Bola.com, Jakarta - Toxic masculinity adalah hasil dari seperangkat aturan yang menentukan seperti apa seharusnya (standar) menjadi seorang pria.
Indonesia dengan budaya masyarakat patriarkis yang kuat memberi andil dari konstruksi sosial ini.
Baca Juga
Advertisement
Sebenarnya, konsep maskulinitas adalah karakteristik yang positif. Namun, akan menjadi "racun" ketika laki-laki dituntut harus memiliki dan menunjukkan maskulinitas demi menghindari stigma "laki-laki itu lemah".
Padahal, seorang laki-laki bisa saja memiliki sifat yang lembut, gentle, peka, ramah, dan perasa. Ini bukan suatu aib atau kekurangan ketika laki-laki memiliki sifat yang disebutkan tadi.
Agar lebih paham lagi, berikut penjelasan lanjutan tentang toxic masculinity, dilansir dari laman yankes.kemkes.go.id, Rabu (14/6/2023).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Contoh Pandangan Toxic Masculinity
- Seorang pria tidak dapat mengekpresikan emosi secara terbuka.
- Seorang pria harus tangguh setiap waktu.
- Seorang pria seharusnya tidak mencari kehangatan, kenyamanan, atau kelembutan.
- Seorang pria tidak boleh bergantung kepada orang lain. Meminta bantuan adalah kelemahan.
- Seorang pria harus menang atau dominan dalam olahraga, pekerjaan, hubungan, dan seks.
- Tindakan berisiko (rokok, balapan, obat terlarang) membuat pria lebih keren.
Advertisement
Tiga Komponen Inti Toxic Masculinity
- Toughness (ketangguhan): Seorang pria harus kuat secara fisik, tidak berperasaan, perilaku agresif.
- Anti Feminity: Seorang pria harus menolak apa pun berbau feminim.
- Power (Kekuasaan): Seorang pria harus berjuang mendapatkan kekuasaan dan status.
Bahaya Toxic Masculinity
- Enggan pergi ke bantuan profesional
- Memendam emosi
- Gangguan mental
- Kekerasan seksual
- Empati rendah
- Merasa sendirian
- Penyalahgunaan obat-obatan, dan lain-lain.
Â
Sumber:Â yankes.kemkes.go.id
Yuk, baca artikel kesehatan mental lainnya dengan mengikuti tautan ini.
Advertisement