Bola.com, Jakarta - Ilmu tafsir Al-Qur'an merupakan induk dari segala ilmu. Hal itu karena Al-Qur'an merupakan sumber segala ilmu, bahkan disebut dengan jaringan ilmu.
Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam. Al-Qur'an merupakan sumber hukum Islam pertama dan utama dalam menghukumi berbagai persoalan dalam kehidupan.
Baca Juga
Advertisement
Sementara secara etimologi, tafsir berasal dari kata فَسَّرَ – يُفَسِّرُ – تَفْسِيْرًا yang artinya adalah menjelaskan, menerangkan, atau menyingkap. Hal ini memiliki makna sama dengan apa yang difirmankan oleh Allah Swt.:
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Artinya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Berikut penjelasan lebih lanjut tentang tafsir Al-Qur'an, dilansir dari laman Nasehatquaran, Selasa (15/8/2023).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur'an
a. Tafsir di Masa Nabi dan Para Sahabat
1. Bahasa Al-Qur'an
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa yang digunakan oleh Nabi dan para sahabat, yakni bahasa Arab.
Uslub atau stalistika yang digunakan dalam Al-Qur'an sangatlah indah dan beragam, di antaranya ada hakikah, majaz, sarih, kinayah, ijaz, dan ithnab, yang mana uslub tersebut juga digunakan oleh orang-orang Arab di saat itu dalam pembicaraan dan syair-syair mereka.
Dengan diturunkannya Al-Qur'an dengan uslub inilah para sahabat menafsirkan Al-Qur'an sesuai kemampuan mereka dalam memahami bahasa Arab.
2. Pemahaman Nabi dan Para Sahabat Terhadap Al-Qur'an
Sudah menjadi hal yang lumrah apabila pemahaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap Al-Qur'an itu sangatlah terperinci dan menyeluruh. Demikian pula pemahaman para sahabat yang menyeluruh terhadap Al-Qur'an dari sisi zahir dan ahkamnya.
Adapun pemahaman yang lebih terperinci di mana ayat yang ingin mereka ketahui penafsirannya terdapat musykil atau mutasyabih atau semisalnya maka mau tidak mau mereka harus merujuk atau bertanya kepada nabi mengenai penafsiran ayat tersebut.
3. Sumber Para Sahabat dalam Menafsirkan Al-Qur'an
Sumber utama para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur'an adalah mencarinya dalam Al-Qur'an itu sendiri karena antara satu ayat dengan ayat yang lainnya saling menafsirkan.
Setelah itu, mereka merujuk kepada Nabi Muhammad saw., beliau sendiri adalah seorang mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur'an itu sendiri.
Apabila mereka tidak menemukan penafsiran dari keduanya atau tidak sempat menanyakannya kepada nabi maka mereka menggunakan ra’yu (pemikiran) atau berijtihad dengan bantuan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab, sya’ir-sya’ir Arab jahiliyyah, pengenalan terhadap tradisi Arab, pengetahuan terhadap keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab tatkala turunnya Al-Qur'an, latar belakang turunnya Al-Qur'an, dan kemampuan penalaran mereka.
Kemudian yang terakhir, baru mereka menanyakan kepada ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, khususnya tentang masalah sejarah Nabi-nabi terdahulu dan kisah-kisah dalam Al-Qur'an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab yang telah masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbaar, dan lainnya.
4. Bentuk Tafsir
Ilmu tafsir saat itu belum menjadi disiplin ilmu tersendiri karena saat itu ilmu ini belum disusun secara sistematis dan hanya berupa riwayat-riwayat yang masih berserakan.
Saat itu juga ilmu tafsir belum disusun dalam sebuah kitab karena memang para sahabat adalah kaum ummiyyiin.
Di samping itu, penafsiran Al-Qur'an saat itu belum menyeluruh karena hanya ayat-ayat yang sukar dipahami saja yang mereka tafsirkan dan mereka tanyakan kepada nabi.
Advertisement
Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur'an
b. Tafsir di Masa Tabi'in
1. Sumber dalam Menafsirkan Al-Qur'an
Dalam menafsirkan Al-Qur'an para ahli tafsir di masa tabi’in berpegang dengan Al-Qur'an itu sendiri, hadis-hadis nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat, dan juga penafsiran sahabat.
Mereka juga mengambil dari ahli kitab yang termaktub dalam kitab-kitab mereka dan juga menafsirkan dengan metode ijtihad dan pendalaman terhadap Al-Qur'an.
Dikarenakan masih banyaknya ayat-ayat yang belum ditafsirkan di zaman nabi dan para sahabat maka hadis-hadis dan ucapan para sahabat terkait tafsir Al-Qur'an tidak mencakup seluruh ayat dalam Al-Qur'an.
Mereka berusaha menafsirkan ayat-ayat yang rancu di zaman mereka dengan kemampuan pengetahuan mereka terhadap bahasa Arab dan hadis-hadis nabi.
2. Madrasah Tafsir Al-Qur'an
Setelah berkembangnya Islam ke berbagai negeri maka mulailah berdiri madrasah-madrasah tafsir Al-Qur'an. Madrasah-madrasah tersebut di antaranya:
- Madrasah tafsir di Makkah didirikan oleh Ibnu Abbas
- Madrasah tafsir di Madinah didirikan oleh Ubayy bin Ka'ab
- Madrasah tafsir di Iraq didirikan oleh Ibnu Mas'ud
Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur'an
c. Tafsir di Masa Tadwin (Pembukuan)
Masa tadwin ini terjadi pada akhir masa Bani Umayyah dan permulaan Bani Abbasiyyah.
Periode Awal
Tafsir sebelum itu diajarkan antara satu sama lain dengan metode periwayatan, di mana sahabat meriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana mereka saling meriwayatkan.
Tabiin meriwayatkan dari sahabat, sebagaimana mereka saling meriwayatkan. Pada masa inilah langkah awal (munculnya disiplin ilmu) tafsir.
Periode Kedua
Setelah berakhirnya masa sahabat dan tabiin maka datanglah masa tadwin (pembukuan) terhadap hadis-hadis Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dikelompokkan menjadi bab tersendiri.
Pembukuan tafsir ini belum disusun secara sistematis seperti antara satu surat menafsirkan surat lainnya, ayat menafsirkan ayat, disusun dari awal hingga akhir, dan sebagainya. Bahkan saat itu dijumpai banyak para ulama mengembara ke berbagai negeri untuk mengumpulkan hadis-hadis nabi.
Periode Ketiga
Setelah melewati periode kedua, ilmu tafsir ini mulai menjadi disiplin ilmu tersendiri. Ilmu tafsir ini di susun setiap ayat dalam Al-Qur'an dan diurutkan sesuai dengan urutan mushaf.
Di antara para penyusun tersebut adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu jarir Ath-Thabari (w. 310 H), Abu Bakar bin Al-Mudzir An-Naisaaburi (w. 318 H), Ibnu Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh ibnu Hibban (w. 369 H), Al-Hakim (w. 405 H), dan lainnya.
Setelah berkembangnya ilmu pengetahuan di masa Abbasiyyah, para mufassir berupaya mengembangkan tafsir dengan peran ra’yu atau ijtihad.
Tafsir dengan bentuk ini dikenal dengan istilah tafsir bir-ra’yi atau tafsir bil ma’qul, di mana para mufassir menafsirkan Al-Qur'an dengan kemampuan ijtihad atau pemikiran mereka tanpa meninggalkan tafsir bil ma'tsur, yakni Al-Qur'an dengan Al-Qur'an atau dengan hadis dan tidak meninggalkan penafsiran para sahabat dan para tabi’in.
Penafsiran semacam ini membutuhkan bantuan berbagai macam cabang ilmu seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qira’ah, ilmu Al-Qur'an, ilmu hadis, ushul fiqih, ilmu sejarah, dan lain sebagainya.
Sumber: Nasehatquran
Yuk, baca artikel Islami lainnya dengan mengikuti tautan ini.
Advertisement