sekolah adalah dengan mengaplikasikan lip gloss ke bibirnya.

Namun, pagi itu, ia tidak dapat menemukan cermin kecil yang biasa ia gunakan untuk berdandan. Ia pun terus mencari hingga akhirnya berpapasan dengan ibunya yang sedang sibuk di dapur.

"Ma…, Mama liat cermin bedak Sinta ga?" Tanya Sinta.

"Enggak, Sinta… Ini sudah terlalu siang lho, kenapa kamu belum berangkat juga, nanti telat," balas ibunya.

"Iya ma, tapi kan Sinta belum pake lip gloss." Kata Sinta.

"Pakai cermin di lemari kamu aja Sin," ujar mamanya.

"Enggak bisa Ma, ga keliatan, mesti deket," balas Sinta sambil mengeluh.

"Ya udah pake cermin bedak mama aja, kamu ambil sendiri di kamar mama, di meja rias." ujar sang mama.

Sinta lantas beranjak ke kamar ibunya dan segera menghampiri meja rias. Saat menghampirinya, Sinta melihat sederetan peralatan make up. Namun, ia tidak menemukan cermin bedak kepunyaan ibunya.

Ia akhirnya mencoba mencarinya di laci meja itu. Ia menemukan cermin kecil yang agak kusam dan tampak terlihat sudah berumur.

"Nah, ini aja deh, bisa," gumamnya dalam hati.

Namun, ketika ia bercermin, bukan wajahnya yang tampak. Sinta sontak kaget dan membalikkan cermin itu ke atas meja. Jantungnya berdebar kencang dan sedikit napasnya berpacu tak terkendali. "Mungkin cuma salah liat," ia berusaha menenangkan pikirannya di dalam hati. Tak lama dengan sedikit keraguan, ia membalikkan cermin itu lagi.

Kali ini, ia benar-benar memfokuskan pandangannya pada cermin. Namun, ternyata sekali lagi ia melihat sosok lain yang berada di cermin itu. Seorang pria dengan wajah muram dengan alis tebal dan berpenampilan sedikit sangar. Ya, Sinta mengenali sosok itu. Ia adalah teman sekolahnya, pria yang justru kebalikan dari Rama. Ia kurang menyukai sosok pria itu karena pendiam dan selalu menyorotkan pandangan tidak ramah pada siapa pun. Ia adalah Rahwana.

"Sin, Sinta… Kamu kenapa sayang?" Terdengar suara ibunya mendekat.

Wajar saja jika ibunya khawatir karena bunyi cermin yang tadi dihentakkan Sinta ke meja cukup keras. Ibunya lantas melihat Sinta yang sedang bercermin dengan wajah ketakutan dan penasaran.

"Kok pake cermin itu, Sin", tanya Ibunya.

Sinta masih tidak bergerak dan belum menghiraukan pertanyaan ibunya. "Oh, kamu bisa lihat juga ya, kamu lihat siapa, Sin?". Kali ini Sinta membalasnya "Lho, mama tahu? Sinta lihat Rahwana Ma, temen sekolah," balas Sinta makin keheranan. "Oh, ternyata kamu udah kenal ya, ya baguslah," balas ibunya. "Hah? Maksudnya gimana ma?," jawab Sinta sambil menyipingkan matanya.

"Cermin itu pusaka keluarga kita, Sin, nenek kamu sih nyebutnya cermin jodoh," balas ibunya sambil tertawa kecil.

"Hah? Sejak kapan kita punya beginian, Ma, lagian.. ga mungkin Rahwana, Sinta enggak suka sama dia, malah agak kekih," jawabnya.

"Namanya jodoh siapa yang tau, Sin."

"Enggak ah, ga mau!" tegas Sinta.

"Ah lagian kamu masih SMA, mana tahu soal gituan, masih belum umur!" balas mamanya.

"Ih, tapi ga mungkin, Rahwana itu orangnya jutek banget, diajak ngobrol juga susah, mana kasar lagi, ga ada lembut-lembutnya ke cewek, Ma," balas Sinta.

"Kamu kenal sama dia Sin? Maksudnya, bener-bener tahu isi hati sama sifatnya gimana?"

"Boro-boro, kan kata Sinta juga diajak ngobrol aja susah," jawab Sinta.

"Ya sudah kalau begitu, jangan menilai seseorang dari sikapnya saja, belum tentu seseorang yang sikapnya dingin seperti itu memiliki hati yang buruk." Kata sang Mama.

Sinta lalu tertegun sejenak merenungkan perkataan ibunya tersebut. Namun, tak lama ia kembali sadar bahwa persoalan pokok kali ini bukanlah soal Rahwana apalagi jodohnya.

"Lho, tapi kok Mama punya cermin gini sih? Ini beneran? Ga ada layarnya kan?" tanya Sinta sambil meraba-raba bagian belakang cermin itu.

"Itu belum seberapa Sin, masih banyak pusaka lain yang kamu bakal lebih kaget lihatnya," balas ibunya sambil mengedipkan matanya.

 

3 dari 4 halaman

2. Contoh Cerita Fantasi Bola Persahabatan

Lapangan ini adalah saksi bisu atas apa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Tahun di mana aku masih duduk di bangku SMP dan tak kenal lelah untuk bermain bola di sini. Tentunya bersama teman-temanku, teman yang menemukan tempat tersendiri di dalam hatiku. Bagaimana pun aku tidak akan melupakan masa naif itu, di mana kami dengan angkuhnya menantang para murid SSB yang terkadang bermain di sini. Tak usah diceritakan lagi bagaimana hasilnya.

Melawan anak-anak komplek yang disebut-sebut lebih manja dari anak kampung saja kami tetap kalah. Namun bukan itu inti dari permainan ini. Permainan yang tak sengaja membawa kami pada peristiwa langka itu. Peristiwa yang pada saat kami kecil saja kami tidak memercayainya. Anak-anak se-halu kami saja tak sanggup mencernanya.

Kejadiannya bermula saat kami memutuskan untuk mencari lapangan baru. Tidak ada alasan khusus, kami hanya ingin mencari suasana baru. Selain itu, salah satu teman kami berkata bahwa ia menemukan tempat bagus untuk bermain bola.Namun, lapangan itu berada di seberang hutan belantara yang jarang dilewati warga. Lapangan tersebut merupakan lembah di antara dua gunung yang mengapit desa kami.

Setelah berjalan selama beberapa jam, akhirnya kami tiba di sana. Lapangan ini memang tampak menjanjikan. Belum lagi pandangan yang asri mengelilingi sekitar pula. Rumputnya mungkin agak sedikit terlalu lebat, tapi tak jadi halangan bagi bola plastik yang kami bawa. Namun di sana kami malah asyik bereksplorasi karena kawasan tersebut masih asing bagi kami. Kemudian, bola yang kami bawa tiba-tiba menggelinding dengan cepat. Aku pun mengejarnya, tapi bola itu meluncur dengan kencang, sulit untuk menyamainya. Setelah beberapa saat berlari, aku baru tersadar akan satu hal yang janggal. Area ini datar, tidak mungkin bola itu dapat menggelinding sendiri. Akhirnya aku berhenti berlari dan seketika, bola itu pun berhenti bergerak.

Keringat dingin menetes di dahiku. Aku lantas menengok ke belakang dan tidak ada siapa-siapa di sana. Entah kemana kawan-kawanku berada. Kali ini, hawa di sekitarku terasa berbeda. Angin sepoi-sepoi yang berembus tenang berubah menjadi angin kering yang menusuk dadaku. Aku kembali melihat bola itu dan tampak Dani, sedang berusaha mengambil bola itu. Disusul oleh tepukan tangan di bahu sebelah kananku yang membuatku terkejut. "Den, tadi ga ada yg nendang bola kan?" Tanya temanku. "Nggak", balasku singkat. "Ketiup angin kali ya?" Katanya. "Iya", balasku singkat lagi sambil menahan kengerian yang ku alami.

Ia pun lantas setengah menarikku bersama dengan kawanku yang lain. Sementara itu, Dani juga sudah berhasil mengambil bola dan bergabung bersama kami. “Mau ke mana dan?” Tanyaku. Kali ini Dani diam, dia hanya terus menarik tanganku sambil memboyongku ke arah timur, arah kebalikan dari arah bola itu meluncur. Kami semua tak berhenti berlari kecil hingga tiba di batas tepian hutan yang telah kami lewati sebelumnya. Entah mengapa, bahkan suasana hutan belantara yang gelap ini terasa lebih nyaman jika dibandingkan dengan lapang itu.

Setelah berjalan setengah perjalanan menuju pulang, akhirnya Dani bergeming. “Bagus ya den tadi tempatnya”. ” Iya sih, tapi…” “Tapi mistis? Hehe, ngga apa-apa kok den, ga usah takut” “Tapi kan kamu tadi liat sendiri, itu bola meluncur sendiri”. Lantas Dani sambil tersenyum berkata “Selama kita bareng ga bakal ada kejadian apa-apa den, santai aja”.

Tanpa pikir panjang aku lalu membalas perkataan itu dengan tawa kecil sambil bergumam “Mau jadi anime lu dan”. Sontak semua kawanan kami pun tertawa mendengarnya.

 

4 dari 4 halaman

3. Contoh Cerita Fantasi Nia In Wonderland

Aku baru saja tersadar dan aku terkejut aku ada di mana sekarang? Padahal beberapa saat yang lalu aku sedang tidur di kamarku sambil membaca buku. Tapi sekarang aku berada di tengah hutan.

Aku berjalan tanpa arah, mengikuti jalan setapak yang ada di depanku, entah ada di mana aku sekarang, tapi yang jelas aku takut. Aku melihat seseorang sedang membelah kayu dengan kapaknya di di depan mataku, seorang anak yang mengayunkan kapaknya ke arah kayu hingga menimbulkan bunyi nyaring, "TAK!!!" Dia melakukannya berulang-ulang, aku menyipitkan mataku, untuk melihat jelas wajah anak itu dan sepertinya aku mengenalnya. Dia adalah temanku Jerry, aku memanggilnya dengan suara lantang dan dia menoleh. Aku segera menghampirinya, perasaanku sangat senang karena setidaknya ada orang yang aku kenal.

“Siapa kau?”, ucap Jerry kaget.

“Ini aku Nia, teman satu kelasmu,” kataku.

“Maaf aku tidak mengenalmu,” jawabnya.

Aku terkejut saat mendengar jawabannya, entah apa dia mungkin terkena amnesia. Aku akan menanyakannya sekali lagi, tetapi saat aku ingin bertanya aku mendengar suara teriakan, di ujung sana aku melihat kobaran api yang menyala-nyala menimbulkan asap pekat yang melambung di udara. Aku tersentak.

“Ayo ikut aku,” tiba-tiba Jerry tersentak, dia menarik pergelangan tanganku dan mengajaku berlari.

“Kita mau ke mana?" Tanyaku.

“Kita akan ke desa tempat tinggalku,” sahutnya.

Aku hanya terdiam mendengar jawabannya, dan kakiku terus berlari di atas rumput hijau, dan kami sampai di desa itu.

Aku terkejut saat melihat keadaan desa telah hancur, porak-poranada, kepingan bangunan di mana-mana, kobaran api yang menari-nari, mayat-mayat yang bertebaran seperti daun-daun di musim gugur, dan yang melakukan itu semua adalah raksasa besar yang ada di hadapan kami. Raksasa hijau itu sangat menakutkan dia menatap Jerry dan aku dengan mata merah seramya.

Jerry menyuruhku bersembunyi dan aku menuruti apa maunya. Jerry berlari dengan gagah berani dia berlari ke arah makhluk besar hijau itu, dan baju Jerry berubah menjadi baju seorang kesatria. Jerry terbang dia mengarahkan kapaknya yang bercahaya ke arah monster itu, tapi dia berhasil menagkisnya, dan dia menembakan laser dari matanya. Laser itu mengenai Jerry hingga dia terluka dan terjatuh ke tanah, dan monster itu ingin menginjak Jerry dengan kaki besarnya. Aku memejamkan mata karena tidak ingin melihat pemandangan ini.

Tiba-tiba ada suara muncul di kepalaku suara yang menyuruhku untuk menyelamatkan Jerry. Aku kembali membuka mataku dan melihat tubuhku mengeluarkan cahaya sesaat setelah cahaya itu hilang. Baju piyama yang tadi aku kenakan berubah menjadi baju dress biru yang indah, tapi yang membuat aku terkejut kini aku memeiliki sayap di punggungku.

Aku masih takut dengan monster itu tapi aku harus menyelamatkan Jerry, aku terbang dengan sayapku. Tiba-tiba muncul sebuah busur panah di tanganku, aku belum pernah memanah sebelumnya tapi apa salahnya aku mencoba. Aku membidik tepat di matanya dan melesatkan anak panah yang bercahaya itu. Dan monster itu pun lenyap.

Aku berhasil mengalahkannya, aku kembali ke wujud semulaku. Saat aku menghampiri Jerry tiba-tiba tubuhnya menghilang, semuanya menghilang dan turun hujan. Aku pun tersadar bahwa semua hanyalah mimpi, aku terbangun dan merasakan celanaku yang basah bukan karena hujan tapi karena aku mengompol. Mungkin inilah akibatnya jika tidak berdoa sebelum tidur.

 

Disadur dari: Brilio (Penulis: Desinta Ramadani. Published: 4/1/2022)

Yuk, baca artikel contoh lainnya dengan mengikuti tautan ini.

Lebih Dekat

Video Populer

Foto Populer