Bola.com, Jakarta - Macapat adalah karya sastra Jawa yang berbentuk puisi tradisional yang merupakan karya leluhur warisan budaya bangsa Indonesia. Selain di Jawa, tembang sejenis macapat juga ditemukan di daerah lain di Indonesia, seperti di Bali.
Macapat merupakan puisi tradisional dalam bahasa Jawa yang disusun dengan menggunakan aturan tertentu. Tembang digolongkan sebagai 'tembang cilik'. Di samping tembang cilik, dalam budaya Jawa dikenal pula 'tembang tengahan' dan tembang 'gedhe'.
Baca Juga
Advertisement
Dalam tembang macapat berisi petuah atau nasihat yang disampaikan dengan cara bijak. Banyak amanat atau pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya.
Melalui tembang macapat, ajaran agama dan nilai moral dari leluhur dapat diterima dengan mudah. Hal itu karena macapat disampaikan dalam bentuk rangkaian kata yang disusun dengan indah.
Tembang macapat ada sebelas jenis, yaitu maskumambang, mijil, sinom, kinanti, asmarandana, gambuh, dandanggula, durma, pangkur, megatruh, dan pucung.
Tembang macapat biasanya ditampilkan dalam pertunjukan sebagai satu di antara kesenian atau hiburan. Namun, pada zaman sekarang, banyak generasi muda yang tidak mengenal tembang macapat.
Padahal, dalam tembang ini banyak ditemukan pelajaran penting yang berharga bagi kehidupan. Bagi kamu yang ingin mengenal macapat, perlu mengetahui sejarahnya.
Berikut ini sejarah tembang macapat yang perlu diketahui, dilansir dari Buku berjudul Macapat Tembang Jawa, Indah, dan Kaya Makna terbitan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Rabu (24/5/2023).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Sejarah Tempang Macapat
Sejarah asal mula tembang macapat sampai saat ini masih ditelusuri oleh para ahli sastra dan budaya Jawa.
Ada yang berpendapat tembang macapat diciptakan oleh Prabu Dewawasesa atau Prabu Banjaran Sari di Sigaluh tahun 1279 Masehi.
Pendapat lain mengatakan bahwa macapat tidak hanya diciptakan oleh satu orang, tetapi oleh beberapa orang wali dan bangsawan.
Para pencipta itu antara lain adalah Sunan Giri Kedaton, Sunan Giri Prapen, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muryapada, Sunan Kali Jaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Geseng, Sunan Majagung, Sultan Pajang, Sultan Adi Eru Cakra, dan Adipati Nata Praja.
Pada zaman ajaran Islam masuk ke tanah Jawa, para Wali Sanga menggunakan tembang macapat sebagai media dakwah dalam mengembangkan agama Islam di Pulau Jawa. Syair-syair yang terkandung di dalam tembang macapat banyak menyiratkan nilai-nilai yang diajarkan dalam Al-Qur'an.
Sebagai contoh, dalam Al-Qur'an terdapat ayat yang berbunyi Kullu nafsin dzaaiqotul maut 'setiap jiwa pasti akan mati' yang dituangkan dalam macapat megatruh yang berarti berpisahnya antara roh dan tubuh manusia.
Dalam tembang macapat megatruh yang bermakna kematian, banyak disampaikan pesan agar setiap orang selalu berbuat amal kebaikan sebagai bekal kehidupan di akhirat nanti.
Advertisement
Contoh Tembang Macapat
Contoh Tembang Maskumambang
Â
Dhuh anak mas sira wajib angurmati,
marang yayah rena,
aja pisan kumawani,
anyenyamah gawe susah.
Makna
Tembang tersebut berisi pesan kepada anak-anak agar selalu menghormati orang tua. Jangan sampai seorang anak berani menentang atau membantah orang tua karena akan berakibat buruk kepada diri anak sendiri.Â
Contoh Tembang Macapat
Contoh Tembang Macapat Sinom
Â
Nuladha laku utama,
tumraping wong tanah Jawi,
wong agung ing Ngeksiganda,
panembahan Senapati,
kepati amarsudi,
sudane hawa lan nepsu,
pinesu tapa brata,
tanapi ing siyang ratri,
amemangun karyenak tyas ing sasama.
Â
Makna
Contohlah perilaku utama,
bagi kalangan orang Jawa (Nusantara),
penguasa dari Ngeksiganda (Mataram),
panembahan Senopati,
yang selalu tekun,
mengurangi hawa nafsu,
dengan jalan prihatin (bertapa),
baik siang maupun malam,
selalu berkarya membuat tenteram bagi sesama.
Advertisement
Contoh Tembang Macapat
Contoh Tembang Macapat kinanthi
Â
Mangka kanthining tumuwuh,
salami mung awas eling,
eling lukitaning alam,
dadi wiryaning dumadi,
supadi nir ing sangsaya,
yeku pangreksaning urip.
Â
Makna
Untuk bekal orang hidup,
selamanya harus waspada dan ingat,
harus selalu berhati-hati,
ingat kepada petunjuk kehidupan,
supaya terhindar dari kesengsaraan,
begitulah cara menjalani kehidupan.
Â
Sumber: Badan Bahasa Kemdikbud
Baca artikel seputar sejarah lainnya dengan mengeklik tautan ini.