Bola.com, Jakarta - Peristiwa sejarah tidak akan lepas dalam konsep ruang dan waktu. Ruang merupakan tempat suatu peristiwa itu terjadi sedangkan waktu adalah saat terjadinya peristiwa sejarah.
Di dalam ilmu sejarah, ada dua cara berpikir, yakni diakronis dan sinkronis. Diakronis merupakan cara berpikir sejarah yang menceritakan suatu peristiwa memanjang dalam waktu, tetapi terbatas dalam ruang lingkup.
Advertisement
Secara etimologi, diakronis berasal dari bahasa Yunani, "dia" yang berarti melintas atau melewati dan "khronos", yang berarti perjalanan waktu.
Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, diakronis adalah berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangan sepanjang waktu.
Sedangkan cara berpikir sinkronis adalah menceritakan suatu peristiwa sejarah meluas dalam ruang lingkup, tetapi terbatas dalam waktu.
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani, yaitu "syn" yang berarti dengan. Kemudian "chromos", berarti waktu. Adapun dalam KBBI, sinkronis diartikan sebagai segala sesuatu yang bersangkutan dengan pristiwa yang terjadi pada suatu masa.
Konsep diakronis dan sinkronis inilah yang penting untuk dipelajari. Untuk lebih jelasnya bisa memahami contoh yang ada di bawah ini.
Berikut ini contoh penerapan konsep berpikir diakronis dan sinkronis dalam peristiwa sejarah, dilansir dari Modul Pembelajaran Sejarah SMA Kelas X terbitan Kemdikbud, Rabu (30/8/2023).
Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)
Contoh Penerapan Konsep Berpikir Diakronis dalam Peristiwa Sejarah
Tanam Paksa (1830-1870)
Pada 1830, saat pemerintah Belanda hampir bangkrut setelah terlibat Perang Diponegoro (1825-1830), kondisi ini diperparah dengan pecahnya Perang Belgia (1830-1831)
Untuk menyelamatkan Belanda dari kebrangkrutan, Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan tugas pokok mencari dana semaksimal mungkin untuk mengisi kas negara yang kosong, membiayai perang serta membayar utang. Dalam menjalankan tugas yang berat tersebut, Gubernur Jenderal Van den Bosch memfokuskan kebijaksanaannya pada peningkatan produksi tanaman ekspor.
Oleh karena itu, Van den Bosch mengerahkan rakyat jajahannya untuk melakukan penanaman tanaman yang hasilnya dapat laku di pasaran ekspor. Van den Bosch menyusun peraturan-peraturan pokok yang termuat pada lembaran negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22 sebagai berikut:
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasar Eropa.
2. Bagian tanah-tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk di desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagang yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika hasil tanaman dagangan yang ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih profitnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan kepala-kepala mereka, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya
Tanam Paksa diterapkan secara perlahan mulai 1830-1835. Menjelang 1840, sistem ini telah berjalan sepenuhnya di Jawa. Pada 1843, padi pun dimasukkan ke sistem tanam paksa sehingga pada 1844 timbul paceklik di Cirebon, Demak, Grobogan yang menyebabkan ribuan rakyat mati kelaparan.
Setelah peritiwa tersebut, antara tahun 1850-1860 muncul perlawanan secara gencar dari kalangan orang Belanda sendiri seperti L. Vitalis (Inspektur Pertanian), dr. W. Bosch (Kepala Dinas Kesehatan), dan W. Baron Van Hoevell (kaum Humanis) untuk menuntut dihapuskannya Tanam Paksa.
Selain tokoh-tokoh tersebut, pada 1860 seorang mantan Assisten Residen di Lebak, Banten, yaitu Eduard Douwes Dekker (Multatuli) menulis buku berjudul Max Havelaar yang berisi kritik tajam atas pelaksanaan Tanam Paksa yang tidak manusiawi. Dengan kritikan ini perhatian terhadap kondisi di Indonesia menjadi makin luas di kalangan masyarakat Belanda, mereka menuntut agar sistem tanam paksa yang sudah melanggar Hak asasi Manusia ini dihapuskan.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, akhirnya dihapus pada 1870 setelah memperoleh protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, meski pada kenyataannya sistem Tanam Paksa untuk tanaman kopi di luar Jawa masih berjalan hingga tahun 1915. Program tersebut (Sistem Tanam Paksa) dijalankan dengan nama sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Advertisement
Contoh Penerapan Konsep Berpikir Diakronis dalam Peristiwa Sejarah
Teks di atas menggambarkan pelaksanaan Tanam Paksa yang pernah diterapkan pemerintah Belanda di Hindia Belanda tahun 1830-1870.
Coba kalian perhatikan dengan saksama, dalam uraian di atas, pembahasannya memanjang dalam waktu, yaitu dari tahun 1830 sampai 1870, sehingga penjelasan mengenai latar belakang peristiwa, jalannya peristiwa, dan akhir peristiwa tidak terlalau mendalam pembahasannya.
Konsep berpikir yang digunakan dalam memaparkan peristiwa Tanam Paksa seperti paparan diatas menggunakan Konsep Berpikir Diakronik.
Contoh Penerapan Konsep Berpikir Sinkronis dalam Peristiwa Sejarah
Latar Belakang Pelaksanaan Tanam Paksa
Sejarah ini dimulai pada 1830, di mana pada saat itu pemerintah Belanda yang ada di Indonesia sudah hampir bangkut. Kebangkrutan ini terjadi setelah Belanda terlibat perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825 hingga 1830 dan setelah pembubaran VOC yang mau tidak mau membuat pemerintah Belanda menanggung utang serikat dagang Belanda tersebut.
Pada saat itu, Gubernur Jenderal Judo mendapatkan sebuah izin untuk menjalankan Cultuur Stelsel. Tujuannya adalah untuk menutup defisit yang terjadi pada pemerintah Belanda dan digunakan untuk mengisi kas penjajah pada saat itu.
Adapun kebijakan Tanam Paksa ini diberikan oleh pihak pemerintah dengan menerapkan sistem politik liberal pada masa kekuasaannya. Hanya, kebijakan ini mengalami sebuah kegagalan. Adapun di antara kegagalan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan liberal yang terjadi di Indonesia tidak sesuai dengan sistem feodal yang ada di Indonesia terutama di Pulau Jawa.
2. Struktur birokrasi ada feodal yang berbelit-belit dan panjang mengakibatkan pemerintah tidak bisa berhubungan langsung dengan rakyat.
3. Kas negara yang kosong akibat terjadinya Perang Diponegoro yang tak kunjung usai.
4. Terjadinya kesulitan keuangan yang makin menjadi setelah Belgia yang mana adalah negara sumber dana, melepaskan diri dari Belanda tepatnya tahun 1830.
5. Kekalahan ekspor Belanda dengan inggris karena ketakmampuan dalam bersaing.
Pada kurun waktu 1816-1830, pertentangan antara kaum liberal dan kaum konservatif terus berlangsung. Sementara itu kondisi di negeri Belanda makin memburuk akibat di Eropa Belanda terlibat dalam peperangan-peperangan yang menghabiskan biaya besar, di antaranya upaya mengahadapi perang kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia dari Belanda pada 1830.
Selain itu, di Indonesia, Belanda menghadapi Perang besar yang juga turut membawa akibat keuangan Belanda menjadi defisit. Oleh sebab itu, Raja Wiliam 1 mengutus Johannes van den Bosch untuk mencari cara menghasilkan uang dari sumber daya di Indonesia. Oleh karena itulah usulan Van Den Bosch untuk melaksanakan Cultuur Stelsel (Tanam Paksa) diterima dengan baik karena dianggap dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negeri induk.
Pelaksanaan sistem tanam paksa didasari oleh pemikiran pemerintal kolonial yang beranggapan bahwa desa desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah kolonial, yang seharusnya diperhitungkan (membayar) senilai 40 persen dari hasil panen utama desa. Kemudian Van den Bosch menginginkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi yang laku di pasar ekspor Eropa (tebu, nila dan kopi). Penduduk kemudian wajibkan untuk menggunakan sebagian tanah pertaniannya (minimal 20 persen atau seperlima luas) dan menyisihkan sebagian hari kerja (75 hari dalam setahun) untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan menjalankan Tanam Paksa, Pemerintah Kolonial beranggapan desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Seandainya pendapatan desa dari penjualan komoditas ekspor itu lebih besar dari pajak tanah yang harus dibayar, desa akan mendapat kelebihannya. Namun, jika kurang, desa harus membayar kekurangannya.
Pelaksanaan Tanam Paksa membuat para petani sangat menderita kala itu karena alih-alih mereka berfokus menanam padi untuk makan sendiri, mereka malah harus menanam tanaman ekspor yang harus diserahkan ke pemerintah kolonial.
Meski peraturan Tanam Paksa jelas memberatkan para petani dan penduduk, kenyataan di lapangan, penderitaan yang dialami jauh lebih besar dan berkepanjangan karena dicekik kemiskinan dan ketaktentuan penghasilan ke depannya.
Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20 persen) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan tarum (nila).
Advertisement
Contoh Penerapan Konsep Berpikir Sinkronis dalam Peristiwa Sejarah
Teks di atas menggambarkan pelaksanaan Tanam Paksa yang pernah diterapkan pemerintah Belanda di Hindia Belanda tahun 1830. Konsep berpikir yang digunakan dalam teks tersebut adalah sinkronis.
Coba kalian perhatikan dengan saksama, dalam uraian di atas hanya menerangkan latar belakang diterapkannya sistem Tanam Paksa oleh pemerintah kolonial Belanda.
Bahasannya sangat melebar, walaupun dalam waktu yang relatif pendek hanya di sekitar awal pelaksanaan Tanam Paksa saja. Dengan kata lain, bahasan sinkronis lebih mementingkan ruang bagi penjelasan yang luas.
Â
Sumber: Kemdikbud
Baca artikel seputar edukasi lainnya dengan mengeklik tautan ini.